Perlu Upaya Bersama Deteksi Dini Cegah Aksi Terorisme
Jum'at, 29 Januari 2021 - 22:43 WIB
JAKARTA - Peraturan Presiden tentang Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang mengarah ke terorisme ( Perpres RAN-PE ) sempat menjadi perbincangan di masyarakat hingga menimbulkan prokontra.
Aturan tersebut dinilai penting untuk mencegah aksi teror. Seperti menghadapi penyakit, mencegah aksi teroris dinilai lebih baik ketimbang merehabilitasi pelaku teror.
Menurut Guru Besar Psikologi Politik dari Universitas Indonesia Prof Dr Hamdi Muluk, merehabilitasi orang yang sudah menjadi teroris bukan pekerjaan mudah. Kemudian, jika aksi terornya tidak dicegah maka akan menimbulkan kerusakan dan ketakutan di masyarakat. Menurut dia, banyak dampak yang ditimbulkan dari orang yang menjadi teroris.
”Maka kita mencegah supaya orang jangan sampai menjadi tertarik dengan ideologi radikal yang mengarah pada terorisme. Karena ideologi radikal tentu tidak datang begitu saja, ideologi radikal itu hasil dari proses yang namanya indoktrinasi,” tutur Hamdi di Jakarta, Kamis (28/01/2021).
Hamdi menyebut, indoktrinasi itu antara lain masuk dengan cara diajarkan, dengana aktivitas yang ekslusif. ”Memang ideologi yang keras-keras radikal itu tidak diterima oleh masyarakat secara umum. Karena kebanyakan mayoritas secara umum itu moderat sebenarnya. Makanya kelompok radikal itu biasanya bikin forum-forum yang eksklusif itu,” tutur Hamdi.
Oleh karena itu, dia menyarankan agar mulai mengembangkan deteksi siaga dini di lingkungan sekitar. Hal tersebit bisa dimulai dari lingkungan terkecil seperti Rukun Tetangga dan Rukun Warga (RT/RW).
Karena, menurut dia, kelompok masyaakat dalam RT/RW di kampung-kampung itu masih sangat guyub. Di lingkungan RT/RW juga ada Sistem Keamanan Keliling (Siskamling).
”Dengan siskamling itu kan masyarakat keliling di kampung wilayahnya. Lalu misalnya warga melihat ada rumah yang terlihat tertutup, tetapi malam-malam datang 10-20 orang, lalu diam di dalam. Nah dengan adanya Siskamling maka itu bisa melapor ke RT dan RW-nya kalau ada yang mencurigakan seperti itu,” ucapnya.
Selanjutnya, kata dia, RT/RW setempat bisa melapor kepada lurah, lalu lurah melapor ke Polsek terdekat atau hotline nomor telepon tertentu yang mudah diingat seperti layanan darurat 112 atau 119. ”Harusnya kita ada nomor hotline seperti itu. Jadi kalau ada laporan tetantang aktivitas masyarakat yang mencurigakan karena terpantau oleh siskamling, oleh kemanana lingkungan dan sebagainya nah itu bisa kita berdayakan,” tutur Kepala Laboratorium Psikologi Politik Universita Indonesia ini.
Aturan tersebut dinilai penting untuk mencegah aksi teror. Seperti menghadapi penyakit, mencegah aksi teroris dinilai lebih baik ketimbang merehabilitasi pelaku teror.
Menurut Guru Besar Psikologi Politik dari Universitas Indonesia Prof Dr Hamdi Muluk, merehabilitasi orang yang sudah menjadi teroris bukan pekerjaan mudah. Kemudian, jika aksi terornya tidak dicegah maka akan menimbulkan kerusakan dan ketakutan di masyarakat. Menurut dia, banyak dampak yang ditimbulkan dari orang yang menjadi teroris.
”Maka kita mencegah supaya orang jangan sampai menjadi tertarik dengan ideologi radikal yang mengarah pada terorisme. Karena ideologi radikal tentu tidak datang begitu saja, ideologi radikal itu hasil dari proses yang namanya indoktrinasi,” tutur Hamdi di Jakarta, Kamis (28/01/2021).
Hamdi menyebut, indoktrinasi itu antara lain masuk dengan cara diajarkan, dengana aktivitas yang ekslusif. ”Memang ideologi yang keras-keras radikal itu tidak diterima oleh masyarakat secara umum. Karena kebanyakan mayoritas secara umum itu moderat sebenarnya. Makanya kelompok radikal itu biasanya bikin forum-forum yang eksklusif itu,” tutur Hamdi.
Oleh karena itu, dia menyarankan agar mulai mengembangkan deteksi siaga dini di lingkungan sekitar. Hal tersebit bisa dimulai dari lingkungan terkecil seperti Rukun Tetangga dan Rukun Warga (RT/RW).
Karena, menurut dia, kelompok masyaakat dalam RT/RW di kampung-kampung itu masih sangat guyub. Di lingkungan RT/RW juga ada Sistem Keamanan Keliling (Siskamling).
”Dengan siskamling itu kan masyarakat keliling di kampung wilayahnya. Lalu misalnya warga melihat ada rumah yang terlihat tertutup, tetapi malam-malam datang 10-20 orang, lalu diam di dalam. Nah dengan adanya Siskamling maka itu bisa melapor ke RT dan RW-nya kalau ada yang mencurigakan seperti itu,” ucapnya.
Selanjutnya, kata dia, RT/RW setempat bisa melapor kepada lurah, lalu lurah melapor ke Polsek terdekat atau hotline nomor telepon tertentu yang mudah diingat seperti layanan darurat 112 atau 119. ”Harusnya kita ada nomor hotline seperti itu. Jadi kalau ada laporan tetantang aktivitas masyarakat yang mencurigakan karena terpantau oleh siskamling, oleh kemanana lingkungan dan sebagainya nah itu bisa kita berdayakan,” tutur Kepala Laboratorium Psikologi Politik Universita Indonesia ini.
tulis komentar anda