Menegaskan Esensi PPKM
Senin, 01 Februari 2021 - 05:05 WIB
PEMBERLAKUAN pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) saat ini memasuki pekan keempat sejak diberlakukan secara serentak se-Pulau Jawa mulai 11 Januari lalu. Kebijakan ini merupakan kelanjutan dari pembatasan aktivitas masyarakat, yakni pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dalam rangka mengurangi persebaran Covid-19.
PSBB, yang berlangsung sejak April 2020 silam, dalam perjalanannya telah beberapa kali diperpanjang dan diteruskan dengan masa PSBB transisi di awal Juni 2020. Berbagai kebijakan pembatasan aktivitas sosial ini tujuannya masih sama: untuk mengurangi persebaran virus korona.
Namun, setelah 10 bulan berlalu nyatanya virus korona belum juga hilang dari negeri ini. Hingga kemarin total jumlah kasus positif Covid-19 di Tanah Air mencapai 1.078.314 orang, dengan jumlah pasien meninggal dunia 29.998 orang dan akumulasi pasien yang sembuh 873.221 orang. Berdasarkan data Satgas Penanganan Covid-19 pada Minggu (31/01/21), kasus positif harian hingga pukul 12.00 WIB mencapai 12.001 orang, kasus meninggal bertambah 270 orang, dan jumlah pasien sembuh bertambah 10.719 orang.
Melihat data kasus positif yang sudah 1 juta orang lebih, hendaknya ini menjadi cermin bagi semua pihak bahwa Covid-19 ini nyata adanya. Selain menelan korban jiwa masyarakat biasa, Covid-19 telah merenggut nyawa ratusan tenaga kesehatan, termasuk dokter, yang menjadi salah satu garda terdepan penanganan korona. Data Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyebutkan, 289 dokter meninggal akibat Covid-19.
Fakta jumlah kasus positif dan jumlah kematian di atas sungguh memilukan, terutama bagi keluarga yang kehilangan orang-orang terdekatnya. Akumulasi kasus positif juga menjadi bukti bahwa segala macam upaya pembatasan aktivitas sosial terbukti belum mampu menekan angka persebaran virus korona.
Bahkan, kasus Covid-19 kini sudah semakin dekat dengan kita. Jika dulu di awal pandemi kita hanya melihat berita ada orang yang terkena virus, lalu dikarantina atau di rawat, kini kasus Covid-19 sudah ada di lingkungan sosial terkecil, keluarga. Di sinilah perlunya kita terus waspada dan tidak boleh kendor menerapkan protokol kesehatan yang disarankan pemerintah.
Merespons semakin banyaknya kasus positif di lingkungan terdekat seperti tingkat RT/RW, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pekan lalu menegaskan kembali pentingnya pembatasan sosial di masyarakat agar penularan Covid-19 bisa lebih dikendalikan. Presiden, seperti dikutip Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy, bahkan ingin agar penerapan PPKM di tingkat rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW).
Saat rapat terbatas di Istana Bogor, Jumat (29/01/21) Jokowi juga menekankan bahwa esensi dari PPKM adalah membatasi mobilitas. Sayangnya, Presiden melihat implementasinya justru masih lemah dan tidak konsisten.
Apa yang dikatakan Presiden bukan tanpa alasan. Jika diamati di lapangan, penerapan protokol kesehatan di masyarakat memang belum seragam. Masih banyak orang-orang berkumpul tanpa masker dan tidak menjaga jarak. Pemandangan seperti ini bisa dilihat dari level RT/RW hingga di tempat umum seperti warung makan di luar pusat perbelanjaan.
PSBB, yang berlangsung sejak April 2020 silam, dalam perjalanannya telah beberapa kali diperpanjang dan diteruskan dengan masa PSBB transisi di awal Juni 2020. Berbagai kebijakan pembatasan aktivitas sosial ini tujuannya masih sama: untuk mengurangi persebaran virus korona.
Namun, setelah 10 bulan berlalu nyatanya virus korona belum juga hilang dari negeri ini. Hingga kemarin total jumlah kasus positif Covid-19 di Tanah Air mencapai 1.078.314 orang, dengan jumlah pasien meninggal dunia 29.998 orang dan akumulasi pasien yang sembuh 873.221 orang. Berdasarkan data Satgas Penanganan Covid-19 pada Minggu (31/01/21), kasus positif harian hingga pukul 12.00 WIB mencapai 12.001 orang, kasus meninggal bertambah 270 orang, dan jumlah pasien sembuh bertambah 10.719 orang.
Melihat data kasus positif yang sudah 1 juta orang lebih, hendaknya ini menjadi cermin bagi semua pihak bahwa Covid-19 ini nyata adanya. Selain menelan korban jiwa masyarakat biasa, Covid-19 telah merenggut nyawa ratusan tenaga kesehatan, termasuk dokter, yang menjadi salah satu garda terdepan penanganan korona. Data Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyebutkan, 289 dokter meninggal akibat Covid-19.
Fakta jumlah kasus positif dan jumlah kematian di atas sungguh memilukan, terutama bagi keluarga yang kehilangan orang-orang terdekatnya. Akumulasi kasus positif juga menjadi bukti bahwa segala macam upaya pembatasan aktivitas sosial terbukti belum mampu menekan angka persebaran virus korona.
Bahkan, kasus Covid-19 kini sudah semakin dekat dengan kita. Jika dulu di awal pandemi kita hanya melihat berita ada orang yang terkena virus, lalu dikarantina atau di rawat, kini kasus Covid-19 sudah ada di lingkungan sosial terkecil, keluarga. Di sinilah perlunya kita terus waspada dan tidak boleh kendor menerapkan protokol kesehatan yang disarankan pemerintah.
Merespons semakin banyaknya kasus positif di lingkungan terdekat seperti tingkat RT/RW, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pekan lalu menegaskan kembali pentingnya pembatasan sosial di masyarakat agar penularan Covid-19 bisa lebih dikendalikan. Presiden, seperti dikutip Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy, bahkan ingin agar penerapan PPKM di tingkat rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW).
Saat rapat terbatas di Istana Bogor, Jumat (29/01/21) Jokowi juga menekankan bahwa esensi dari PPKM adalah membatasi mobilitas. Sayangnya, Presiden melihat implementasinya justru masih lemah dan tidak konsisten.
Apa yang dikatakan Presiden bukan tanpa alasan. Jika diamati di lapangan, penerapan protokol kesehatan di masyarakat memang belum seragam. Masih banyak orang-orang berkumpul tanpa masker dan tidak menjaga jarak. Pemandangan seperti ini bisa dilihat dari level RT/RW hingga di tempat umum seperti warung makan di luar pusat perbelanjaan.
Lihat Juga :
tulis komentar anda