Radikalisme dan Gerakan Moderasi Beragama
Senin, 04 Januari 2021 - 10:31 WIB
Sejatinya bahwa radikalisme adalah prinsip-prinsip atau praktik-praktik yang dilakukan secara radikal. Suatu pilihan tindakan yang umumnya dilihat dengan mempertentangkan secara tajam antara nilai-nilai yang diperjuangklan oleh kelompok (aliran) agama tertentu dengan tatanan nilai yang berlaku atau dipandang mapan pada saat itu.
Karena itu pula, radikalisme sering disejajarkan dengan istilah ekstremisme, militanisme, atau fundamentalisme . Istilah-istilah itu digunakan dalam banyak pengertian yang berbeda-beda, tetapi yang jelas, istilah-istilah tersebut tidak terbatas tertuju pada Islam, termasuk juga tidak terbatas pada kegiatan agama, karena banyak contoh tentang fundamentalisme dalam beberapa gerakan politik yang mempunyai ideologi-ideologi sekuler, jika bukan ateis yang memiliki watak radikal.
Dalam bidang politik, seperti halnya dalam bidang agama, radikalisme atau terkadang disebut fundamentalisme, diberi arti sebagai suatu pendirian yang tegas dan tidak ragu-ragu bahwa keyakinan-keyakinan tertentu tentang suatu kebenaran biasanya diambil dari teks-teks suci merupakan kewajiban orang-orang beriman untuk menggiatkan kehidupan mereka dan mengarahkan aktivitas-aktivitas mereka sesuai dengan keyakinan-keyakinannya itu, sehingga untuk beberapa hal membenarkan penggunaan istilah militan. Militansi di sini, umumnya terkait pada ciri usaha merombak secara total suatu tatanan politik atau tatanan sosial yang ada dengan menggunakan kekerasan dan dengan semangat militan.
Sikap militan itu ditunjukkan dari gerakan-gerakannya yang bersifat agresif, gemar atau siap berjuang, bertempur, berkelahi, atau berperang, terutama untuk memperlihatkan pengabdian mereka yang total terhadap suatu cita-cita. Sikap radikal dan tidak-tolerant demikian itu, adalah karena mereka menyederhanakan persoalan yang ada dalam suatu masyarakat secara berlebih-lebihan.
Mereka melakukan over simplikasi terhadap persoalan yang ada. Pilihan kepada sikap radikal demikian itu, sering mengalami ketegangan bahkan terkadang konflik dengan lingkungan mereka sendiri.
Dalam suasana ketegangan itu pula, kesan Islam yang “rahmatan lil ‘alamin”, sering dipertanyakan oleh warga masyarakat luar yang sudah terbiasa hidup di dalam kehidupan yang multikultural dan multi etnik. Apalagi kalau cara-cara memperjuangkan tegaknya Islam dengan klaim jihad untuk menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar tetapi dengan cara-cara kekerasan.
Menuju Moderasi Beragama
Moderasi beragama adalah cara pandang kita dalam beragama secara moderat, yakni memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan tidak ekstrem, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri. Ekstremisme, radikalisme, ujaran kebencian (hate speech), hingga retaknya hubungan antarumat beragama, merupakan problem yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini. Sehingga, adanya program pengarusutamaan moderasi beragama ini dinilai penting dan strategis.
Bentuk ektremisme terjewantahkan dalam dua bentuk yang berlebihan. Dua kutub yang saling berlawanan. Satu pada kutub kanan yang sangat kaku dalam beragama. Memahami ajaran agama dengan membuang jauh-jauh penggunaan akal.
Sementara di pihak yang lain justru sebaliknya, sangat longgar dan bebas dalam memahami sumber ajaran Islam. Kebebasan tersebut tampak pada penggunaan akal yang sangat berlebihan, sehingga menempatkan akal sebagai tolak ukur kebenaran sebuah ajaran.
Karena itu pula, radikalisme sering disejajarkan dengan istilah ekstremisme, militanisme, atau fundamentalisme . Istilah-istilah itu digunakan dalam banyak pengertian yang berbeda-beda, tetapi yang jelas, istilah-istilah tersebut tidak terbatas tertuju pada Islam, termasuk juga tidak terbatas pada kegiatan agama, karena banyak contoh tentang fundamentalisme dalam beberapa gerakan politik yang mempunyai ideologi-ideologi sekuler, jika bukan ateis yang memiliki watak radikal.
Dalam bidang politik, seperti halnya dalam bidang agama, radikalisme atau terkadang disebut fundamentalisme, diberi arti sebagai suatu pendirian yang tegas dan tidak ragu-ragu bahwa keyakinan-keyakinan tertentu tentang suatu kebenaran biasanya diambil dari teks-teks suci merupakan kewajiban orang-orang beriman untuk menggiatkan kehidupan mereka dan mengarahkan aktivitas-aktivitas mereka sesuai dengan keyakinan-keyakinannya itu, sehingga untuk beberapa hal membenarkan penggunaan istilah militan. Militansi di sini, umumnya terkait pada ciri usaha merombak secara total suatu tatanan politik atau tatanan sosial yang ada dengan menggunakan kekerasan dan dengan semangat militan.
Sikap militan itu ditunjukkan dari gerakan-gerakannya yang bersifat agresif, gemar atau siap berjuang, bertempur, berkelahi, atau berperang, terutama untuk memperlihatkan pengabdian mereka yang total terhadap suatu cita-cita. Sikap radikal dan tidak-tolerant demikian itu, adalah karena mereka menyederhanakan persoalan yang ada dalam suatu masyarakat secara berlebih-lebihan.
Mereka melakukan over simplikasi terhadap persoalan yang ada. Pilihan kepada sikap radikal demikian itu, sering mengalami ketegangan bahkan terkadang konflik dengan lingkungan mereka sendiri.
Dalam suasana ketegangan itu pula, kesan Islam yang “rahmatan lil ‘alamin”, sering dipertanyakan oleh warga masyarakat luar yang sudah terbiasa hidup di dalam kehidupan yang multikultural dan multi etnik. Apalagi kalau cara-cara memperjuangkan tegaknya Islam dengan klaim jihad untuk menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar tetapi dengan cara-cara kekerasan.
Menuju Moderasi Beragama
Moderasi beragama adalah cara pandang kita dalam beragama secara moderat, yakni memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan tidak ekstrem, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri. Ekstremisme, radikalisme, ujaran kebencian (hate speech), hingga retaknya hubungan antarumat beragama, merupakan problem yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini. Sehingga, adanya program pengarusutamaan moderasi beragama ini dinilai penting dan strategis.
Bentuk ektremisme terjewantahkan dalam dua bentuk yang berlebihan. Dua kutub yang saling berlawanan. Satu pada kutub kanan yang sangat kaku dalam beragama. Memahami ajaran agama dengan membuang jauh-jauh penggunaan akal.
Sementara di pihak yang lain justru sebaliknya, sangat longgar dan bebas dalam memahami sumber ajaran Islam. Kebebasan tersebut tampak pada penggunaan akal yang sangat berlebihan, sehingga menempatkan akal sebagai tolak ukur kebenaran sebuah ajaran.
tulis komentar anda