Mengapa Wisata Halal?
Kamis, 07 Januari 2021 - 06:10 WIB
Definisi dan Makna Wisata Halal
Dalam Islam perjalanan adalah bagian dari ibadah. Banyak ayat-ayat Alquran yang memberikan penjelasan bahwa perjalanan dan berwisata dapat mempertebal keimanan. Melihat alam yang begitu luas dan indah sudah semestinya kita mengucapkan puji syukur kepada Sang Pencipta.
Sebenarnya, sudah jelas soal pengertian pariwisata dan perjalanan bagi kaum muslim. Tantangan yang dihadapi adalah pengertian dan lingkup aktivitas wisata halal yang oleh sebagian masyarakat masih disalahartikan dan dianggap menakutkan, tidak mudah untuk diimplementasikan dalam dunia usaha wisata sehari-hari, karena dianggap tidak marketing friendly. Karena itu, muncul berbagai macam definisi pariwisata yang terkait dengan pelancong muslim, seperti wisata islami, wisata syariah, wisata ramah muslim (muslim friendly tourism), halal trip, wisata rahmatan lil’alamin (universal tourism), dan masih banyak lagi. Hal ini menggambarkan bahwa tidak terlalu mudah untuk memberikan definisi atau makna pariwisata yang terkait dengan pelancong muslim. Tentunya, bukan seperti sport tourism, wisata alam, atau wisata kuliner karena wisata halal mengundang sensitivitas yang relatif tinggi dari sisi konsumen maupun produsen.
Untuk menjawab peluang dan tantangan ini Kementerian Pariwisata pada 2012 menyelenggarakan focus group discussion (FGD) yang diikuti berbagai kalangan organisasi Islam, ilmuwan, praktisi usaha syariah, dan perbankan syariah. Dari hasil FGD disepakati bahwa wisata bagi kaum muslim disebut wisata syariah sebagaimana halnya bank syariah, asuransi syariah, pasar modal syariah, dan sebagainya.
Dalam perjalanannya, pada 2014 para pelaku bisnis mengadakan kembali FGD dikarenakan branding wisata syariah kurang marketable dan cenderung defensif, ditambah ada isu harus periksa KTP dan berbagai pelayanan hotel yang harus syariah. Tidak mudah. Akhirnya diperoleh kesepakatan wisata syariah menjadi halal tourism (wisata halal).
Pada acara high level discussion yang diselenggarakan oleh IAEI mengenai wisata halal, KH Ma’ruf Amin menyatakan bahwa “Bicara wisata halal, yang dihalalkan bukanlah destinasi atau tempat tujuan wisatanya, melainkan pelayanannya, termasuk di dalamnya hotel syariah, restoran syariah, dan spa pun harus syariah.” Selanjutnya, ditambahkan oleh Bambang Brodjonegoro sebagai ketua Ikatan Ahli Ekonomi Islam, “Halal tourism jangan berdasarkan zona, yang perlu kita perkuat bukan zona halal, tapi barang dan jasa yang didorong agar sesuai dengan aturan syariat Islam untuk wisata halal, yang penting sertifikasi halal restoran, hotel, dan lainnya.”
Adapun wisata halal, menurut penulis, adalah pelayanan tambahan, extended services, bagi pelancong muslim seperti penyediaan kebutuhan utama makanan halal, fasilitas ibadah, dan sebagainya di destinasi pariwisata, fasilitas perbelanjaan, museum, hotel, restoran, kafe, serta objek wisata.
Seorang pakar pemasaran dari Inggris, Jonathan AJ Wilson, mengatakan, “My new pragmatic definition for halal tourism: a God-conscious approach to offering Muslims equal access to facilities."
Menurut penulis, pelayananlah yang menjadi kunci wisata halal (equal acces to facilities) bagi pelancong muslim sehingga memberikan kemudahan dan kenyamanan. Wisata halal bukan berarti mengubah suatu kawasan sesuai syariat Islam, melainkan destinasi tersebut memiliki fasilitas atau pelayanan yang ramah bagi wisatawan muslim.
Dampak Covid 19
Dalam Islam perjalanan adalah bagian dari ibadah. Banyak ayat-ayat Alquran yang memberikan penjelasan bahwa perjalanan dan berwisata dapat mempertebal keimanan. Melihat alam yang begitu luas dan indah sudah semestinya kita mengucapkan puji syukur kepada Sang Pencipta.
Sebenarnya, sudah jelas soal pengertian pariwisata dan perjalanan bagi kaum muslim. Tantangan yang dihadapi adalah pengertian dan lingkup aktivitas wisata halal yang oleh sebagian masyarakat masih disalahartikan dan dianggap menakutkan, tidak mudah untuk diimplementasikan dalam dunia usaha wisata sehari-hari, karena dianggap tidak marketing friendly. Karena itu, muncul berbagai macam definisi pariwisata yang terkait dengan pelancong muslim, seperti wisata islami, wisata syariah, wisata ramah muslim (muslim friendly tourism), halal trip, wisata rahmatan lil’alamin (universal tourism), dan masih banyak lagi. Hal ini menggambarkan bahwa tidak terlalu mudah untuk memberikan definisi atau makna pariwisata yang terkait dengan pelancong muslim. Tentunya, bukan seperti sport tourism, wisata alam, atau wisata kuliner karena wisata halal mengundang sensitivitas yang relatif tinggi dari sisi konsumen maupun produsen.
Untuk menjawab peluang dan tantangan ini Kementerian Pariwisata pada 2012 menyelenggarakan focus group discussion (FGD) yang diikuti berbagai kalangan organisasi Islam, ilmuwan, praktisi usaha syariah, dan perbankan syariah. Dari hasil FGD disepakati bahwa wisata bagi kaum muslim disebut wisata syariah sebagaimana halnya bank syariah, asuransi syariah, pasar modal syariah, dan sebagainya.
Dalam perjalanannya, pada 2014 para pelaku bisnis mengadakan kembali FGD dikarenakan branding wisata syariah kurang marketable dan cenderung defensif, ditambah ada isu harus periksa KTP dan berbagai pelayanan hotel yang harus syariah. Tidak mudah. Akhirnya diperoleh kesepakatan wisata syariah menjadi halal tourism (wisata halal).
Pada acara high level discussion yang diselenggarakan oleh IAEI mengenai wisata halal, KH Ma’ruf Amin menyatakan bahwa “Bicara wisata halal, yang dihalalkan bukanlah destinasi atau tempat tujuan wisatanya, melainkan pelayanannya, termasuk di dalamnya hotel syariah, restoran syariah, dan spa pun harus syariah.” Selanjutnya, ditambahkan oleh Bambang Brodjonegoro sebagai ketua Ikatan Ahli Ekonomi Islam, “Halal tourism jangan berdasarkan zona, yang perlu kita perkuat bukan zona halal, tapi barang dan jasa yang didorong agar sesuai dengan aturan syariat Islam untuk wisata halal, yang penting sertifikasi halal restoran, hotel, dan lainnya.”
Adapun wisata halal, menurut penulis, adalah pelayanan tambahan, extended services, bagi pelancong muslim seperti penyediaan kebutuhan utama makanan halal, fasilitas ibadah, dan sebagainya di destinasi pariwisata, fasilitas perbelanjaan, museum, hotel, restoran, kafe, serta objek wisata.
Seorang pakar pemasaran dari Inggris, Jonathan AJ Wilson, mengatakan, “My new pragmatic definition for halal tourism: a God-conscious approach to offering Muslims equal access to facilities."
Menurut penulis, pelayananlah yang menjadi kunci wisata halal (equal acces to facilities) bagi pelancong muslim sehingga memberikan kemudahan dan kenyamanan. Wisata halal bukan berarti mengubah suatu kawasan sesuai syariat Islam, melainkan destinasi tersebut memiliki fasilitas atau pelayanan yang ramah bagi wisatawan muslim.
Dampak Covid 19
Lihat Juga :
tulis komentar anda