Perppu Penanganan Covid-19 Menuai Polemik, Ini Pandangan Pengamat Hukum Tata Negara
Jum'at, 17 April 2020 - 13:20 WIB
JAKARTA - Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) menuai polemik. Beberapa lembaga swadaya dan tokoh masyarakat sudah mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Poin yang paling dipermasalahkan ada pada Pasal 27 ayat 1 sampai 3 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 itu. Di dalam perppu itu ada aturan biaya dan kebijakan yang dilakukan pemerintah dalam rangka pemulihan ekonomi nasional bukan merupakan kerugian negara.
Pakar hukum tata negara Hifdzil Alim mengatakan itu memang menjadi dilema lantaran ketentuan undang-undang (UU) menyatakan bukan kerugian negara. "Kerugian negara itu diatur dalam UU Tindak Pidana Korupsi yang bersifat lex specialis. UU yang lain itu seharusnya bersifat lex generalis," terangnya saat dihubungi SINDOnews, Jumat (17/4/2020).
Ada dua UU yang akan bertentangan jika perppu tersebut berlaku. Pertama, UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Dalam UU itu pejabat pemerintah boleh membuat keputusan yang cepat sebagai diskresi. Diskresi itu, menurutnya, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi, antara lain, tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengatur dan ada peraturan tapi akan sangat lama diterapkan.
"Tidak perlu disebutkan seharusnya dalam perppu itu bukan kerugian negara. Karena dengan disebutkan bukan kerugian negara akan membuat dugaan atau potensi penyelenggara negara yang mengambil dengan melawan hukum anggaran itu menjadi tidak bisa diperiksa," tuturnya.
Padahal, dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan korupsi dalam keadaan bahaya, seperti bencana alam atau nonalam, diancam hukuman seumur hidup. "Nanti penegak hukum akan mengunakan UU 31 Tahun 1999. Kemudian, orang-orang atau oknum pejabat yang memiliki itikad buruk menggunakan Pasal 27 Perppu Nomor 1 Tahun 2020," ujarnya. ( ).
Namun, perppu ini belum bisa berlaku sebelum ada persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Politikus di Senayan punya dua opsi yakni menolak atau menerima. Namun, ada kemungkinan terdesak apabila pandemi Covid-19 belum berakhir.
DPR mungkin menyetujui karena pemerintah harus mengambil tindakan-tindakan darurat penanganan pandemi ini. "Judicial review itu jalur litigasi yang bisa digunakan," pungkasnya.
Poin yang paling dipermasalahkan ada pada Pasal 27 ayat 1 sampai 3 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 itu. Di dalam perppu itu ada aturan biaya dan kebijakan yang dilakukan pemerintah dalam rangka pemulihan ekonomi nasional bukan merupakan kerugian negara.
Pakar hukum tata negara Hifdzil Alim mengatakan itu memang menjadi dilema lantaran ketentuan undang-undang (UU) menyatakan bukan kerugian negara. "Kerugian negara itu diatur dalam UU Tindak Pidana Korupsi yang bersifat lex specialis. UU yang lain itu seharusnya bersifat lex generalis," terangnya saat dihubungi SINDOnews, Jumat (17/4/2020).
Ada dua UU yang akan bertentangan jika perppu tersebut berlaku. Pertama, UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Dalam UU itu pejabat pemerintah boleh membuat keputusan yang cepat sebagai diskresi. Diskresi itu, menurutnya, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi, antara lain, tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengatur dan ada peraturan tapi akan sangat lama diterapkan.
"Tidak perlu disebutkan seharusnya dalam perppu itu bukan kerugian negara. Karena dengan disebutkan bukan kerugian negara akan membuat dugaan atau potensi penyelenggara negara yang mengambil dengan melawan hukum anggaran itu menjadi tidak bisa diperiksa," tuturnya.
Padahal, dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan korupsi dalam keadaan bahaya, seperti bencana alam atau nonalam, diancam hukuman seumur hidup. "Nanti penegak hukum akan mengunakan UU 31 Tahun 1999. Kemudian, orang-orang atau oknum pejabat yang memiliki itikad buruk menggunakan Pasal 27 Perppu Nomor 1 Tahun 2020," ujarnya. ( ).
Namun, perppu ini belum bisa berlaku sebelum ada persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Politikus di Senayan punya dua opsi yakni menolak atau menerima. Namun, ada kemungkinan terdesak apabila pandemi Covid-19 belum berakhir.
DPR mungkin menyetujui karena pemerintah harus mengambil tindakan-tindakan darurat penanganan pandemi ini. "Judicial review itu jalur litigasi yang bisa digunakan," pungkasnya.
(zik)
tulis komentar anda