Bencana Banjir dan Paradigma 'Degrowth'
Kamis, 21 Januari 2021 - 05:10 WIB
Mungkinkah Degrowth?
Sepanjang dua dekade terakhir kalangan ilmuwan kritis dan gerakan masyarakat sipil dunia yang concern terhadap keberlanjutan sumberdaya alam, ekologi dan kehidupan umat manusia mengajukan paradigma baru dalam pembangunan. Mereka mengusulkan konsep degrowth dalam semua sendi kehidupan. Pasalnya kecepatanan eksploitasi sumberdaya alam dan kerusakan ekologi tak sebanding dengan kecepatan pemulihannya. Inilah yang disebut decuopling sumberdaya alam dan ekologi akibat ketidakseimbangan itu. Paradigma degrowth ini berkembang semenjak tahun 1970-an. Tapi, ia jadi tren dalam ranah intelektual kritis dan gerakan masyarakat sipil jelang tahun 2000-an kala isu perubahan iklim global jadi sentral. Paradigma ini timbul akibat terma pertumbuhan (growth) dianggap gagal menciptakan kesejahteraan sekaligus keberlanjutan sumberdaya alam dan ekologinya. Degrowth merupakan suatu proses kolektif-deliberatif yang mengendalikan mekanisme pasar serta menjamin pertukaran barang dan jasa secara adil bagi kehidupan manusia (Schneider et al, 2013). Ia juga memprioritaskan jaminan kualitas hidup manusia ketimbang kuantitas, kooperasi ketimbang kompetisi. hingga mewujudkan keadilan sosial (Latouche, 2003).
Dari kaca mata ekologi-ekonomi, ia menjamin keberlanjutan sosial dan mengatasi ketidakadilan ekonomi (Kallis, 2010). Degrowth juga menjamin keberlanjutan ekologis, pengelolaan ekonomi secara partisipatif, pemenuhan kebutuhan dasar dan kualitas hidup manusia yang lebih baik hingga memproduksi keadilan distributif, baik ruang maupun sumberdayanya (Research and Degrowth, 2010).
Memang paradigma ini amat ideal dan terkesan utopis. Penjelasan sederhananya, paradigma degrowth dapat diilustrasikan dalam kehidupan biologi hewan dan tumbuhan yang tetap menjamin keberlanjutan ekosistem/ekologis secara alamiah. Mirip proses metabolisme dalam tubuh manusia. Apabila manusia mengonsumsi makanan secara berlebihan tanpa mempertimbngkan efek bagi kesehatannya. Maka, proses metabolisme tubuhnya bakal terganggu. Imbasnya timbul aneka penyakit kronis; jantung, darah tinggi, hingga obesitas. Pasalnya, tubuh manusia tak bisa memaksakan pasokan asupan makanan tanpa kendali. Mesti manusia mempertimbangkan ekologi tubuhnya sehingga proses metabolisme tetap berlangsung normal. Bila, manusia mengasumsikan “asupan” makanan berlebihan, ia sama artinya berorientasi “pertumbuhan”. Imbasnya, menderita penyakit kronis hingga berujung kematian. Sama artinya ulah manusia mengejar pertumbuhan ekonomi lewat eksploitasi sumber daya alam, merusak ekologi dan mengabaikan metabilisme alamiahnya (antroposentrisme). Maka, wajar saja bencana kematian menghantuinya (Karim, 2013). Jika ditransformasikan dalam kasus banjir bandang dan tanah longsor, mau tidak mau pilihan paradigma degrowth sebagai alternatif dalam implementasi pembangunan jadi kenicayaan.
Apakah paradigma ini sudah ada dalam praksisnya? Setidaknya penulis telah menemukan ragam aplikasi degrowth dalam ranah perumahan (housing for degrowth) (Nelson dan Schneider, 2019), pariwisata (degrowth in tourism) (Andriotis, 2018), kehidupan masyarakat sub-urban (degrowth in the suburbs) (Alexander dan Gleeson, 2019) dan pertanian agroekologi (Gliessman 2007, Wojtkowski 2019). Kallis et al (2020) dalam buku barunya berjudul “The case for degrowth” mempertanyakan secara kritis bahwa apa yang bakal terjadi selama pandemi Covid-19 jika tak mempraktikkan degrowth? Bukankah praktik lockdown, pembatasan sosial berskala besar (PSBB) bentuk degrowth? Tujuannya adalah memperlambat penyebaran Covid-19 dan meminimalisasi bahaya manusia.
Sama halnya men-degrowth hutan kita. Tujuannya membatasi deforestasi dan dampaknya bagi manusia serta sistem yang mengganggu metabolisme planet bumi. Di buku ini dijelaskan panjang lebar pentingnya degrowth di tengah pandemi Covid-19 yang kini ancam kehidupan umat manusia. Soal pengelolaan sumberdaya hutan, perikanan dan pertambangan serta ekologi yang dikaitkan perubahan iklim, Peter A Viktor (2008) telah mengontruksi paradigma degrowth secara panjang lebar dalam bukunya berjudul “Managing Without Growth, Slower by Design, Not Disaster”. Inilah paradigma alternatif dalam konsep pembangunan di masa mendatang yang meminimalisasi degradasi sumberdaya alam dan ekologi.
Timbul pertanyaan, apakah paradigma degrowth ini mengabaikan pertumbuhan ekonomi nasional maupun daerah? Apakah bakal memperlambat pertumbuhan atau meniadakannya? Dalam paradigma degrowth, pertumbuhan bakal dihasilkan di bagian akhir dari pendekatan ini. Apabila aktivitas yang berlangsung telah mencapai pemerataan pendapatan, keadilan ekonomi, dan keadilan ekologi yang berkelanjutan. Otomatis, pertumbuhan ekonomi melalui pemerataan bakal tercipta secara nasional maupun regional. Pendek kata, jika paradigma degrowth ini dipraksiskan dalam kehidupan sosial, ekonomi, pengelolaan sumberdaya alam dan ekologi serta pembagunan infrastruktur di masa datang, setidaknya menyelamatkan kehidupan umat manusia dan planet bumi ini dari aneka ancaman bencana. Mungkinkah? Amat mungkin jika kita dan seluruh komponen bangsa menghendakinya. Supaya terhindar ancaman banjir di awal tahun Semoga!
Sepanjang dua dekade terakhir kalangan ilmuwan kritis dan gerakan masyarakat sipil dunia yang concern terhadap keberlanjutan sumberdaya alam, ekologi dan kehidupan umat manusia mengajukan paradigma baru dalam pembangunan. Mereka mengusulkan konsep degrowth dalam semua sendi kehidupan. Pasalnya kecepatanan eksploitasi sumberdaya alam dan kerusakan ekologi tak sebanding dengan kecepatan pemulihannya. Inilah yang disebut decuopling sumberdaya alam dan ekologi akibat ketidakseimbangan itu. Paradigma degrowth ini berkembang semenjak tahun 1970-an. Tapi, ia jadi tren dalam ranah intelektual kritis dan gerakan masyarakat sipil jelang tahun 2000-an kala isu perubahan iklim global jadi sentral. Paradigma ini timbul akibat terma pertumbuhan (growth) dianggap gagal menciptakan kesejahteraan sekaligus keberlanjutan sumberdaya alam dan ekologinya. Degrowth merupakan suatu proses kolektif-deliberatif yang mengendalikan mekanisme pasar serta menjamin pertukaran barang dan jasa secara adil bagi kehidupan manusia (Schneider et al, 2013). Ia juga memprioritaskan jaminan kualitas hidup manusia ketimbang kuantitas, kooperasi ketimbang kompetisi. hingga mewujudkan keadilan sosial (Latouche, 2003).
Dari kaca mata ekologi-ekonomi, ia menjamin keberlanjutan sosial dan mengatasi ketidakadilan ekonomi (Kallis, 2010). Degrowth juga menjamin keberlanjutan ekologis, pengelolaan ekonomi secara partisipatif, pemenuhan kebutuhan dasar dan kualitas hidup manusia yang lebih baik hingga memproduksi keadilan distributif, baik ruang maupun sumberdayanya (Research and Degrowth, 2010).
Memang paradigma ini amat ideal dan terkesan utopis. Penjelasan sederhananya, paradigma degrowth dapat diilustrasikan dalam kehidupan biologi hewan dan tumbuhan yang tetap menjamin keberlanjutan ekosistem/ekologis secara alamiah. Mirip proses metabolisme dalam tubuh manusia. Apabila manusia mengonsumsi makanan secara berlebihan tanpa mempertimbngkan efek bagi kesehatannya. Maka, proses metabolisme tubuhnya bakal terganggu. Imbasnya timbul aneka penyakit kronis; jantung, darah tinggi, hingga obesitas. Pasalnya, tubuh manusia tak bisa memaksakan pasokan asupan makanan tanpa kendali. Mesti manusia mempertimbangkan ekologi tubuhnya sehingga proses metabolisme tetap berlangsung normal. Bila, manusia mengasumsikan “asupan” makanan berlebihan, ia sama artinya berorientasi “pertumbuhan”. Imbasnya, menderita penyakit kronis hingga berujung kematian. Sama artinya ulah manusia mengejar pertumbuhan ekonomi lewat eksploitasi sumber daya alam, merusak ekologi dan mengabaikan metabilisme alamiahnya (antroposentrisme). Maka, wajar saja bencana kematian menghantuinya (Karim, 2013). Jika ditransformasikan dalam kasus banjir bandang dan tanah longsor, mau tidak mau pilihan paradigma degrowth sebagai alternatif dalam implementasi pembangunan jadi kenicayaan.
Apakah paradigma ini sudah ada dalam praksisnya? Setidaknya penulis telah menemukan ragam aplikasi degrowth dalam ranah perumahan (housing for degrowth) (Nelson dan Schneider, 2019), pariwisata (degrowth in tourism) (Andriotis, 2018), kehidupan masyarakat sub-urban (degrowth in the suburbs) (Alexander dan Gleeson, 2019) dan pertanian agroekologi (Gliessman 2007, Wojtkowski 2019). Kallis et al (2020) dalam buku barunya berjudul “The case for degrowth” mempertanyakan secara kritis bahwa apa yang bakal terjadi selama pandemi Covid-19 jika tak mempraktikkan degrowth? Bukankah praktik lockdown, pembatasan sosial berskala besar (PSBB) bentuk degrowth? Tujuannya adalah memperlambat penyebaran Covid-19 dan meminimalisasi bahaya manusia.
Sama halnya men-degrowth hutan kita. Tujuannya membatasi deforestasi dan dampaknya bagi manusia serta sistem yang mengganggu metabolisme planet bumi. Di buku ini dijelaskan panjang lebar pentingnya degrowth di tengah pandemi Covid-19 yang kini ancam kehidupan umat manusia. Soal pengelolaan sumberdaya hutan, perikanan dan pertambangan serta ekologi yang dikaitkan perubahan iklim, Peter A Viktor (2008) telah mengontruksi paradigma degrowth secara panjang lebar dalam bukunya berjudul “Managing Without Growth, Slower by Design, Not Disaster”. Inilah paradigma alternatif dalam konsep pembangunan di masa mendatang yang meminimalisasi degradasi sumberdaya alam dan ekologi.
Timbul pertanyaan, apakah paradigma degrowth ini mengabaikan pertumbuhan ekonomi nasional maupun daerah? Apakah bakal memperlambat pertumbuhan atau meniadakannya? Dalam paradigma degrowth, pertumbuhan bakal dihasilkan di bagian akhir dari pendekatan ini. Apabila aktivitas yang berlangsung telah mencapai pemerataan pendapatan, keadilan ekonomi, dan keadilan ekologi yang berkelanjutan. Otomatis, pertumbuhan ekonomi melalui pemerataan bakal tercipta secara nasional maupun regional. Pendek kata, jika paradigma degrowth ini dipraksiskan dalam kehidupan sosial, ekonomi, pengelolaan sumberdaya alam dan ekologi serta pembagunan infrastruktur di masa datang, setidaknya menyelamatkan kehidupan umat manusia dan planet bumi ini dari aneka ancaman bencana. Mungkinkah? Amat mungkin jika kita dan seluruh komponen bangsa menghendakinya. Supaya terhindar ancaman banjir di awal tahun Semoga!
(bmm)
tulis komentar anda