Radikalisme dan Gerakan Moderasi Beragama

Senin, 04 Januari 2021 - 10:31 WIB
loading...
Radikalisme dan Gerakan Moderasi Beragama
Dr. H. Nur Solikin AR., S.Ag., MH, Dosen Pascasarjan IAIN Jember. Foto/Dok. Pribadi
A A A
Dr. H. Nur Solikin AR., S.Ag., MH
Dosen Pascasarjan IAIN Jember
Dewan Ahli ISNU Jawa Timur
Penulis Buku Agama dan Problem Mondial

BERTAHANNYA eksistensi faham radikalisme keberagamaan serta intoleran di negeri ini sungguh mengkhawatirkan dan bisa berakibat retaknya hubungan dan kerukunan umat beragama. Faham radikal dan kelompok intoleran ini justru merebak bahkan cenderung melawan negara dalam praktik dan prilakunya. Pertanyaanya apakah ini dibiarkan atau diselesaikan dengan tegas- terukur dalam bingkai NKRI?

Dipilihnya Yaqut Cholil Qoumas (Gus Yaqut) sebagai Menteri Agama yang baru diharapkan bisa memberi solusi strategis bagaimana mengatasi faham radikalisme keagamaan serta intoleran di Indonesia yang akhir-akhir ini sungguh masif keberadaanya. Dengan bekal pengalaman yang dimilikinya baik di dunia pesantren, DPR RI serta organisasi kepemudaan Ansor diharapkan bisa menyelesaikan dan bertindak tegas namun tetap dalam koridor persuasif-terukur dan cara-cara damai.

Selain itu Menag yang yang baru ini juga diharapakan menyemai dan menyebarkan bagaimana cara beragama yang damai dan moderat di Indonesia. Dengan visi-misi Kementrian agama yang diembanya tentunya tepat bila jargon yang di awal sambutan setelah pelantikan yaitu kementrian agama harus menjadi inspirasi bukan aspirasi dalam beragama mendapatkan momentumnya.

Memang tidak mudah menyelesaikan dan menghilangkan faham ini secara instan. Perlu proses-proses persuasif dan kebijakkan pemerintah yang lebih tegas dan menyeluruh guna menyentuh pada akar masalahnya yaitu keadilan dan kesejahteraan yang merata untuk seluruh rakyat Indonesia.

Faham kaum radikalis dan intoleran tidak akan berhenti perjuanganya sebelum keadilan dan kesejahteran terwujud di negeri ini. Sehingga perjuangan untuk mengganti sistim negara dengan bentuk Islam dengan khilafah sebagai sistem pemerintahannya akan terus disurakan dan diperjuangkan bahkan dengan cara-cara yang radikal sekalipun.

Sejatinya bahwa radikalisme adalah prinsip-prinsip atau praktik-praktik yang dilakukan secara radikal. Suatu pilihan tindakan yang umumnya dilihat dengan mempertentangkan secara tajam antara nilai-nilai yang diperjuangklan oleh kelompok (aliran) agama tertentu dengan tatanan nilai yang berlaku atau dipandang mapan pada saat itu.

Karena itu pula, radikalisme sering disejajarkan dengan istilah ekstremisme, militanisme, atau fundamentalisme . Istilah-istilah itu digunakan dalam banyak pengertian yang berbeda-beda, tetapi yang jelas, istilah-istilah tersebut tidak terbatas tertuju pada Islam, termasuk juga tidak terbatas pada kegiatan agama, karena banyak contoh tentang fundamentalisme dalam beberapa gerakan politik yang mempunyai ideologi-ideologi sekuler, jika bukan ateis yang memiliki watak radikal.

Dalam bidang politik, seperti halnya dalam bidang agama, radikalisme atau terkadang disebut fundamentalisme, diberi arti sebagai suatu pendirian yang tegas dan tidak ragu-ragu bahwa keyakinan-keyakinan tertentu tentang suatu kebenaran biasanya diambil dari teks-teks suci merupakan kewajiban orang-orang beriman untuk menggiatkan kehidupan mereka dan mengarahkan aktivitas-aktivitas mereka sesuai dengan keyakinan-keyakinannya itu, sehingga untuk beberapa hal membenarkan penggunaan istilah militan. Militansi di sini, umumnya terkait pada ciri usaha merombak secara total suatu tatanan politik atau tatanan sosial yang ada dengan menggunakan kekerasan dan dengan semangat militan.

Sikap militan itu ditunjukkan dari gerakan-gerakannya yang bersifat agresif, gemar atau siap berjuang, bertempur, berkelahi, atau berperang, terutama untuk memperlihatkan pengabdian mereka yang total terhadap suatu cita-cita. Sikap radikal dan tidak-tolerant demikian itu, adalah karena mereka menyederhanakan persoalan yang ada dalam suatu masyarakat secara berlebih-lebihan.

Mereka melakukan over simplikasi terhadap persoalan yang ada. Pilihan kepada sikap radikal demikian itu, sering mengalami ketegangan bahkan terkadang konflik dengan lingkungan mereka sendiri.

Dalam suasana ketegangan itu pula, kesan Islam yang “rahmatan lil ‘alamin”, sering dipertanyakan oleh warga masyarakat luar yang sudah terbiasa hidup di dalam kehidupan yang multikultural dan multi etnik. Apalagi kalau cara-cara memperjuangkan tegaknya Islam dengan klaim jihad untuk menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar tetapi dengan cara-cara kekerasan.

Menuju Moderasi Beragama
Moderasi beragama adalah cara pandang kita dalam beragama secara moderat, yakni memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan tidak ekstrem, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri. Ekstremisme, radikalisme, ujaran kebencian (hate speech), hingga retaknya hubungan antarumat beragama, merupakan problem yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini. Sehingga, adanya program pengarusutamaan moderasi beragama ini dinilai penting dan strategis.

Bentuk ektremisme terjewantahkan dalam dua bentuk yang berlebihan. Dua kutub yang saling berlawanan. Satu pada kutub kanan yang sangat kaku dalam beragama. Memahami ajaran agama dengan membuang jauh-jauh penggunaan akal.

Sementara di pihak yang lain justru sebaliknya, sangat longgar dan bebas dalam memahami sumber ajaran Islam. Kebebasan tersebut tampak pada penggunaan akal yang sangat berlebihan, sehingga menempatkan akal sebagai tolak ukur kebenaran sebuah ajaran.

Kelompok yang memberikan porsi berlebihan pada teks, namun menutup mata dari perkembangan realitas cenderung menghasilkan pemahaman yang tekstual. Sebaliknya, ada sebagian kelompok terlalu memberikan porsi lebih pada akal atau realitas dalam memahami sebuah permasalahan. Sehingga, dalam pengambilan sebuah keputusan, kelompok ini justru sangat menekankan pada realitas dan memberikan ruang yang bebas terhadap akal.

Menjadi moderat bukan berarti menjadi lemah dalam beragama. Menjadi moderat bukan berarti cenderung terbuka dan mengarah kepada kebebasan. Keliru jika ada anggapan bahwa seseorang yang bersikap moderat dalam beragama berarti tidak memiliki militansi, tidak serius, atau tidak sungguh-sungguh, dalam mengamalkan ajaran agamanya.

Oleh karena pentingnya keberagamaan yang moderat bagi kta umat beragama, serta menyebarluaskan gerakan ini. Jangan biarkan Indonesia menjadi bumi yang penuh dengan permusuhan, kebencian, dan pertikaian. Kerukunan baik dalam umat beragama maupun antarumat beragama adalah modal dasar bangsa ini menjadi kondusif dan maju.

Seharusnya membangun kerukunan lebih didasarkan pada kesadaran doktrinal dan kultural, yaitu selain karena doktrin setiap agama yang mengajarkan pada nilai-nilai toleransi, juga atas keinginan yang sama untuk hidup rukun dalam binkai perdamaian. Esensi ini yang diinginkan dalam moderasi beragama karena sesungguhnya beragama secara moderat sudah menjadi karakteristik umat beragama di Indonesia dan lebih cocok untuk kontur masyarakat kita yang majemuk. Beragama secara moderat adalah model beragama yang telah lama dipraktikkan dan tetap diperlukan pada era sekarang.

Untuk itulah, di usia 75 tahun (3 Januari 2021) Kementrian Agama ini gerakan pengarusutamaan moderasi beragama ini mestinya tidak cukup bila hanya digaungkan dan berupa program saja, melainkan perlu didesakkan sebagai aksi dan gerakan bersama seluruh komponen bangsa baik pemerintah (Kementerian Agama) maupun kelompok-kelompok agama agar ekstremisme dan kekerasan atas dasar kebencian kepada agama dan suku yang berbeda bisa ditekan dan dihilangkan menuju beragama yang toleran, damai dan menghargai kemanusiaan semesta.

Saatnya kita semua mendukung Menag yang baru ini untuk menunjukkan kinerjanya dan mensukseskan gerakan moderasi beragama serta toleransi beragama dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, menuju harmoni beragama sesuai tuntunan Rosulullah SAW sebagai panutan dan pijakan kita. Semoga !
(poe)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1406 seconds (0.1#10.140)