Mantan TKN Jokowi-Ma'ruf Nilai Pernyataan JK soal Kritik Ada Benarnya
Selasa, 16 Februari 2021 - 11:00 WIB
JAKARTA - Hendra Setiawan Boen, mantan Koordinator pada Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf Amin setuju dengan pernyataan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) yang mempertanyakan bagaimana cara memberi kritik tanpa dipolisikan dan bagaimana memberi kritik kepada preside n apabila baru bertanya sudah diserang oleh buzzer.
“JK adalah Wakil Presiden untuk dua presiden termasuk Jokowi. Apabila seorang mantan wakil presiden menyampaikan kritik tidak bebas dari serangan buzzer dan tuduhan memanas-manasi, bagaimana dengan rakyat biasa?” ujarnya melalu keterangan kepada wartawan, Selasa (16/2/2021).
Hendra berpendapat bahwa fenomena merosotnya demokrasi akibat buzzer dan main lapor sendiri dari salah satu pendukung tokoh politik kepada pihak yang dinilai ‘lawan politik’ sudah sangat kasat mata. “Terakhir ada yang melaporkan penerbit buku ke polisi hanya karena pencantuman tokoh Pak Ganjar yang kebetulan mirip dengan Gubernur Jawa Tengah incumbent padahal Pak Ganjar Pranowo sendiri tidak mempermasalahkan dan buku tersebut ditulis empat tahun sebelum Pak Ganjar Pranowo menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah."
"Tindakan lapor melapor semacam ini seharusnya tidak dilakukan dan tidak berfaedah karena apabila Pak Ganjar Pranowo memang merasa dirugikan, beliau bisa membuat laporan sendiri,” sambung Hendra.
Oleh sebab itu, Hendra mendukung penuh rencana pemerintah melakukan revisi terhadap pasal karet dalam UU ITE. Namun demikian, Hendra menilai masih ada beberapa hal yang harus dilakukan agar demokrasi di Indonesia tidak tambah merosot.
“Pertama adalah pencabutan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Aturan ini dibuat pada masa revolusi fisik dan malah digunakan pada era modern dan penuh keterbukaan seperti sekarang."
"Misalnya aturan ini dipakai untuk mempidana orang dengan alasan menyebar kabar bohong yang menyebabkan keonaran di masyarakat. Padahal aturan tersebut tidak memberikan definisi jelas apa yang dimaksud dengan kabar bohong dan keonaran di masyarakat sehingga penafsirannya menjadi lentur seperti karet,” imbuhnya.
Kedua, Hendra meminta agar aparat penegak hukum menggunakan pasal ujaran kebencian secara selektif. Ujaran kebencian termasuk tindak kejahatan luar biasa karena berdasarkan sejarah banyak terjadi genosida yang dimulai dari ujaran-ujaran berkenaan dengan identitas kelompok yang berdasarkan agama, suku, golongan dan ras. Yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini, terjadi penyempitan kepada arti ujaran kebencian.
“Sekarang orang dengan mudah mengatakan lontaran kata kasar atau kata yang tidak disukai walaupun tidak berdasarkan SARA sebagai ujaran kebencian dan kemudian menjadi delik pidana. Ini harus diluruskan,” terang Hendra.
Yang ketiga adalah penegakan terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006 tentang Pasal-pasal Penghinaan Presiden. Hendra meminta jangan ada lagi upaya membuat peraturan atau melakukan proses hukum yang bertentangan dengan apa yang sudah diputus oleh Mahkamah Konstitusi. "Sebagai negara hukum kita harus belajar tunduk kepada konstitusi negara walaupun mungkin isi putusan tidak sesuai kepentingan,” ucapnya.
Hendra menambahkan secara usia, Indonesia adalah negara yang masih muda dan terus berkembang termasuk persoalan demokrasi, kebebasan berpendapat, kebebasan berkumpul dan lain sebagainya. Misalnya pada Orde Lama tidak ada lembaga untuk menguji peraturan yang dibuat pemerintah; lalu di Orde Baru dibuat Pengadilan Tata Usaha Negara dan Hak Uji Materi di Mahkamah Agung, dan pada masa reformasi dibuat Mahkamah Konstitusi.
"Selama ini hukum Indonesia menunjukkan progress berkelanjutan di mana hukum semakin menjadi panglima. Oleh karena itu kita harus menjaga dan mencegah hukum dan demokrasi Indonesia mengalami regresif," tutupnya.
“JK adalah Wakil Presiden untuk dua presiden termasuk Jokowi. Apabila seorang mantan wakil presiden menyampaikan kritik tidak bebas dari serangan buzzer dan tuduhan memanas-manasi, bagaimana dengan rakyat biasa?” ujarnya melalu keterangan kepada wartawan, Selasa (16/2/2021).
Hendra berpendapat bahwa fenomena merosotnya demokrasi akibat buzzer dan main lapor sendiri dari salah satu pendukung tokoh politik kepada pihak yang dinilai ‘lawan politik’ sudah sangat kasat mata. “Terakhir ada yang melaporkan penerbit buku ke polisi hanya karena pencantuman tokoh Pak Ganjar yang kebetulan mirip dengan Gubernur Jawa Tengah incumbent padahal Pak Ganjar Pranowo sendiri tidak mempermasalahkan dan buku tersebut ditulis empat tahun sebelum Pak Ganjar Pranowo menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah."
"Tindakan lapor melapor semacam ini seharusnya tidak dilakukan dan tidak berfaedah karena apabila Pak Ganjar Pranowo memang merasa dirugikan, beliau bisa membuat laporan sendiri,” sambung Hendra.
Oleh sebab itu, Hendra mendukung penuh rencana pemerintah melakukan revisi terhadap pasal karet dalam UU ITE. Namun demikian, Hendra menilai masih ada beberapa hal yang harus dilakukan agar demokrasi di Indonesia tidak tambah merosot.
“Pertama adalah pencabutan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Aturan ini dibuat pada masa revolusi fisik dan malah digunakan pada era modern dan penuh keterbukaan seperti sekarang."
"Misalnya aturan ini dipakai untuk mempidana orang dengan alasan menyebar kabar bohong yang menyebabkan keonaran di masyarakat. Padahal aturan tersebut tidak memberikan definisi jelas apa yang dimaksud dengan kabar bohong dan keonaran di masyarakat sehingga penafsirannya menjadi lentur seperti karet,” imbuhnya.
Kedua, Hendra meminta agar aparat penegak hukum menggunakan pasal ujaran kebencian secara selektif. Ujaran kebencian termasuk tindak kejahatan luar biasa karena berdasarkan sejarah banyak terjadi genosida yang dimulai dari ujaran-ujaran berkenaan dengan identitas kelompok yang berdasarkan agama, suku, golongan dan ras. Yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini, terjadi penyempitan kepada arti ujaran kebencian.
“Sekarang orang dengan mudah mengatakan lontaran kata kasar atau kata yang tidak disukai walaupun tidak berdasarkan SARA sebagai ujaran kebencian dan kemudian menjadi delik pidana. Ini harus diluruskan,” terang Hendra.
Yang ketiga adalah penegakan terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006 tentang Pasal-pasal Penghinaan Presiden. Hendra meminta jangan ada lagi upaya membuat peraturan atau melakukan proses hukum yang bertentangan dengan apa yang sudah diputus oleh Mahkamah Konstitusi. "Sebagai negara hukum kita harus belajar tunduk kepada konstitusi negara walaupun mungkin isi putusan tidak sesuai kepentingan,” ucapnya.
Hendra menambahkan secara usia, Indonesia adalah negara yang masih muda dan terus berkembang termasuk persoalan demokrasi, kebebasan berpendapat, kebebasan berkumpul dan lain sebagainya. Misalnya pada Orde Lama tidak ada lembaga untuk menguji peraturan yang dibuat pemerintah; lalu di Orde Baru dibuat Pengadilan Tata Usaha Negara dan Hak Uji Materi di Mahkamah Agung, dan pada masa reformasi dibuat Mahkamah Konstitusi.
"Selama ini hukum Indonesia menunjukkan progress berkelanjutan di mana hukum semakin menjadi panglima. Oleh karena itu kita harus menjaga dan mencegah hukum dan demokrasi Indonesia mengalami regresif," tutupnya.
(kri)
tulis komentar anda