Panduan Kapolri Belum Sentuh Akar Permasalahan UU ITE
Selasa, 23 Februari 2021 - 14:07 WIB
Oleh karena itu, kata Allan, PSHK FH UII berpandangan perlu dilakukan revisi terhadap UU ITE yang dilakukan secara komprehensif terhadap pasal-pasal yang mengandung makna multitafsir dan berpotensi mengekang demokrasi. Pemuatan norma ke dalam suatu peraturan perundang-undangan harus dipastikan memenuhi beberapa azas, yakni azas dapat dilaksanakan dan kejelasan rumusan; memperhitungkan efektivitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis, maupun sosiologis. Serta, harus menggunakan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
"Adanya penggunaan frasa yang bersifat multitafsir dalam UU ITE juga harus dijadikan bahan evaluasi, karena dalam praktiknya kemudian menimbulkan interpretasi beragam dan mengakibatkan penerapan pasal yang justru bersifat kontraproduktif dengan upaya dilakukannya pembatasan kebebasan berekspsresi tersebut," katanya.
Kemudian, sambung dia, PSHK UII menilai bahwa pembentukan panduan Kapolri terhadap penyelesaian kasus terkait UU ITE belum menyentuh akar permasalahan. Panduan Kapolri yang salah satunya mengatur bahwa ketentuan pihak yang harus melapor adalah korban, hanya menyentuh upaya perbaikan di tataran impelementasi penegakan.
"Padahal, due process of law atau proses hukum yang baik, benar, dan adil melingkupi tatanan yang lebih luas, yakni mulai dari tahapan pembentukan, proses, serta penegakan hukum," tutur Allan.
Selain itu, dia menambahkan, pilihan pengenaan pidana sebagai primum remidium perlu dievaluasi ulang. UU ITE meletakkan sanksi pidana sebagai senjata utama (primum remidium) untuk menegakan larangan. Namun, karakter larangan dalam UU ITE tidak seluruhnya tepat dikenakan pidana. Terdapat pasal yang menyangkut ranah privat, seperti pasal penghinaan dan pencemaran nama baik yang semestinya ditempatkan dalam ranah perdata.
Di sisi lain, Allan melanjutkan, pilihan penyelesaian pidana di luar peradilan menjadi opsi yang menarik diterapkan. Penjatuhan sanksi pidana kemudian menjadi pilihan terakhir yang dijatuhkan (ultimum remidium). Hal ini untuk menghindari sifat sanksi pidana yang cenderung menestapakan pelaku dan berpotensi menciptakan ruang konflik lanjutan antarpara pihak yang tidak memulihkan permasalahan.
"Terhadap catatan tersebut, PSHK FH UII memandang bahwa pilihan revisi terhadap UU ITE tidak harus berasal dari DPR. Presiden sebagai salah satu lembaga pembentuk UU, berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UUD NRI 1945 juga berwenang untuk mengusulkan revisi terhadap UU ITE yang mendesak untuk segera dilakukan," katanya.
"Adanya penggunaan frasa yang bersifat multitafsir dalam UU ITE juga harus dijadikan bahan evaluasi, karena dalam praktiknya kemudian menimbulkan interpretasi beragam dan mengakibatkan penerapan pasal yang justru bersifat kontraproduktif dengan upaya dilakukannya pembatasan kebebasan berekspsresi tersebut," katanya.
Kemudian, sambung dia, PSHK UII menilai bahwa pembentukan panduan Kapolri terhadap penyelesaian kasus terkait UU ITE belum menyentuh akar permasalahan. Panduan Kapolri yang salah satunya mengatur bahwa ketentuan pihak yang harus melapor adalah korban, hanya menyentuh upaya perbaikan di tataran impelementasi penegakan.
"Padahal, due process of law atau proses hukum yang baik, benar, dan adil melingkupi tatanan yang lebih luas, yakni mulai dari tahapan pembentukan, proses, serta penegakan hukum," tutur Allan.
Selain itu, dia menambahkan, pilihan pengenaan pidana sebagai primum remidium perlu dievaluasi ulang. UU ITE meletakkan sanksi pidana sebagai senjata utama (primum remidium) untuk menegakan larangan. Namun, karakter larangan dalam UU ITE tidak seluruhnya tepat dikenakan pidana. Terdapat pasal yang menyangkut ranah privat, seperti pasal penghinaan dan pencemaran nama baik yang semestinya ditempatkan dalam ranah perdata.
Di sisi lain, Allan melanjutkan, pilihan penyelesaian pidana di luar peradilan menjadi opsi yang menarik diterapkan. Penjatuhan sanksi pidana kemudian menjadi pilihan terakhir yang dijatuhkan (ultimum remidium). Hal ini untuk menghindari sifat sanksi pidana yang cenderung menestapakan pelaku dan berpotensi menciptakan ruang konflik lanjutan antarpara pihak yang tidak memulihkan permasalahan.
"Terhadap catatan tersebut, PSHK FH UII memandang bahwa pilihan revisi terhadap UU ITE tidak harus berasal dari DPR. Presiden sebagai salah satu lembaga pembentuk UU, berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UUD NRI 1945 juga berwenang untuk mengusulkan revisi terhadap UU ITE yang mendesak untuk segera dilakukan," katanya.
(abd)
tulis komentar anda