Bencana Banjir dan Paradigma 'Degrowth'

Kamis, 21 Januari 2021 - 05:10 WIB
Muhamad Karim (Foto: Istimewa)
Muhamad Karim

Dosen Universitas Trilogi Jakarta,

Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim

Setiap awal tahun di Indonesia pasti curah hujannya tinggi. Imbasnya bencana alam banjir dan tanah longsor tak bisa dihindari. Apalagi kawasan hutan rusak, daerah aliran sungai (DAS) alami sedimentasi hingga buangan sampah sembarangan. Otomatis kala hujan banjir tak terhindarkan. Awal tahun 2021 ini, banjir bandang dan tanah longsor telah menerjang beberapa daerah di Indonesia. Diantaranya, Bener Meriah, Aceh, Sumedang, Jawa Barat, Tanjungpinang, Kepulauan Riau dan berabagi daerah di Kalimantan Selatan. Banjir disertai tanah longsor ini telah memakan korban jiwa dan harta benda masyarakat. Di samping itu aktivitas produksi (tanaman pangan), transportasi dan rantai pasok terhambat dan terancam lumpuh.

Kondisi kian mengkhawatirkan karena situasinya di tengah pandemi Covid-19. Artinya, rakyat yang mengalami bencana mesti superhati-hati dan tetap menjalankan protokol kesehatan. Pasalnya ancamannya bersifat ganda. Bencana banjir sekaligus wabah Covid-19. Situasinya berat memang. Pemerintah pusat dan daerah lewat Kementerian Sosial dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (PNPB) telah bekerja ekstrakeras agar rakyat selamat sekaligus tak terinfeksi wabah.



Mengapa Banjir?

Seakan telah jadi ritual banjir disertai tanah longsor melanda negeri ini di awal tahun. Kita terkesan tak siap menghadapinya. Ketika banjir melanda baru sadar. Tentu sudah terlambat. Nasi sudah jadi bubur. Banjir rutinitas ini sesungguhnya bukan sekedar bencana alam semata. Aktivitas manusia telah jadi pemicu sekaligus pennyebabnya. Keserakahan manusia mengekploitasi sumberdaya hutan dan merusak ekosistem jadi biang keroknya (antroposentrisme). Manusia mengabaikan kaidah-kaidah ekologi dan konservasi. Degradasi, deforestasi dan fragmentasi habitat muncul di beberapa daerah yang dulunya hutan. Kondisi ini kian parah berkelindan dengan perubahan iklim global. Indikasinya, awal musim hujan dan kemarau setiap tahunnya tak menentu. Akibatnya, tatkala musim dengan curah hujan tinggi banjir menerjang apapun, mulai dari perkotaan, perdesaan terutama sentral-sentral pertanian.

Pemerintah memang telah mengupayakan program reboisasi hutan, penghijauan sempadan sungai dan gerakan kali bersih selama beberapa dekade terakhir. Tapi, hasilnya belum maksimal. Justru alih fungsi lahan dan pembabatan hutan kian marak. Forest Watch Indonesia (FWI) menyebutkan laju deforestasi/penebangan hutan di Indonesia sepanjang 2013- 2017 capai 1,47 juta ha/tahunnya. Angka ini naik ketimbang kurun-waktu 2009-2013 sebesar 1,1 juta ha/tahunnya. Meskipun masih lebih rendah dibandingkan tahun 2000 sebesar 1,5 juta ha/tahun. Angka-angka ini kian mengkhawatirkan.

Apalagi Papua yang hutannya masih relatif luas juga kian terancam. Riset organisasi Mighty Earth tahun 2019 mencatat bahwa lebih dari 59 ribu hektare lahan telah dibuka di Papua sepanjang 2013-Mei 2016. Seluas 30 ribu hektar dibuka perusahaan dan merupakan kategori hutan primer. Bahkan sekitar 75.000 hektare lagi terancam dibuka. Situasi ini tentu jadi lampu merah bagi pemerintah menyangkut hutan Papua. Tahun 2019, banjir bandang dan longsor melanda wilayah Sentani. Penyebabnya, adalah tingginya intensitas hujan dan gundulnya hutan Pegunungan Cycloops. Dua dekade sebelumnya, tahun 2010 banjir bandang juga menerjang Wasior, Papua Barat. Kedua kejadian yang berselang satu dekade tersebut telah memakan korban jiwa, harta benda, rumah warga dan infrastruktur fisik. Penulis tak bisa membayangkan bagaimana nasib rakyat kita dua dekade ke depan bila deforestasi, kerusakan ekologi dan perilaku serakah manusia tak dihentikan? Mungkinkan manusia bakal hidup nyaman dan aman dari ancaman bencana?
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More