Menuju Negara Paripurna
Selasa, 16 Februari 2021 - 06:01 WIB
Hasibullah Satrawi
Ketua Pengurus Aliansi Indonesia Damai (Aida)
Tanggal 16 Desember 2020 menjadi hari yang sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia, khususnya dalam proses menuju negara paripurna. Pada tanggal itu Presiden Republik Indonesia Joko Widodo secara simbolik menyerahkan kompensasi bagi para korban aksi terorisme di masa lalu. Dari total 215 korban aksi terorisme yang akan mendapatkan kompensasi pada tahapan sementara ini, sebagian korban diundang ke Istana Merdeka untuk menerima kompensasi secara simbolik.
Berdasarkan UU Nomor 5/2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35/2020 sebagai peraturan turunan, yang dimaksud dengan korban aksi terorisme di masa lalu adalah mereka yang menjadi korban dari aksi terorisme yang terjadi sebelum undang-undang tersebut disahkan (2018) hingga peristiwa terjadinya aksi terorisme di Bali pada 2002 (dikenal dengan istilah Bom Bali I). Ketentuan peralihan dalam undang-undang tersebut (Pasal 43L) menyebutkan bahwa korban di masa lalu yang belum mendapatkan layanan medis, psikologi, psikososial, dan kompensasi berhak (bisa diproses) untuk mendapatkan hak-hak tersebut (ayat 1).
Bahkan pemberian kompensasi untuk korban di masa lalu diberikan keistimewaan; tidak harus melalui putusan pengadilan (sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat 6), melainkan bisa melalui penetapan dan penghitungan yang dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban atau LPSK (Pasal 43L ayat 6). Jenis kompensasi inilah yang secara simbolik diberikan Presiden pada 16 Desember 2020 kepada perwakilan korban dengan disaksikan oleh segenap pimpinan LPSK dan sejumlah pejabat negara dari lembaga terkait lain.
Sejarah Hak Korban Terorisme
Pada awalnya para korban aksi terorisme di Indonesia tidak mendapatkan hak apa pun dari negara, baik hak medis, psikologis, psikososial ataupun kompensasi. Para korban di negeri ini baru berhak mendapatkan dukungan dari negara seiring disahkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 15/2003. UU ini memberikan dua hak bagi para korban aksi terorisme, yaitu hak restitusi (ganti rugi yang dibebankan kepada pelaku terorisme) atau kompensasi (hak ganti rugi yang dibebankan kepada negara). Pemberian kompensasi di dalam undang-undang ini diatur berdasarkan putusan pengadilan (Pasal 36 ayat 4).
Berdasarkan pengalaman Aliansi Indonesia Damai (Aida) mendampingi para korban aksi terorisme di masa lalu, tidak ada satu pun dari mereka yang mendapatkan hak kompensasi maupun restitusi. Alih-alih mendapatkan salah satu dari kedua hak tersebut, para korban maupun keluarganya bahkan tidak mengetahui bahwa ada hak yang diatur oleh undang-undang untuk mereka.
tulis komentar anda