Ini Ruginya Kalau Pilpres, Pileg, dan Pilkada Digelar Serentak
Selasa, 02 Februari 2021 - 10:35 WIB
JAKARTA - Setidaknya ada dua masalah bila pemilu legislatif (pileg), pemilu presiden ( pilpres ) dan pemilihan kepala daerah ( pilkada ) dalam satu waktu yang digelar tahun 2024. Keduanya yaitu aspek penyelenggara dan objek pemilih.
"Pertama dari sisi penyelenggara. Kita punya pengalaman Pemilu 2019 di mana penyelenggara pemilu kewalahan, bahkan muncul korban jiwa," tutur Manajer Program Saiful Mujani Research and Consulting ( SMRC ), Saidiman Ahmad saat dihubungi SINDOnews, Selasa (2/2/2021).
(Baca: Banyak Plt Kepala Daerah, Pilkada 2024 Membuat Pemda Tak Efektif)
Kedua, kata Saidiman, dari sisi warga pemilih. Pemilu merupakan momentum di mana warga menentukan nasibnya selama lima tahun ke depan. Mereka perlu memiliki informasi yang memadai untuk menentukan pilihan. Sehingga, dalam pemilu yang bertumpuk, warga akan mendapatkan informasi politik pada waktu yang bersamaan.
Menurutnya, ruang untuk merefleksikan pilihan akan menyempit. Akibatnya, pilihan bisa bergeser dari yang mungkin rasional menjadi emosional. Dan ini kurang baik untuk pertumbuhan demokrasi kita ke depannya.
(Baca: Pernah Ngotot Gelar Pilkada 2020, Pemerintah Dinilai Amnesia Tolak Revisi UU Pemilu)
Hal lain adalah ketika Pilkada ditiadakan di 2022 dan 2023, maka posisi kepala-kepala daerah akan diisi oleh pejabat sementara yang ditunjuk. "Ini juga akan mengurangi demokrasi karena akan muncul kepala-kepala daerah yang duduk bukan berdasarkan aspirasi publik," tukasnya.
"Pertama dari sisi penyelenggara. Kita punya pengalaman Pemilu 2019 di mana penyelenggara pemilu kewalahan, bahkan muncul korban jiwa," tutur Manajer Program Saiful Mujani Research and Consulting ( SMRC ), Saidiman Ahmad saat dihubungi SINDOnews, Selasa (2/2/2021).
(Baca: Banyak Plt Kepala Daerah, Pilkada 2024 Membuat Pemda Tak Efektif)
Kedua, kata Saidiman, dari sisi warga pemilih. Pemilu merupakan momentum di mana warga menentukan nasibnya selama lima tahun ke depan. Mereka perlu memiliki informasi yang memadai untuk menentukan pilihan. Sehingga, dalam pemilu yang bertumpuk, warga akan mendapatkan informasi politik pada waktu yang bersamaan.
Menurutnya, ruang untuk merefleksikan pilihan akan menyempit. Akibatnya, pilihan bisa bergeser dari yang mungkin rasional menjadi emosional. Dan ini kurang baik untuk pertumbuhan demokrasi kita ke depannya.
(Baca: Pernah Ngotot Gelar Pilkada 2020, Pemerintah Dinilai Amnesia Tolak Revisi UU Pemilu)
Hal lain adalah ketika Pilkada ditiadakan di 2022 dan 2023, maka posisi kepala-kepala daerah akan diisi oleh pejabat sementara yang ditunjuk. "Ini juga akan mengurangi demokrasi karena akan muncul kepala-kepala daerah yang duduk bukan berdasarkan aspirasi publik," tukasnya.
(muh)
Lihat Juga :
tulis komentar anda