Darurat Buzzer
Sabtu, 20 Februari 2021 - 07:20 WIB
JAKARTA - Pengguna aktif internet maupun media sosial di Indonesia terus berkembang pesat setiap tahun. Tak ayal, media sosial di Indonesia menjadi pasar yang menarik—secara ekonomis maupun politis. Sayangnya, literasi digital masyarakat yang masih rendah membuat pendengung atau yang lebih dikenal dengan sebutan buzzer leluasa menguasai ruang publik dengan membentuk percakapan sesuai dengan agenda yang telah disiapkan. (Baca Juga : Iwan Fals Nyanyikan Lagu Buzzer, Liriknya Sangat Menohok) Sejak media sosial mulai populer di Tanah Air pada 2009 silam, banyak perusahaan yang menggunakan jasa pendengung untuk mempromosikan produknya melalui kanal media sosial. Hal ini dilakukan untuk menjangkau pasar yang lebih luas, dengan karakteristik konsumen sesuai dengan produk yang dipromosikan. Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) mencatat, penggunaan buzzer untuk aktivitas politik terjadi pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada 2012 silam. Keberhasilan buzzer dalam perhelatan pemilihan kepala daerah di Ibu Kota itu berlanjut pada perhelatan politik selanjutnya. Tak hanya di Jakarta, industri buzzer sudah merambah hingga daerah. Penyebaran informasi palsu atau lebih popular dengan sebutan hoaks, propaganda hingga doxing (mengungkap data pribadi) seseorang berhasil membuat polarisasi di masyarakat. Media sosial yang sejatinya merupakan ajang kontribusi dan partisipasi masyarakat dalam menyampaikan ide serta gagasan semakin terancam.
Namun, Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Henri Subiakto, mengaku, tidak mudah membedakan antara buzzer dan pendukung fanatik. Buzzer umumnya dibayar untuk tujuan tertentu. “Buzzer itu kan dibayar secara komersial, tapi apakah mereka mau dibayar oleh politisi yang berbeda orientasi politiknya? Belum tentu juga. Artinya, mereka bukan semata-mata cari uang, tapi kadang karena semangatnya membela kelompok politik yang dianggap bagus,” ucap Henri kepada KORAN SINDO, Jumat (19/2/2021).
(Baca Juga : Anies Pembicara di Forum Pemimpin Dunia, Warganet: Dalem Hati Buzzer Keren Banget Anies )Henri melanjutkan, fenomena munculnya para influencer dan buzzer merupakan ekses dari kebebasan berpendapat. Namun, jika sudah melanggar hukum, maka akan diperlakukan sesuai ketentuan yang berlaku. Dalam menjalankan perannya, Kementerian Kominfo lebih fokus pada konten yang diunggah. Ada dua jenis konten, yaitu bisa dijangkau langsung dan tidak bisa dijangkau oleh Kementerian Kominfo. Misalnya, konten dalam situs tertentu dan bukan termasuk dalam media massa atau pers, maka laman tersebut bisa ditutup. “Tetapi kalau buzzer ini menggunakan Instagram, Twitter, Facebook, Kominfo enggak bisa tutup. Kalau tutup ya itu langsung platform secara keseluruhan. Selama ini, akun-akun yang di-take down itu lebih banyak dilakukan perusahaan aplikasi yang mereka gunakan, bukan Kominfo. Kami tidak pernah melakukan take down,” sebutnya.
(Baca Juga : Wakil Ketua MPR Usul Buzzer Diatur UU Khusus Terpisah dari ITE )
Apabila Kementerian Kominfo mengusulkan atau melaporkan konten tersebut, lanjut Henri, biasanya akan ada pemberitahuan atau peringatan dari platform ke pemilik akun. Langkah itu bisa menjadi masalah. Henri menegaskan bahwa proses tersebut umumnya dilakukan oleh platform itu sendiri karena sebuah akun dianggap melanggar standar komunitas atau aturan yang berlaku. Dia mencontohkan akun Twitter milik Presiden Amerika Serikat Ke-45 Donald Trump yang dihapus oleh Twitter lantaran pernyataannya memicu protes berujung kerusuhan dalam pengumuman hasil pemilihan Presiden AS beberapa waktu lalu. “Di Indonesia pun sama. Tapi bukan Kominfo yang minta. Ada kemungkinan akun itu dilaporkan pengguna media sosial yang lain. Nah, itu baru di-take down. Kalau Kominfo, tidak ada akun yang dilaporkan,” ucapnya.Terkait keberadaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang kerap dinilai kontroversial, Henri menjawab bahwa regulasi tersebut bertujuan agar dunia digital di Indonesia bisa bersih dari ujaran kebencian, berita bohong atau hoaks, fitnah, provokasi, dan lainnya. Henri mengakui, penerapan UU ITE kerap bermasalah di berbagai daerah. Namun, banyak konflik yang terjadi justru bersifat horizontal. Misalnya, melibatkan antara dosen dan dekan atau rektor, guru dengan kepala sekolah, mantan anggota DPRD dengan masyarakat, dan lainnya. “Secara normatif, UU ITE itu tidak pernah melarang orang berpendapat, tidak pernah ada sanksi untuk orang mengkritik. Hal yang dilarang oleh UU ITE adalah menyebarkan informasi yang isinya tuduhan dan ikut menyebarkan,” ujarnya.Kepala Bidang Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri Irjen Pol Argo Yuwono menilai, buzzer menyebarluaskan suatu konten atau narasi yang bisa digunakan secara positif maupun negatif. Karena itu, apabila yang didengungkan masih bersifat positif maka masih boleh dilakukan. Namun, apabila sudah berkonotasi negatif maka ada hukum untuk menindaknya. “Selama tidak melanggar hukum itu tidak dipersoalkan, selama membawa kebaikan," katanya.(Baca Juga : Sepakat Berantas Buzzer Hoax, Farhan Sebut Sudah Waktunya UU ITE Direvisi )Argo menegaskan, buzzer yang memiliki niat tidak baik seperti menyebarkan hoaks, ujaran kebencian, dan sebagainya itu melanggar hukum dan akan ditindak secara proporsional. Mabes Polri akan berkoordinasi dengan Kementerian Kominfo untuk menertibkan buzzer yang melakukan pelanggaran hukum. Argo menegaskan, polisi masih mendalami unsur pidana terhadap aksi yang dilakukan para buzzer di media sosial. Polri akan melihat lebih dahulu konten yang disebarkan para buzzer. “Kita lihat dulu kontennya, kalau memang melakukan pelanggaran pasti akan ditindak,” ancamnya.
Masyarakat Berikan Sentimen Negatif Kepada Buzzer
Pegiat media sosial, Rulli Nasrullah, menilai semakin maraknya pendengung alias buzzer sebagai fenomena wajar di era digital saat ini. Sejak platform media sosial hadir, buzzer juga mulai bermunculan dengan berbagai tujuan. “Secara historis, buzzer tidak dalam konteks politik saja, tapi juga marketing. Misalnya, pada 2008 Barrack Obama juga menggunakan buzzer lewat Facebook. Kalau dikaitkan dengan politik, buzzer itu ada yang ‘dipelihara’ dan ada juga yang memang secara individu menyampaikan pandangannya, entah mengkritik, menentang, atau membela,” kata pria yang akrab disapa Kang Arul itu.Saat ini, buzzer lebih banyak sentimen negatifnya, terutama terkait penyebaran konten negatif atau provokatif di media sosial. Arul menilai kewenangan tersebut berada di ranah penegak hukum. “Itu lebih pada penafsiran saja. Tidak hanya polisi, bisa juga hakim. Karena ada saja orang share tiba-tiba dipenjara. Ada istri yang komentar sedikit malah suaminya dipecat. Bagi saya, konten itu menjadi hal yang sangat krusial. Tidak ada asap jika tidak ada api,’’ ucapnya.Dia menilai wajar bila publik menganggap pemerintah terkesan tebang pilih atau bersikap tidak adil terhadap oknum buzzer tertentu. Menurut Arul, perlu ada kebijakan dan kerendahan hati untuk melihat fenomena media sosial yang perkembangannya sangat luar biasa. Dosen pada Magister Ilmu Komunikasi di IISIP Jakarta itu melihat semua orang masih kaget dengan kehadiran medsos. Perkembangannya terlalu cepat, namun literasi dan regulasinya justru lambat. Padahal, aplikasi tersebut memang ditujukan sebagai media berinteraksi, berkomunikasi dengan banyak akun lain di ruang digital.Fenomena buzzer memang menjadi konsekuensi dari adanya media baru sebagai satu realitas. Tugas masyarakat kini memahami dan beradaptasi di dalamnya. Ketua Kajian Komunikasi Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sosial Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI) Ummi Salamah menjelaskan, peran ini muncul karena lanskap media yang berubah dari media massa yang bersifat one to many ke media sosial yang bersifat many to many. Demikian pula dengan buzzer, ada perbedaan mendasar antara influencer dengan buzzer. "Influencer merupakan sosok yang memiliki citra dan reputasi tertentu di media sosial dan dianggap mampu memengaruhi pengguna," ungkapnya.Sedikit berbeda dengan itu, buzzer kurang menekankan pada sosok atau membangun kesukaan, tetapi lebih pada penyampaian pesan. Fokus dari buzzer menjadikan satu isu diketahui dan dikenal oleh pengguna. Influencer dan buzzer merupakan fungsi yang hadir dalam ekosistem baru komunikasi yang juga hadir di ranah lain seperti ekonomi dan sosial. ‘’Karenanya, kita mengenal influencer atau buzzer produk, juga ada influencer dan buzzer politik,’’ tuturnya. Peran ini akan terus meluas ke ranah lain. Misalnya dalam konteks pandemi, influencer dan buzzer muncul untuk isu-isu kesehatan sehingga sejatinya mereka hadir di hampir semua ranah kehidupan sosial.Ummu menegaskan, positif dan negatifnya sangat tergantung pada aturan hukum yang berlaku umum dan etika yang berlaku khusus satu profesi, ranah atau sektor. "Kita saat ini sedang berjuang memunculkan tata kelola bersama terhadap disrupsi ekosistem komunikasi ini. Inovasi di bidang sosial dan hukum sangat dibutuhkan agar dapat berjalan bersama dalam ekosistem baru ini," ujar dosen tetap pada Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI ini. Untuk meredam kiprah buzzer yang semakin meresahkan masyarakat, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa haram bagi aktivitas buzzer yang masih menebar hoaks, adu domba, ujaran kebencian, fitnah, ghibah, dan jenis lainnya di media sosial. “Fatwa tersebut di antaranya membahas mengenai hukum aktivitas buzzer,” ujar Ketua Bidang Fatwa MUI Asrorun Niam Sholeh.Direktur Eksekutif Sudut Demokrasi Riset dan Analisis (SUDRA) Fadhli Harahab menilai, fatwa MUI patut diapresiasi karena sejalan dengan aspirasi masyarakat agar pemerintah menertibkan para buzzer yang dinilai sudah meresahkan. "Saya pikir fatwa haram ini tepat di tengah kondisi politik yang terpolarisasi tajam," ujarnya. (faorick pakpahan/ananda nararya/helmi syarif)
Namun, Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Henri Subiakto, mengaku, tidak mudah membedakan antara buzzer dan pendukung fanatik. Buzzer umumnya dibayar untuk tujuan tertentu. “Buzzer itu kan dibayar secara komersial, tapi apakah mereka mau dibayar oleh politisi yang berbeda orientasi politiknya? Belum tentu juga. Artinya, mereka bukan semata-mata cari uang, tapi kadang karena semangatnya membela kelompok politik yang dianggap bagus,” ucap Henri kepada KORAN SINDO, Jumat (19/2/2021).
(Baca Juga : Anies Pembicara di Forum Pemimpin Dunia, Warganet: Dalem Hati Buzzer Keren Banget Anies )Henri melanjutkan, fenomena munculnya para influencer dan buzzer merupakan ekses dari kebebasan berpendapat. Namun, jika sudah melanggar hukum, maka akan diperlakukan sesuai ketentuan yang berlaku. Dalam menjalankan perannya, Kementerian Kominfo lebih fokus pada konten yang diunggah. Ada dua jenis konten, yaitu bisa dijangkau langsung dan tidak bisa dijangkau oleh Kementerian Kominfo. Misalnya, konten dalam situs tertentu dan bukan termasuk dalam media massa atau pers, maka laman tersebut bisa ditutup. “Tetapi kalau buzzer ini menggunakan Instagram, Twitter, Facebook, Kominfo enggak bisa tutup. Kalau tutup ya itu langsung platform secara keseluruhan. Selama ini, akun-akun yang di-take down itu lebih banyak dilakukan perusahaan aplikasi yang mereka gunakan, bukan Kominfo. Kami tidak pernah melakukan take down,” sebutnya.
(Baca Juga : Wakil Ketua MPR Usul Buzzer Diatur UU Khusus Terpisah dari ITE )
Apabila Kementerian Kominfo mengusulkan atau melaporkan konten tersebut, lanjut Henri, biasanya akan ada pemberitahuan atau peringatan dari platform ke pemilik akun. Langkah itu bisa menjadi masalah. Henri menegaskan bahwa proses tersebut umumnya dilakukan oleh platform itu sendiri karena sebuah akun dianggap melanggar standar komunitas atau aturan yang berlaku. Dia mencontohkan akun Twitter milik Presiden Amerika Serikat Ke-45 Donald Trump yang dihapus oleh Twitter lantaran pernyataannya memicu protes berujung kerusuhan dalam pengumuman hasil pemilihan Presiden AS beberapa waktu lalu. “Di Indonesia pun sama. Tapi bukan Kominfo yang minta. Ada kemungkinan akun itu dilaporkan pengguna media sosial yang lain. Nah, itu baru di-take down. Kalau Kominfo, tidak ada akun yang dilaporkan,” ucapnya.Terkait keberadaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang kerap dinilai kontroversial, Henri menjawab bahwa regulasi tersebut bertujuan agar dunia digital di Indonesia bisa bersih dari ujaran kebencian, berita bohong atau hoaks, fitnah, provokasi, dan lainnya. Henri mengakui, penerapan UU ITE kerap bermasalah di berbagai daerah. Namun, banyak konflik yang terjadi justru bersifat horizontal. Misalnya, melibatkan antara dosen dan dekan atau rektor, guru dengan kepala sekolah, mantan anggota DPRD dengan masyarakat, dan lainnya. “Secara normatif, UU ITE itu tidak pernah melarang orang berpendapat, tidak pernah ada sanksi untuk orang mengkritik. Hal yang dilarang oleh UU ITE adalah menyebarkan informasi yang isinya tuduhan dan ikut menyebarkan,” ujarnya.Kepala Bidang Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri Irjen Pol Argo Yuwono menilai, buzzer menyebarluaskan suatu konten atau narasi yang bisa digunakan secara positif maupun negatif. Karena itu, apabila yang didengungkan masih bersifat positif maka masih boleh dilakukan. Namun, apabila sudah berkonotasi negatif maka ada hukum untuk menindaknya. “Selama tidak melanggar hukum itu tidak dipersoalkan, selama membawa kebaikan," katanya.(Baca Juga : Sepakat Berantas Buzzer Hoax, Farhan Sebut Sudah Waktunya UU ITE Direvisi )Argo menegaskan, buzzer yang memiliki niat tidak baik seperti menyebarkan hoaks, ujaran kebencian, dan sebagainya itu melanggar hukum dan akan ditindak secara proporsional. Mabes Polri akan berkoordinasi dengan Kementerian Kominfo untuk menertibkan buzzer yang melakukan pelanggaran hukum. Argo menegaskan, polisi masih mendalami unsur pidana terhadap aksi yang dilakukan para buzzer di media sosial. Polri akan melihat lebih dahulu konten yang disebarkan para buzzer. “Kita lihat dulu kontennya, kalau memang melakukan pelanggaran pasti akan ditindak,” ancamnya.
Masyarakat Berikan Sentimen Negatif Kepada Buzzer
Pegiat media sosial, Rulli Nasrullah, menilai semakin maraknya pendengung alias buzzer sebagai fenomena wajar di era digital saat ini. Sejak platform media sosial hadir, buzzer juga mulai bermunculan dengan berbagai tujuan. “Secara historis, buzzer tidak dalam konteks politik saja, tapi juga marketing. Misalnya, pada 2008 Barrack Obama juga menggunakan buzzer lewat Facebook. Kalau dikaitkan dengan politik, buzzer itu ada yang ‘dipelihara’ dan ada juga yang memang secara individu menyampaikan pandangannya, entah mengkritik, menentang, atau membela,” kata pria yang akrab disapa Kang Arul itu.Saat ini, buzzer lebih banyak sentimen negatifnya, terutama terkait penyebaran konten negatif atau provokatif di media sosial. Arul menilai kewenangan tersebut berada di ranah penegak hukum. “Itu lebih pada penafsiran saja. Tidak hanya polisi, bisa juga hakim. Karena ada saja orang share tiba-tiba dipenjara. Ada istri yang komentar sedikit malah suaminya dipecat. Bagi saya, konten itu menjadi hal yang sangat krusial. Tidak ada asap jika tidak ada api,’’ ucapnya.Dia menilai wajar bila publik menganggap pemerintah terkesan tebang pilih atau bersikap tidak adil terhadap oknum buzzer tertentu. Menurut Arul, perlu ada kebijakan dan kerendahan hati untuk melihat fenomena media sosial yang perkembangannya sangat luar biasa. Dosen pada Magister Ilmu Komunikasi di IISIP Jakarta itu melihat semua orang masih kaget dengan kehadiran medsos. Perkembangannya terlalu cepat, namun literasi dan regulasinya justru lambat. Padahal, aplikasi tersebut memang ditujukan sebagai media berinteraksi, berkomunikasi dengan banyak akun lain di ruang digital.Fenomena buzzer memang menjadi konsekuensi dari adanya media baru sebagai satu realitas. Tugas masyarakat kini memahami dan beradaptasi di dalamnya. Ketua Kajian Komunikasi Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sosial Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI) Ummi Salamah menjelaskan, peran ini muncul karena lanskap media yang berubah dari media massa yang bersifat one to many ke media sosial yang bersifat many to many. Demikian pula dengan buzzer, ada perbedaan mendasar antara influencer dengan buzzer. "Influencer merupakan sosok yang memiliki citra dan reputasi tertentu di media sosial dan dianggap mampu memengaruhi pengguna," ungkapnya.Sedikit berbeda dengan itu, buzzer kurang menekankan pada sosok atau membangun kesukaan, tetapi lebih pada penyampaian pesan. Fokus dari buzzer menjadikan satu isu diketahui dan dikenal oleh pengguna. Influencer dan buzzer merupakan fungsi yang hadir dalam ekosistem baru komunikasi yang juga hadir di ranah lain seperti ekonomi dan sosial. ‘’Karenanya, kita mengenal influencer atau buzzer produk, juga ada influencer dan buzzer politik,’’ tuturnya. Peran ini akan terus meluas ke ranah lain. Misalnya dalam konteks pandemi, influencer dan buzzer muncul untuk isu-isu kesehatan sehingga sejatinya mereka hadir di hampir semua ranah kehidupan sosial.Ummu menegaskan, positif dan negatifnya sangat tergantung pada aturan hukum yang berlaku umum dan etika yang berlaku khusus satu profesi, ranah atau sektor. "Kita saat ini sedang berjuang memunculkan tata kelola bersama terhadap disrupsi ekosistem komunikasi ini. Inovasi di bidang sosial dan hukum sangat dibutuhkan agar dapat berjalan bersama dalam ekosistem baru ini," ujar dosen tetap pada Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI ini. Untuk meredam kiprah buzzer yang semakin meresahkan masyarakat, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa haram bagi aktivitas buzzer yang masih menebar hoaks, adu domba, ujaran kebencian, fitnah, ghibah, dan jenis lainnya di media sosial. “Fatwa tersebut di antaranya membahas mengenai hukum aktivitas buzzer,” ujar Ketua Bidang Fatwa MUI Asrorun Niam Sholeh.Direktur Eksekutif Sudut Demokrasi Riset dan Analisis (SUDRA) Fadhli Harahab menilai, fatwa MUI patut diapresiasi karena sejalan dengan aspirasi masyarakat agar pemerintah menertibkan para buzzer yang dinilai sudah meresahkan. "Saya pikir fatwa haram ini tepat di tengah kondisi politik yang terpolarisasi tajam," ujarnya. (faorick pakpahan/ananda nararya/helmi syarif)
(ton)
Lihat Juga :
tulis komentar anda