Komisi X DPR: Kebiasaan Baca Buku Harus Dimulai dari Keluarga Sejak Dini
Minggu, 17 Mei 2020 - 20:59 WIB
Semakin rendahnya minat baca di Indonesia menjadi fakta yang menyedihkan di Hari Buku Nasional kali ini. Karena itu, menurut Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifa Sjaifudian, perlu ada pendekatan-pendekatan baru untuk meningkatkan minat baca masyarakat, dan membaca buku ini seharusnya dimulai dari keluarga masing-masing dan sejak dini. (Baca juga: Jokowi: Buku Apa Saja yang Anda Baca Selama Pandemi?)
“Berdasarkan penelitian dari Central Connecticut State University (CCSU) yang diumumkan Maret 2016, Indonesia berada di peringkat 60 dari 61 negara yang disurvei dalam hal literasi,” kata Hetifah saat dihubungi SINDOnews, Minggu (17/5/2020). (Baca juga: Hari Buku Nasional, Pengamat: Nasib Buku dari Dulu Sampai Sekarang Apes)
Namun demikian, Hetifah melanjutkan, beberapa pihak menilai rendahnya peringkat literasi ini bukanlah disebabkan rendahnya minat baca anak-anak Indonesia, melainkan minimnya akses terhadap bahan bacaan. Faktanya, Indonesia memiliki jumlah perpustakaan terbanyak kedua di dunia setelah India tetapi, itu tidak berbanding lurus dengan angka literasi. “Sayangnya, hal ini tidak berimplikasi terhadap tingginya angka literasi,” sesal Hetifah.
Oleh karena itu, lanjut dia, sudah saatnya Perpustakana Nasional (Perpusnas) memikirkan cara-cara baru untuk menjangkau masyarakat di luar dari pembangunan perpustakaan secara fisik. Perlu ada pendekatan-pendekatan baru yang dicoba untuk meningkatkan minat baca. Sekarang, orang sudah jarang yang datang ke perpustakaan fisik, apalagi di kondisi Indonesia yang secara geografis berpulau-pulau menjadi sangat sulit.
“Tapi, hampir semua orang memiliki gadget di tangan. Potensi itu yang harus kita manfaatkan. Apalagi dengan adanya Covid-19 ini, masyarakat Indonesia sudah semakin terbiasa untuk menggunakan teknologi. Kita harus beralih dari menggunakan target-target konvensional seperti jumlah perpus, rak buku, dan lain-lain ke target-target digital seperti jumlah user iPusnas, jumlah buku yang dibaca, jumlah judul yang tersedia, dan sebaganya. Akses internet yang merata tentu merupakan prasyarat agar ini berhasil,” usul Wakil Ketua Umum Partai Golkar itu.
Meski demikian, Hetifah mengakui minat baca buku digital pun rendah. Sehingga, minat membaca buku ini memang harus dibiasakan sejak dini di keluarga. Minat baca biasanya dibentuk sejak usia dini. “Biasanya kalau orang tua senang buku anaknya juga jadi suka. Dilanjutkan di sekolah juga harus lebih banyak kesempatan membaca, mendiskusikan isi buku. Juga didorong adanya klub-klub buku,” tuturnya.
Selain itu, legislator Dapil Kalimantan Timur ini menambahkan, orang tua juga perlu mendorong rasa ingin tahu dan rasa penasaran anak untuk mengeksplorasi buku. Jangan hanya dibatasi pada buku pelajaran atau buku agama saja. “Kalau senang buku cerita beri buku cerita. Kalau emang buku bergambar beri buku bergambar. Sehingga anak tidak melihat buku jadi beban dan sarana belajar dan mengerjakan tugas saja, tapi sarana bermain dan hiburan,” ucapnya.
“Berdasarkan penelitian dari Central Connecticut State University (CCSU) yang diumumkan Maret 2016, Indonesia berada di peringkat 60 dari 61 negara yang disurvei dalam hal literasi,” kata Hetifah saat dihubungi SINDOnews, Minggu (17/5/2020). (Baca juga: Hari Buku Nasional, Pengamat: Nasib Buku dari Dulu Sampai Sekarang Apes)
Namun demikian, Hetifah melanjutkan, beberapa pihak menilai rendahnya peringkat literasi ini bukanlah disebabkan rendahnya minat baca anak-anak Indonesia, melainkan minimnya akses terhadap bahan bacaan. Faktanya, Indonesia memiliki jumlah perpustakaan terbanyak kedua di dunia setelah India tetapi, itu tidak berbanding lurus dengan angka literasi. “Sayangnya, hal ini tidak berimplikasi terhadap tingginya angka literasi,” sesal Hetifah.
Oleh karena itu, lanjut dia, sudah saatnya Perpustakana Nasional (Perpusnas) memikirkan cara-cara baru untuk menjangkau masyarakat di luar dari pembangunan perpustakaan secara fisik. Perlu ada pendekatan-pendekatan baru yang dicoba untuk meningkatkan minat baca. Sekarang, orang sudah jarang yang datang ke perpustakaan fisik, apalagi di kondisi Indonesia yang secara geografis berpulau-pulau menjadi sangat sulit.
“Tapi, hampir semua orang memiliki gadget di tangan. Potensi itu yang harus kita manfaatkan. Apalagi dengan adanya Covid-19 ini, masyarakat Indonesia sudah semakin terbiasa untuk menggunakan teknologi. Kita harus beralih dari menggunakan target-target konvensional seperti jumlah perpus, rak buku, dan lain-lain ke target-target digital seperti jumlah user iPusnas, jumlah buku yang dibaca, jumlah judul yang tersedia, dan sebaganya. Akses internet yang merata tentu merupakan prasyarat agar ini berhasil,” usul Wakil Ketua Umum Partai Golkar itu.
Meski demikian, Hetifah mengakui minat baca buku digital pun rendah. Sehingga, minat membaca buku ini memang harus dibiasakan sejak dini di keluarga. Minat baca biasanya dibentuk sejak usia dini. “Biasanya kalau orang tua senang buku anaknya juga jadi suka. Dilanjutkan di sekolah juga harus lebih banyak kesempatan membaca, mendiskusikan isi buku. Juga didorong adanya klub-klub buku,” tuturnya.
Selain itu, legislator Dapil Kalimantan Timur ini menambahkan, orang tua juga perlu mendorong rasa ingin tahu dan rasa penasaran anak untuk mengeksplorasi buku. Jangan hanya dibatasi pada buku pelajaran atau buku agama saja. “Kalau senang buku cerita beri buku cerita. Kalau emang buku bergambar beri buku bergambar. Sehingga anak tidak melihat buku jadi beban dan sarana belajar dan mengerjakan tugas saja, tapi sarana bermain dan hiburan,” ucapnya.
(cip)
tulis komentar anda