Pertimbangan dan Dasar Hukum SKB Pembubaran FPI Dinilai Bermasalah
Rabu, 30 Desember 2020 - 21:33 WIB
(Baca:Tokoh Muhammadiyah: Jangan Hanya Tegas dan Keras terhadap FPI)
Pertimbangan itu kemudian diperkuat lagi dalam Putusan MK No. 3/PUU-XII/2014, yang menyatakan “.... Ormas yang tidak terdaftar atau tidak mendaftarkan diri tidak pula dilarang dalam Undang-Undang a quo sehingga Ormas yang demikian tetap memiliki hak hidup sepanjang kegiatan-kegiatannya tidak mengganggu keamanan dan ketertiban umum, melanggar hak kebebasan orang lain, …”.
”Ini artinya pendaftaran ormas harus dipandang bersifat sukarela dan tanpa paksaan, sehingga ketiadaan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) sebagai dokumen registrasi tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk melakukan pelarangan kegiatan ormas,” ujar Miftah.
Miftah melanjutkan, tindakan pembubaran terhadap suatu organisasi, sebagai bentuk pembatasan terhadap kebebasan berserikat, harus sepenuhnya mengacu pada prinsip-prinsip due process of law. Kuncinya adalah pengadilan. Pengadilan harus digelar secara terbuka dan akuntabel, kedua belah pihak (pemerintah dan pihak yang dilakukan pembubaran) harus didengar keterangannya secara berimbang (audi et alteram partem), serta putusannya dapat diuji pada tingkat pengadilan yang lebih tinggi.
(Baca:Dibubarkan Pemerintah, FPI Jatim Tunggu Sikap Pusat)
Hal ini sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 6-13-20/PUU-VIII/2010 yang mengatakan, “… mutlak adanya due process of law yaitu penegakan hukum dalam suatu sistem peradilan. Apabila ada suatu perbuatan dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum maka prosesnya harus melalui putusan pengadilan ….”.
”Oleh karenanya, meski prosedur pelarangan atau pembubaran suatu Ormas melalui proses pengadilan tidak lagi diatur dalam UU No. 16/2017 (Pengesahan Perppu No. 2/2017 tentang Perubahan UU No. 17/2013 tentang Ormas), untuk tetap memastikan bekerjanya prinsip dan sistem negara hukum, sudah semestinya pelarangan kegiatan FPI juga dilakukan melalui mekanisme pengadilan,” tutur Miftah.
Pertimbangan itu kemudian diperkuat lagi dalam Putusan MK No. 3/PUU-XII/2014, yang menyatakan “.... Ormas yang tidak terdaftar atau tidak mendaftarkan diri tidak pula dilarang dalam Undang-Undang a quo sehingga Ormas yang demikian tetap memiliki hak hidup sepanjang kegiatan-kegiatannya tidak mengganggu keamanan dan ketertiban umum, melanggar hak kebebasan orang lain, …”.
”Ini artinya pendaftaran ormas harus dipandang bersifat sukarela dan tanpa paksaan, sehingga ketiadaan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) sebagai dokumen registrasi tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk melakukan pelarangan kegiatan ormas,” ujar Miftah.
Miftah melanjutkan, tindakan pembubaran terhadap suatu organisasi, sebagai bentuk pembatasan terhadap kebebasan berserikat, harus sepenuhnya mengacu pada prinsip-prinsip due process of law. Kuncinya adalah pengadilan. Pengadilan harus digelar secara terbuka dan akuntabel, kedua belah pihak (pemerintah dan pihak yang dilakukan pembubaran) harus didengar keterangannya secara berimbang (audi et alteram partem), serta putusannya dapat diuji pada tingkat pengadilan yang lebih tinggi.
(Baca:Dibubarkan Pemerintah, FPI Jatim Tunggu Sikap Pusat)
Hal ini sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 6-13-20/PUU-VIII/2010 yang mengatakan, “… mutlak adanya due process of law yaitu penegakan hukum dalam suatu sistem peradilan. Apabila ada suatu perbuatan dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum maka prosesnya harus melalui putusan pengadilan ….”.
”Oleh karenanya, meski prosedur pelarangan atau pembubaran suatu Ormas melalui proses pengadilan tidak lagi diatur dalam UU No. 16/2017 (Pengesahan Perppu No. 2/2017 tentang Perubahan UU No. 17/2013 tentang Ormas), untuk tetap memastikan bekerjanya prinsip dan sistem negara hukum, sudah semestinya pelarangan kegiatan FPI juga dilakukan melalui mekanisme pengadilan,” tutur Miftah.
(muh)
Lihat Juga :
tulis komentar anda