Pemerintah Diminta Perbaiki Teknis Karantina WNI dari Luar Negeri
Senin, 25 Januari 2021 - 09:22 WIB
JAKARTA - Pemerintah diminta untuk memperbaiki tata laksana teknis karantina bagi warga negara Indonesia ( WNI ) pelaku perjalanan dari luar negeri. Sebab, Anggota Komisi IX DPR , Kurniasih Mufidayati menemukan fakta di lapangan tidak tepatnya pemberian fasilitas karantina dan tes usap PCR gratis yang diperuntukkan bagi WNI setiba di Bandara Soekarno Hatta (Soetta) dari perjalanan luar negeri.
Menurut Mufida, perlu ada perbaikan terkait tata laksana karantina tersebut mulai dari penyaringan sejak sebelum WNI mendarat di Tanah Air, PCR harus dua kali dalam waktu 4-5 hari, sampai dengan keluarnya surat izin pulang ke rumah. Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini meminta agar fasilitas karantina dan tes usap PCR gratis diberikan kepada yang layak menerima sesuai aturan.
"Sudah ada dalam Keputusan Ketua Satgas Penanganan COVID-19 Nomor 6 Tahun 2001 siapa saja yang berhak mendapatkan fasilitas karantina gratis yakni Pekerja Migran Indonesia (PMI), pelajar atau mahasiswa atau WNI yang secara ekonomi tidak mampu dibuktikan dengan Surat Pernyataan Tidak Mampu (SPTM)," ujar Mufida dalam keterangannya, Senin (25/1/2021).
Dirinya pun langsung mendatangi tempat karantina mandiri bagi WNI yang pulang ke Tanah Air di wilayah Tangerang, Banten. Kata Mufida, berdasarkan laporan yang dia terima, ternyata banyak WNI yang langsung diberikan formulir SPTM untuk diisi dan tanda tangan. Menurut dia, kondisi itu menjadi pertanyaan besar.
“Kenapa tidak sejak awal disampaikan secara terbuka tentang isi kebijakan tersebut? Ini aneh. Tiba-tiba penumpang diminta tanda tangan pernyataan tidak mampu. Kami menerima informasi ini dan langsung konfirmasi ke lapangan. Temuan ini menunjukkan ada fakta tidak tepatnya sasaran penggunaan dana untuk karantina mandiri dan telah terjadi ketidak adilan implementasi kebijakan," jelasnya.
Dia melanjutkan jika semua penumpang dibawa dan diberikan formulir SPTM berarti semua WNI yang pulang ke Indonesia dianggap tidak mampu dan diberikan subsidi biaya karantina mandiri. Mufida menilai hal tersebut harus dievaluasi dan diperbaiki segera.
“Klasifikasi pelaku perjalanan luar negeri sudah bisa dilakukan sejak awal dari data Visa yang pastinya tertera apakah mereka Pelajar, PMI atau masyarakat yang mandiri atau subsidi, sehingga tidak salah implementasi kebijakan di saat tiba di bandara," paparnya.
Temuan lain di lapangan adanya keanehan PCR yang harus dilakukan dua kali pada penumpang yang menjalani karantina. Saat sebelum terbang ke Indonesia, penumpang WNI sudah melakukan tes PCR sebagai syarat naik pesawat. Setiba di bandara, harus tes PCR lagi di lokasi karantina. Selang tiga hari, sebelum pulang ke rumah, harus PCR lagi.
"Bagaimana mungkin seseorang, harus menjalani tiga kali PCR dalam hitungan sepekan, sangat tidak logis dan menurut saya berpotensi iritasi pada hidung. Belum lagi aspek psikologi dan biaya yang harus ditanggung oleh APBN maupun pribadi penumpang. Ini sangat aneh. Harus diperbaiki kebijakan ini," kata Mufida.
Mufida juga meminta agar koordinasi antar instansi benar-benar diperbaiki. Dia mengaku sudah mengingatkan pada berbagai kesempatan tentang terlalu banyaknya stakeholder dan kuatnya ego sektoral dalam mitigas pandemi COVID-19.
"Ini sudah disampaikan berkali-kali. Persoalan birokrasi kita adalah tidak efisien dalam manajemen kerja dan penggunaan anggaran sehingga sering terjadi saling lempar tanggung jawab. Antara regulator dan pelaksana regulasi kurang memahami situasi di lapangan. Sosialisasi kebijakan ke masyarakat sangat minim dan tidak jelas substansinya," imbuhnya.
Kemudian, lanjut dia, implementasi kebijakan di lapangan sering tidak sesuai dan terjadi pembiaran situasi tersebut dan menjadi catatan yang harus segera diperbaiki. Dirinya memastikan Komisi IX DPR RI akan mendukung langkah penanggulangan COVID-19 jika dilakukan secara transparan, solutif dan adil. "Kita pastinya mendukung kebijakan yang transparan, solutif, positif dan adil bagi semua masyarakat dalam mitigasi pandemi yang berat ini," pungkasnya.
Menurut Mufida, perlu ada perbaikan terkait tata laksana karantina tersebut mulai dari penyaringan sejak sebelum WNI mendarat di Tanah Air, PCR harus dua kali dalam waktu 4-5 hari, sampai dengan keluarnya surat izin pulang ke rumah. Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini meminta agar fasilitas karantina dan tes usap PCR gratis diberikan kepada yang layak menerima sesuai aturan.
"Sudah ada dalam Keputusan Ketua Satgas Penanganan COVID-19 Nomor 6 Tahun 2001 siapa saja yang berhak mendapatkan fasilitas karantina gratis yakni Pekerja Migran Indonesia (PMI), pelajar atau mahasiswa atau WNI yang secara ekonomi tidak mampu dibuktikan dengan Surat Pernyataan Tidak Mampu (SPTM)," ujar Mufida dalam keterangannya, Senin (25/1/2021).
Dirinya pun langsung mendatangi tempat karantina mandiri bagi WNI yang pulang ke Tanah Air di wilayah Tangerang, Banten. Kata Mufida, berdasarkan laporan yang dia terima, ternyata banyak WNI yang langsung diberikan formulir SPTM untuk diisi dan tanda tangan. Menurut dia, kondisi itu menjadi pertanyaan besar.
“Kenapa tidak sejak awal disampaikan secara terbuka tentang isi kebijakan tersebut? Ini aneh. Tiba-tiba penumpang diminta tanda tangan pernyataan tidak mampu. Kami menerima informasi ini dan langsung konfirmasi ke lapangan. Temuan ini menunjukkan ada fakta tidak tepatnya sasaran penggunaan dana untuk karantina mandiri dan telah terjadi ketidak adilan implementasi kebijakan," jelasnya.
Dia melanjutkan jika semua penumpang dibawa dan diberikan formulir SPTM berarti semua WNI yang pulang ke Indonesia dianggap tidak mampu dan diberikan subsidi biaya karantina mandiri. Mufida menilai hal tersebut harus dievaluasi dan diperbaiki segera.
“Klasifikasi pelaku perjalanan luar negeri sudah bisa dilakukan sejak awal dari data Visa yang pastinya tertera apakah mereka Pelajar, PMI atau masyarakat yang mandiri atau subsidi, sehingga tidak salah implementasi kebijakan di saat tiba di bandara," paparnya.
Temuan lain di lapangan adanya keanehan PCR yang harus dilakukan dua kali pada penumpang yang menjalani karantina. Saat sebelum terbang ke Indonesia, penumpang WNI sudah melakukan tes PCR sebagai syarat naik pesawat. Setiba di bandara, harus tes PCR lagi di lokasi karantina. Selang tiga hari, sebelum pulang ke rumah, harus PCR lagi.
"Bagaimana mungkin seseorang, harus menjalani tiga kali PCR dalam hitungan sepekan, sangat tidak logis dan menurut saya berpotensi iritasi pada hidung. Belum lagi aspek psikologi dan biaya yang harus ditanggung oleh APBN maupun pribadi penumpang. Ini sangat aneh. Harus diperbaiki kebijakan ini," kata Mufida.
Mufida juga meminta agar koordinasi antar instansi benar-benar diperbaiki. Dia mengaku sudah mengingatkan pada berbagai kesempatan tentang terlalu banyaknya stakeholder dan kuatnya ego sektoral dalam mitigas pandemi COVID-19.
"Ini sudah disampaikan berkali-kali. Persoalan birokrasi kita adalah tidak efisien dalam manajemen kerja dan penggunaan anggaran sehingga sering terjadi saling lempar tanggung jawab. Antara regulator dan pelaksana regulasi kurang memahami situasi di lapangan. Sosialisasi kebijakan ke masyarakat sangat minim dan tidak jelas substansinya," imbuhnya.
Kemudian, lanjut dia, implementasi kebijakan di lapangan sering tidak sesuai dan terjadi pembiaran situasi tersebut dan menjadi catatan yang harus segera diperbaiki. Dirinya memastikan Komisi IX DPR RI akan mendukung langkah penanggulangan COVID-19 jika dilakukan secara transparan, solutif dan adil. "Kita pastinya mendukung kebijakan yang transparan, solutif, positif dan adil bagi semua masyarakat dalam mitigasi pandemi yang berat ini," pungkasnya.
(kri)
tulis komentar anda