MPR: RUU PRT Harus Jadi Prioritas Wujudkan Kesetaraan Hak Hukum
Rabu, 17 Februari 2021 - 22:35 WIB
JAKARTA - Badan Legislasi (Baleg) DPR diminta untuk memberikan perhatian terhadap Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PRT).
Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat mengatakan, perlu dibangun kesadaran bersama bahwa RUU ini layak mendapat perhatian setiap elemen bangsa. ”Perlu kejelasan dan pemahaman bersama untuk mendesak kawan-kawan di Senayan agar segera menindaklanjuti pembahasan RUU PRT ini dan mengesahkannya menjadi undang-undang,” ujar Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Tarik Ulur Nasib RUU PRT yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (17/2/2021).
Menurut Rerie sapaan akrab Lestari, semakin lama menunda pembahasan RUU PRT, sama saja mengabaikan Hak Asasi Manusia (HAM) yang secara mendasar menjadi tanggung jawab bersama. Anggota Majelis Tinggi Partai Nasdem itu mengatakan, hak warga negara sama di mata hukum sehingga pembahasan aturan bagi pekerja rumah tangga menjadi prinsip keadilan wajib yang harus dikedepankan. ”Ini sudah menyangkut masalah kemanusiaan,” ujar Rerie.
Wakil Ketua Baleg DPR Willy Aditya mengakui pembahasan RUU PRT di Baleg sudah selesai, tinggal diajukan ke Sidang Paripurna sebagai hak inisiatif DPR. Pada pekan kedua Maret 2021, dijadwalkan akan diadakan rapat kerja untuk membahas RUU PRT sebelum diajukan ke Sidang Paripurna DPR. Namun, posisi saat ini dinilai masih rawan bagi keberlanjutan pembahasan RUU tersebut. Padahal, menurut Willy, salah satu tujuan RUU PRT ini adalah untuk meningkatkan harkat dan martabat para pekerja rumah tangga.
Komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini mengungkapkan, PRT adalah pekerjaan tertua yang ada di dunia dan dibutuhkan masyarakat. Hal ini sangat disayangkan karena pada praktiknya, penyikapan terhadap para PRT menghasilkan ketidakadilan gender yang berpotensi pada munculnya kekerasan terhadap perempuan. Menurut Theresia, pihaknya sudah mencoba melobi sejumlah fraksi seperti seperti Gerindra, Golkar dan PKB agar RUU PRT ini tetap bisa diajukan sebagai RUU inisiatif DPR.
Aktivis Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga, Lita Anggraini mengungkapkan, hingga saat ini banyak kasus ketidakadilan terhadap PRT yang terkesan dibiarkan terus menerus. ”PRT adalah pekerja yang dekat di mata, namun sering terabaikan. Karena itu, negara harus hadir untuk melindungi hak-hak lebih dari 5 juta PRT,” urainya.
Jurnalis senior Saur Hutabarat menilai berlarut-larutnya pembahasan RUU PRT sejak puluhan tahun, memperlihatkan kinerja parlemen yang lamban. ”Tidakkah DPR bosan terhadap dirinya yang hampir 20 tahun membiarkan RUU PRT keluar masuk pembahasan tanpa menghasilkan produk legislasi?” tanya Saur.
Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Pasundan, Bandung, Atang Irawan berpendapat perlu kewarasan berpikir dalam melanjutkan pembahasan RUU PRT ini. Sebab, kata Atang, sejumlah pihak menganggap PRT sudah diatur dalam UU Tenaga Kerja. ”Kenyataannya yang diatur dalam UU Tenaga Kerja adalah hubungan antara pengusaha dan pekerja sedangkan pemberi kerja bagi PRT, tidak bisa disebut sebagai pengusaha,” tuturnya.
Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat mengatakan, perlu dibangun kesadaran bersama bahwa RUU ini layak mendapat perhatian setiap elemen bangsa. ”Perlu kejelasan dan pemahaman bersama untuk mendesak kawan-kawan di Senayan agar segera menindaklanjuti pembahasan RUU PRT ini dan mengesahkannya menjadi undang-undang,” ujar Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Tarik Ulur Nasib RUU PRT yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (17/2/2021).
Menurut Rerie sapaan akrab Lestari, semakin lama menunda pembahasan RUU PRT, sama saja mengabaikan Hak Asasi Manusia (HAM) yang secara mendasar menjadi tanggung jawab bersama. Anggota Majelis Tinggi Partai Nasdem itu mengatakan, hak warga negara sama di mata hukum sehingga pembahasan aturan bagi pekerja rumah tangga menjadi prinsip keadilan wajib yang harus dikedepankan. ”Ini sudah menyangkut masalah kemanusiaan,” ujar Rerie.
Wakil Ketua Baleg DPR Willy Aditya mengakui pembahasan RUU PRT di Baleg sudah selesai, tinggal diajukan ke Sidang Paripurna sebagai hak inisiatif DPR. Pada pekan kedua Maret 2021, dijadwalkan akan diadakan rapat kerja untuk membahas RUU PRT sebelum diajukan ke Sidang Paripurna DPR. Namun, posisi saat ini dinilai masih rawan bagi keberlanjutan pembahasan RUU tersebut. Padahal, menurut Willy, salah satu tujuan RUU PRT ini adalah untuk meningkatkan harkat dan martabat para pekerja rumah tangga.
Komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini mengungkapkan, PRT adalah pekerjaan tertua yang ada di dunia dan dibutuhkan masyarakat. Hal ini sangat disayangkan karena pada praktiknya, penyikapan terhadap para PRT menghasilkan ketidakadilan gender yang berpotensi pada munculnya kekerasan terhadap perempuan. Menurut Theresia, pihaknya sudah mencoba melobi sejumlah fraksi seperti seperti Gerindra, Golkar dan PKB agar RUU PRT ini tetap bisa diajukan sebagai RUU inisiatif DPR.
Aktivis Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga, Lita Anggraini mengungkapkan, hingga saat ini banyak kasus ketidakadilan terhadap PRT yang terkesan dibiarkan terus menerus. ”PRT adalah pekerja yang dekat di mata, namun sering terabaikan. Karena itu, negara harus hadir untuk melindungi hak-hak lebih dari 5 juta PRT,” urainya.
Jurnalis senior Saur Hutabarat menilai berlarut-larutnya pembahasan RUU PRT sejak puluhan tahun, memperlihatkan kinerja parlemen yang lamban. ”Tidakkah DPR bosan terhadap dirinya yang hampir 20 tahun membiarkan RUU PRT keluar masuk pembahasan tanpa menghasilkan produk legislasi?” tanya Saur.
Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Pasundan, Bandung, Atang Irawan berpendapat perlu kewarasan berpikir dalam melanjutkan pembahasan RUU PRT ini. Sebab, kata Atang, sejumlah pihak menganggap PRT sudah diatur dalam UU Tenaga Kerja. ”Kenyataannya yang diatur dalam UU Tenaga Kerja adalah hubungan antara pengusaha dan pekerja sedangkan pemberi kerja bagi PRT, tidak bisa disebut sebagai pengusaha,” tuturnya.
(cip)
Lihat Juga :
tulis komentar anda