Selamatkan Buku, Harus Ada Gerakan Bersama Masyarakat Membaca
Minggu, 17 Mei 2020 - 18:50 WIB
JAKARTA - Rendahnya minat baca buku masyarakat berdasarkan Indek Literasi Baca Masyarakat oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) 2019 bahwa, 80% provinsi Indonesia darurat literasi baca. (Baca juga: Jokowi: Buku Apa Saja yang Anda Baca Selama Pandemi?)
Hal tersebut karena minimnya akses dan juga PISA 2018 di mana skor Indonesia hanya 371. Kondisi ini membuat nasib buku kian memprihatinkan. Untuk itu, pada peringatan Hari Buku Nasional yang jatuh hari ini, masyarakat diimbau membuat gerakan bersama masyarakat membaca untuk meningkatkan minat baca dan juga literasi keluarga maupun masyarakat. (Baca juga: Hari Buku Nasional, Pengamat: Nasib Buku dari Dulu Sampai Sekarang Apes)
“Kalau saya usul bagaimana meningkatkan literasi membaca, ini harus ada Gerakan. Selama ini sudah ada Gerakan Literasi Nasional tetapi, kerjaannya memberikan akses. Kan kegiatannya bagi-bagi buku, bikin perpustakaan keliling, dan lain-lain. Di dalam keluarga-keluarga itu tidak ada kebiasaan membaca, di masyarakat nggak ada kebiasaan membaca. Makanya harus ada gerakan bersama bagaimana masyarat itu bisa membaca,” kata pengamat pendidikan Doni Koesuma kepada SINDOnews, Minggu (17/5/2020).
Menurut Doni, gerakan tersebut bisa dimulai dari sekolah melalui kerja sama dengan orang tua memberikan buku-buku tertentu, masukan dan diskusi sehingga, masyarakat mau membaca buku tersebut. Kedua, dengan memanfaatkan teknologi berupa sosial media (sosmed) yang memuat banyak informasi yang terkait literasi. Karena, masyarakat tidak bisa membaca secara kritis sehingga apa yang ada di dalam sosmed, termasuk apapun yang diforward di grup WhatsApp dan sosmed dianggap benar. Edukasi ini harus dimulai oleh para influencer atau orang-orang di dunia digital, dan itu harus lebih banyak.
“Ketika ada hoaks harus ditunjukkan bahwa ini salah, harus ada edukasi. Penggerak literasi digital itu nggak banyak, saya nggak melihat ada komunitasnya. Kalau yang antihoaks itu biasanya ada lembaganya untuk mengecek ini hoaks atau nggak,” kata Doni.
Doni menjelaskan, bagaimana melatih orang Indonesia yang hampir 260 juta menggunakan handphone itu. Karena, mengerikan sekali bahwa faktanya masyarakat dibombardir dengan berita palsu tanpa adanya literasi teknologi dan juga kemauan untuk membaca guna mencari sebuah fakta. Jadi, diperlukan gerakan masyarakat untuk mengedukasi masyarakat di platform digital ini.
“Jadi, masyarakat yang melek literasi, punya akses digital harus mengedukasi. Tapi kan yang ditulis selama ini lebih pada pengalaman diri kalau mereka nggak mau forward-forward kan. Jadi lebih banyak narsis, cerita dirinya sendiri yang tidak ada unsur edukasi ke masyarakat. Karena masyarakat itu nggak bisa diminta untuk Latihan, langsung berhadapan dengan handphone kalau ada yang keliru bisa langsung ditunjuk di situ,” imbuhnya.
Terakhir, dia menambahkan, penyedia jasa apliaksi seperti Facebook, Twitter dan aplikasi medsos lainnya punya tanggung jawab moral di media. Tidak bisa mereka lepas tanggung jawab bahwa mereka hanya menyediakan platform yang digunakan untuk membohongi dan merasa tidak punya tanggung jawab atas itu. Tentu, itu tidak bisa dibenarkan dalam etika komunikasi. Karena sekarang, di negara barat pun para penyedia aplikasi medsos ini mulai dituntut etika moral mereka untuk membuat sistem yang lebih ketat.
“Karena system forward sudah memakan banyak korban, isu-isu yang beredar lewat forwarding cepat sekali karena pembuat aplikasi tidak bijak membuat fitur itu sehingga masyarakat belum terdidik. Jadi dia harus mengedukasi, membuat mekansime bagaimana saat berita palsu diforward, harus menyetop. Mengedukasi masyarakat sehingga tidak mudah forward, harus ada catatannya,” katanya. kiswondari
Hal tersebut karena minimnya akses dan juga PISA 2018 di mana skor Indonesia hanya 371. Kondisi ini membuat nasib buku kian memprihatinkan. Untuk itu, pada peringatan Hari Buku Nasional yang jatuh hari ini, masyarakat diimbau membuat gerakan bersama masyarakat membaca untuk meningkatkan minat baca dan juga literasi keluarga maupun masyarakat. (Baca juga: Hari Buku Nasional, Pengamat: Nasib Buku dari Dulu Sampai Sekarang Apes)
“Kalau saya usul bagaimana meningkatkan literasi membaca, ini harus ada Gerakan. Selama ini sudah ada Gerakan Literasi Nasional tetapi, kerjaannya memberikan akses. Kan kegiatannya bagi-bagi buku, bikin perpustakaan keliling, dan lain-lain. Di dalam keluarga-keluarga itu tidak ada kebiasaan membaca, di masyarakat nggak ada kebiasaan membaca. Makanya harus ada gerakan bersama bagaimana masyarat itu bisa membaca,” kata pengamat pendidikan Doni Koesuma kepada SINDOnews, Minggu (17/5/2020).
Menurut Doni, gerakan tersebut bisa dimulai dari sekolah melalui kerja sama dengan orang tua memberikan buku-buku tertentu, masukan dan diskusi sehingga, masyarakat mau membaca buku tersebut. Kedua, dengan memanfaatkan teknologi berupa sosial media (sosmed) yang memuat banyak informasi yang terkait literasi. Karena, masyarakat tidak bisa membaca secara kritis sehingga apa yang ada di dalam sosmed, termasuk apapun yang diforward di grup WhatsApp dan sosmed dianggap benar. Edukasi ini harus dimulai oleh para influencer atau orang-orang di dunia digital, dan itu harus lebih banyak.
“Ketika ada hoaks harus ditunjukkan bahwa ini salah, harus ada edukasi. Penggerak literasi digital itu nggak banyak, saya nggak melihat ada komunitasnya. Kalau yang antihoaks itu biasanya ada lembaganya untuk mengecek ini hoaks atau nggak,” kata Doni.
Doni menjelaskan, bagaimana melatih orang Indonesia yang hampir 260 juta menggunakan handphone itu. Karena, mengerikan sekali bahwa faktanya masyarakat dibombardir dengan berita palsu tanpa adanya literasi teknologi dan juga kemauan untuk membaca guna mencari sebuah fakta. Jadi, diperlukan gerakan masyarakat untuk mengedukasi masyarakat di platform digital ini.
“Jadi, masyarakat yang melek literasi, punya akses digital harus mengedukasi. Tapi kan yang ditulis selama ini lebih pada pengalaman diri kalau mereka nggak mau forward-forward kan. Jadi lebih banyak narsis, cerita dirinya sendiri yang tidak ada unsur edukasi ke masyarakat. Karena masyarakat itu nggak bisa diminta untuk Latihan, langsung berhadapan dengan handphone kalau ada yang keliru bisa langsung ditunjuk di situ,” imbuhnya.
Terakhir, dia menambahkan, penyedia jasa apliaksi seperti Facebook, Twitter dan aplikasi medsos lainnya punya tanggung jawab moral di media. Tidak bisa mereka lepas tanggung jawab bahwa mereka hanya menyediakan platform yang digunakan untuk membohongi dan merasa tidak punya tanggung jawab atas itu. Tentu, itu tidak bisa dibenarkan dalam etika komunikasi. Karena sekarang, di negara barat pun para penyedia aplikasi medsos ini mulai dituntut etika moral mereka untuk membuat sistem yang lebih ketat.
“Karena system forward sudah memakan banyak korban, isu-isu yang beredar lewat forwarding cepat sekali karena pembuat aplikasi tidak bijak membuat fitur itu sehingga masyarakat belum terdidik. Jadi dia harus mengedukasi, membuat mekansime bagaimana saat berita palsu diforward, harus menyetop. Mengedukasi masyarakat sehingga tidak mudah forward, harus ada catatannya,” katanya. kiswondari
(cip)
Lihat Juga :
tulis komentar anda