Kota Sehat, Solusi Tepat Menghadapi Pandemi
Jum'at, 19 Februari 2021 - 06:37 WIB
Dengan estimasi 68% populasi dunia akan tinggal di kota pada 2050, maka dibutuhkan desain kota yang baik untuk menghadapi pandemi yang bukan hanya korona saja.
Kota-kota kaya seperti Kopenhagen yang memiliki ruang terbuka hijau dan jalur sepeda menjadi pengecualian. Tapi berbeda dengan kota yang kurang beruntung seperti Nairobi, di Kenya dan Dhaka, Bangladesh.
“Tanpa sanitasi yang baik atau akses air bersih untuk mencuci tangan menjadikan pandemi bisa menyebar,” kata Elvis Garcia, pakar kesehatan publik di Harvard Graduate School of Design. “Dalam 10 tahun, 10% populasi dunia akan tinggal di kota dengan akses air, kesehatan dan sanitasi yang terbatas,” katanya.
Kepadatan penduduk menjadi faktor penting yang mempengaruhi penyebaran penyakit infeksi seperti virus korona. Itu dikarenakan munculnya kerumunan yang meningkatkan frekuensi penyebaran penyakit. Misalnya, Wuhan, kota yang menjadi awal munculnya virus korona, dikenal sebagai kota padat dengan 11 juta jiwa.
Sepertinya New York merupakan pusat wabah korona di Amerika Serikat karena merupakan kota paling padat di Negeri Paman Sam. Di masa depan atau pascapandemi, kota harus memiliki pedestrian yang lebar dan memiliki ruang terbuka hijau.
Dalam pandangan Johan Woltjer dari Universitas Westminster, pandemi akan mnjadi bagian kehidupan manusia, untuk itu kota harus bisa beradaptasi.
“Selama krisis, kita seperti pada momen untuk bisa memiliki kota yang memiliki pusat kesehatan yang fleksibel dan luas,” ujarnya.
Dia mengungkapkan, Rumah Sakit Nightingale di London mampu menambung 4.000 pasien. Di Wuhan, rumah sakit dengan 1.000 tempat tidur bisa dibangun dalam sembilan hari. “Kota harus mampu berubah dengan cepat, baik suplai produk esensial, berlanja dan rute evakuasi,” kata Woltjer.
Apresiasi untuk Kota Sehat di Indonesia
Kota-kota kaya seperti Kopenhagen yang memiliki ruang terbuka hijau dan jalur sepeda menjadi pengecualian. Tapi berbeda dengan kota yang kurang beruntung seperti Nairobi, di Kenya dan Dhaka, Bangladesh.
“Tanpa sanitasi yang baik atau akses air bersih untuk mencuci tangan menjadikan pandemi bisa menyebar,” kata Elvis Garcia, pakar kesehatan publik di Harvard Graduate School of Design. “Dalam 10 tahun, 10% populasi dunia akan tinggal di kota dengan akses air, kesehatan dan sanitasi yang terbatas,” katanya.
Kepadatan penduduk menjadi faktor penting yang mempengaruhi penyebaran penyakit infeksi seperti virus korona. Itu dikarenakan munculnya kerumunan yang meningkatkan frekuensi penyebaran penyakit. Misalnya, Wuhan, kota yang menjadi awal munculnya virus korona, dikenal sebagai kota padat dengan 11 juta jiwa.
Sepertinya New York merupakan pusat wabah korona di Amerika Serikat karena merupakan kota paling padat di Negeri Paman Sam. Di masa depan atau pascapandemi, kota harus memiliki pedestrian yang lebar dan memiliki ruang terbuka hijau.
Dalam pandangan Johan Woltjer dari Universitas Westminster, pandemi akan mnjadi bagian kehidupan manusia, untuk itu kota harus bisa beradaptasi.
“Selama krisis, kita seperti pada momen untuk bisa memiliki kota yang memiliki pusat kesehatan yang fleksibel dan luas,” ujarnya.
Dia mengungkapkan, Rumah Sakit Nightingale di London mampu menambung 4.000 pasien. Di Wuhan, rumah sakit dengan 1.000 tempat tidur bisa dibangun dalam sembilan hari. “Kota harus mampu berubah dengan cepat, baik suplai produk esensial, berlanja dan rute evakuasi,” kata Woltjer.
Apresiasi untuk Kota Sehat di Indonesia
tulis komentar anda