Tak Cukup Vaksinasi, Ini Kunci Keberhasilan Lawan COVID-19
Selasa, 12 Januari 2021 - 13:33 WIB
JAKARTA - Vaksin Sinovac telah mendapatkan izin penggunaan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Selain aman, uji klinik fase 3 yang dilakukan di Bandung, Jawa Barat beberapa waktu lalu menunjukkan tingkat efikasi atau kemanjuran Sinovac terhadap COVID-19 sebesar 65,3%. Syarat itu memenuhi ambang batas efikasi yang dipatok oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yaitu 50%.
Selain itu, vaksin buatan China itu juga telah lulus uji kehalalan setelah terbitnya fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) tertanggal 11 Januari 2021.
Epidemiolog Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman mengapresiasi segala prosedur dan ketaatan asas yang sudah dilakukan pemerintah terhadap program uji vaksin asal China itu. Namun, perjalanan pandemi masih panjang. Ia menilai masih ada pekerjaan rumah yang harus terus dilakukan. ( )
Dicky menegaskan keberhasilan program vaksinasi dalam situasi wabah sangat bergantung pada efektivitas program tes, telusur, isolasi dan karantina (3T) yang ditunjang strategi 5M (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, membatasi mobilitas dan interaksi, menjauhi kerumunan) dengan komunikasi risiko yang tepat. Kegagalan vaksinasi dalam menghentikan wabah bukan hal yang aneh dan sangat mungkin terjadi.
"Sangat penting pemerintah melakukan program testing, tracing, isolasi karantina serapi, sekonsisten, dan seserius program vaksinasi. Monitoring dan evaluasi ketat, komunikasi risiko efektif, 3T dan 3M," kata Dicky kepada SINDOnews, Selasa (12/1/2021).
Dokter lulusan Universitas Padjajaran, Bandung itu menilai Sinovac sama halnya dengan vaksin lain yang sudah melalui uji klinis seperti Pfizer, Moderna, Oxford. Menurut dia, belum ada jaminan bahwa orang yang divaksin tidak akan tertular COVID-19. ( )
"Belum ada jaminan. Jadi, potensi penularan masih ada dan berapa persennya belum diketahui, sehingga itulah sebabnya 3T dan 5M itu sangat wajib. Wajib banget!," katanya.
Dicky menekankan pentingnya 3T karena di tahap awal vaksinasi yang berisiko adalah kaum lansia dan orang dengan penyakit penyerta (komorbid). Lantaran itu, testing dan tracing harus ditingkatkan demi memastikan sebagian besar orang yang diduga maupun terdeteksi membawa virus harus diisolasi atau karantina.
"Sebagian besar masyarakat masih bisa belum divaksin meskipun yang sehat sekali pun. Karena keterbatasan logistik vaksinnya, sehingga mereka juga harus dilindungi yang rawan ini. 5M ya harus dilakukan, baik yang sudah divaksin maupun yang belum," katanya.
Selain itu, vaksin buatan China itu juga telah lulus uji kehalalan setelah terbitnya fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) tertanggal 11 Januari 2021.
Epidemiolog Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman mengapresiasi segala prosedur dan ketaatan asas yang sudah dilakukan pemerintah terhadap program uji vaksin asal China itu. Namun, perjalanan pandemi masih panjang. Ia menilai masih ada pekerjaan rumah yang harus terus dilakukan. ( )
Dicky menegaskan keberhasilan program vaksinasi dalam situasi wabah sangat bergantung pada efektivitas program tes, telusur, isolasi dan karantina (3T) yang ditunjang strategi 5M (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, membatasi mobilitas dan interaksi, menjauhi kerumunan) dengan komunikasi risiko yang tepat. Kegagalan vaksinasi dalam menghentikan wabah bukan hal yang aneh dan sangat mungkin terjadi.
"Sangat penting pemerintah melakukan program testing, tracing, isolasi karantina serapi, sekonsisten, dan seserius program vaksinasi. Monitoring dan evaluasi ketat, komunikasi risiko efektif, 3T dan 3M," kata Dicky kepada SINDOnews, Selasa (12/1/2021).
Dokter lulusan Universitas Padjajaran, Bandung itu menilai Sinovac sama halnya dengan vaksin lain yang sudah melalui uji klinis seperti Pfizer, Moderna, Oxford. Menurut dia, belum ada jaminan bahwa orang yang divaksin tidak akan tertular COVID-19. ( )
"Belum ada jaminan. Jadi, potensi penularan masih ada dan berapa persennya belum diketahui, sehingga itulah sebabnya 3T dan 5M itu sangat wajib. Wajib banget!," katanya.
Dicky menekankan pentingnya 3T karena di tahap awal vaksinasi yang berisiko adalah kaum lansia dan orang dengan penyakit penyerta (komorbid). Lantaran itu, testing dan tracing harus ditingkatkan demi memastikan sebagian besar orang yang diduga maupun terdeteksi membawa virus harus diisolasi atau karantina.
"Sebagian besar masyarakat masih bisa belum divaksin meskipun yang sehat sekali pun. Karena keterbatasan logistik vaksinnya, sehingga mereka juga harus dilindungi yang rawan ini. 5M ya harus dilakukan, baik yang sudah divaksin maupun yang belum," katanya.
(abd)
Lihat Juga :
tulis komentar anda