Tantangan Pendidikan 2021

Selasa, 05 Januari 2021 - 05:10 WIB
Ali Khomsan (Foto: Istimewa)
Ali Khomsan

Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) IPB

AWAL 2021, dengan tekad menggebu, sekolah-sekolah sudah mulai mempersiapkan kegiatan pendidikan secara tatap muka dengan protokol kesehatan ketat untuk mencegah Covid-19. Sementara pada Desember 2020 hingga awal Januari 2021 ini lonjakan-lonjakan kasus Covid-19 masih intens terjadi di mana-mana. Situasi pendidikan saat ini bak buah simalakama, beraktivitas di sekolah memunculkan kekhawatiran tertular Covid-19 sementara belajar secara daring di rumah sudah mulai terasa melelahkan dan membosankan.

Saat pandemi, beban siswa semakin berat. Di beberapa wilayah dijumpai jaringan internet yang kurang stabil sehingga menyulitkan mereka mengikuti pelajaran secara daring. Belajar sepenuhnya dari rumah juga menjadi beban bagi orang tua, karena orang tua harus mengawasi anaknya selama belajar secara daring dan sering kali harus menuntun anaknya dalam mengerjakan PR (pekerjaan rumah). Orang tua pun ikut stres memikirkan PR anaknya, di samping memikirkan nafkah dan uang belanja yang semakin menyusut karena sektor perekonomian yang belum pulih. Wabah Covid-19 yang menyebar di hampir seluruh negara di dunia memunculkan kelelahan psikis yang luar biasa bagi semua orang termasuk para pelajar.



Sebelum merebaknya Covid-19, setiap hari siswa Indonesia menelan kurikulum yang padat di sekolah dan kemudian masih harus mengikuti berbagai les karena tuntutan orang tua atau tuntutan keadaan. Akhirnya, anak-anak kita kelelahan dan menjadi kurang kreatif. Dua tiga tahun yang lalu, nilai ujian nasional siswa Indonesia mengalami penurunan karena konon soal-soal yang diujikan adalah higher order thinking skills. Banyak siswa kurang paham dengan soal-soal kategori higher karena terbiasa berpikir lower.

Prof Syamsul Riza dalam artikelnya di sebuah media menyoal pandangan umat Islam tentang pendidikan Dikatakan bahwa mubalig atau ustaz mengarahkan umat Islam untuk lebih mengutamakan ilmu yang terkait agama Islam atau ilmu akhirat daripada ilmu dunia. Akhirnya para siswa tidak fokus dalam menuntut ilmu dunia. Terbukti, dari hasil PISA (Programme for International Student Assessment) bahwa kemampuan siswa Indonesia di bidang sains, matematika, dan membaca hanya sejajar dengan negara-negara miskin dan berkonflik.

Saya tidak sepenuhnya setuju dengan pandangan tersebut. Pendidikan di Indonesia problemnya sungguh kompleks, bukan melulu ustaz menganjurkan ilmu akhirat (ini hal wajib yang memang harus dipelajari).

Indonesia yang membentang dari Sabang sampai Merauke mempunyai variasi etnis yang luar biasa banyak. Di bidang pendidikan, tentunya juga terdapat variasi pencapaian pembelajaran karena perbedaan kualitas guru dan perbedaan kualitas sarana-prasarana belajar antarpulau maupun antarprovinsi. Namun, secara keseluruhan, bila hasil PISA selama bertahun-tahun tidak menunjukkan lompatan nilai yang berarti, maka barangkali kita harus menganalisis ada apa dengan kecerdasan anak Indonesia?

Mungkinkah anak-anak Indonesia kurang cerdas akibat stunting (kurang gizi kronis) semasa kecil? Sangat mungkin. Kurang gizi kronis saat usia balita akan mengganggu perkembangan otak sehingga ketika anak-anak masuk ke usia sekolah daya nalarnya tidak cukup optimal. Itulah sebabnya, usia balita juga disebut golden age period. Pertumbuhan fisik mungkin masih bisa dikejar hingga usia 18 tahun, tetapi perkembangan otak yang optimal sulit tergantikan setelah masa balita terlampaui.
Halaman :
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More