Desain Pilkada 2024 Dinilai Hanya Fasilitasi Kepentingan Partai Penguasa
Rabu, 10 Februari 2021 - 09:59 WIB
JAKARTA - Analis Politik yang juga Dosen Universitas Paramadina, Khoirul Umam menyatakan, desain Pilkada serentak 2024 hanya memfasilitasi kepentingan partai penguasa. Hal ini dikatakan Umam menanggapi mayoritas Fraksi di DPR yang 'balik badan' menolak Revisi UU Pemilu dan kecenderungan mendukung Pilkada serentak dilaksanakan 2024.
Menurut Umam, argumen yang diajukan pemerintah tentang penolakan Pilkada 2022 dan 2023 jelas inkonsisten dengan sikap pemerintah saat memaksakan Pilkada 2020 lalu.
"Terlepas dari sudah tercapainya kepentingan keluarga presiden di Pilkada 2020, tampaknya partai penguasa tengah berusaha mengamankan kepentingannya untuk melemahkan rival politik di DKI Jakarta, Jawa Timur, Banten, dan Jawa Barat, sebagai provinsi besar di wilayah Jawa yang sangat berpengaruh terhadap kekuatan suaranya di Pemilu dan Pilpres 2024 mendatang, mengingat 50% populasi nasional ada di Jawa," ujarnya saat dihubungi SINDOnews, Rabu (10/2/2021).
Umam menilai, dengan 'mem-Pj-kan' (menugaskan pejabat sementara) para kepala daerah di wilayah strategis, maka pengamanan suara akan jauh lebih mudah dikendalikan di Pileg dan Pilpres 2024. Selain itu, dengan mem-PJ-kan 278 kepala daerah, berarti pemerintah pusat hendak menggantung berjalannya pemerintahan lokal karena PJ atau penjabat tidak memiliki otoritas kebijakan strategis di tingkat daerah.
"Sekali lagi, argumen pemerintah yang menolak Pilkada 2022/2023 dengan alasan pandemi, sama sekali tidak konsisten dengan sikap politiknya saat memaksakan Pilkada 2020. Permainan dan kalkulasi kepentingannya terlalu vulgar," kata lulusan Universitas Queenslands Australia ini.
Di sisi lain, ia menduga, perubahan sikap partai-partai 'medioker' itu besar kemungkinan dipengaruhi kalkulasi transaksional. Misalnya PAN, membebek pada sikap pemerintah karena sudah mendapatkan tawaran dan janji 1 kursi menteri pada resuffle jilid II mendatang.
"Sedangkan partai kecil seperti PPP tampaknya memilih aman karena takut jika aturan presidential threshold dibahas ulang di UU Pemilu dan bisa mengancam eksistensi partai-partai kecil tersebut," katanya.
Menurut Umam, argumen yang diajukan pemerintah tentang penolakan Pilkada 2022 dan 2023 jelas inkonsisten dengan sikap pemerintah saat memaksakan Pilkada 2020 lalu.
"Terlepas dari sudah tercapainya kepentingan keluarga presiden di Pilkada 2020, tampaknya partai penguasa tengah berusaha mengamankan kepentingannya untuk melemahkan rival politik di DKI Jakarta, Jawa Timur, Banten, dan Jawa Barat, sebagai provinsi besar di wilayah Jawa yang sangat berpengaruh terhadap kekuatan suaranya di Pemilu dan Pilpres 2024 mendatang, mengingat 50% populasi nasional ada di Jawa," ujarnya saat dihubungi SINDOnews, Rabu (10/2/2021).
Umam menilai, dengan 'mem-Pj-kan' (menugaskan pejabat sementara) para kepala daerah di wilayah strategis, maka pengamanan suara akan jauh lebih mudah dikendalikan di Pileg dan Pilpres 2024. Selain itu, dengan mem-PJ-kan 278 kepala daerah, berarti pemerintah pusat hendak menggantung berjalannya pemerintahan lokal karena PJ atau penjabat tidak memiliki otoritas kebijakan strategis di tingkat daerah.
"Sekali lagi, argumen pemerintah yang menolak Pilkada 2022/2023 dengan alasan pandemi, sama sekali tidak konsisten dengan sikap politiknya saat memaksakan Pilkada 2020. Permainan dan kalkulasi kepentingannya terlalu vulgar," kata lulusan Universitas Queenslands Australia ini.
Di sisi lain, ia menduga, perubahan sikap partai-partai 'medioker' itu besar kemungkinan dipengaruhi kalkulasi transaksional. Misalnya PAN, membebek pada sikap pemerintah karena sudah mendapatkan tawaran dan janji 1 kursi menteri pada resuffle jilid II mendatang.
"Sedangkan partai kecil seperti PPP tampaknya memilih aman karena takut jika aturan presidential threshold dibahas ulang di UU Pemilu dan bisa mengancam eksistensi partai-partai kecil tersebut," katanya.
(abd)
Lihat Juga :
tulis komentar anda