Pertimbangan dan Dasar Hukum SKB Pembubaran FPI Dinilai Bermasalah
loading...
A
A
A
JAKARTA - Melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) enam menteri dan pejabat setingkat menteri, pemerintah resmi melarang seluruh aktivitas Front Pembela Islam (FPI) . Penggunaan simbol serta atribut FPI juga tidak diperbolehkan.
Pemerintah berargumen bahwa de jure FPI dianggap telah bubar karena sudah tidak lagi terdaftar di Kemendagri sejak Juni 2019. Selain itu, pemerintah juga menyebutkan FPI telah terlibat dalam berbagai peristiwa, yang di dalamnya diduga terdapat tindak pidana.
Terkait hal ini sejumlahlembaga swadaya masyarakat (LSM) pemerhati demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) menilai ada persoalan dalam SKB tersebut. ”Apakah dasar hukum keputusan tersebut sudah tepat termasuk secara prosedurnya?” demikian bunyi pernyataan pers bersama Elsam, Imparsial, ICJR, dan PIL-Net Indonesia, Rabu (30/12/2020) malam.
(Baca:Selain FPI, Inilah 4 Ormas yang Dibubarkan Pemerintah)
Miftah Fadhli, peneliti Elsam mengapresiasi upaya negara untuk menindak tegas kelompok-kelompok yang cenderung berlaku keras dan dan intoleran di tengah masyarakat. Namun, langkah tersebut harus dilakukan dengan mempertimbangkan jaminan dan perlindungan kebebasan berserikat dan berorganisasi warga negara yang dijamin oleh konstitusi.
”Lebih jauh kebebasan ini juga berfungsi sebagai sarana bagi setiap individu dan kelompok untuk menikmati dan memperjuangkan hak asasinya,” ujar Miftah.
Lagi pula, kata Miftah, sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 82/PUU-XI/2013 dalam pengujian UU No. 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang dijadikan dasar pemerintah, sejatinya tindakan pemerintah melarang aktivitas FPI tidak tepat
Di sana disebutkan bahwa, “...Ormas yang tidak mendaftarkan diri pada instansi pemerintah yang berwenang tidak mendapatkan pelayanan dari pemerintah (negara), tetapi negara tidak dapat menetapkan Ormas tersebut sebagai Ormas terlarang, atau negara juga tidak dapat melarang kegiatan Ormas tersebut sepanjang tidak melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan, ketertiban umum, atau pelanggaran hukum”.
(Baca:Tokoh Muhammadiyah: Jangan Hanya Tegas dan Keras terhadap FPI)
Pertimbangan itu kemudian diperkuat lagi dalam Putusan MK No. 3/PUU-XII/2014, yang menyatakan “.... Ormas yang tidak terdaftar atau tidak mendaftarkan diri tidak pula dilarang dalam Undang-Undang a quo sehingga Ormas yang demikian tetap memiliki hak hidup sepanjang kegiatan-kegiatannya tidak mengganggu keamanan dan ketertiban umum, melanggar hak kebebasan orang lain, …”.
”Ini artinya pendaftaran ormas harus dipandang bersifat sukarela dan tanpa paksaan, sehingga ketiadaan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) sebagai dokumen registrasi tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk melakukan pelarangan kegiatan ormas,” ujar Miftah.
Miftah melanjutkan, tindakan pembubaran terhadap suatu organisasi, sebagai bentuk pembatasan terhadap kebebasan berserikat, harus sepenuhnya mengacu pada prinsip-prinsip due process of law. Kuncinya adalah pengadilan. Pengadilan harus digelar secara terbuka dan akuntabel, kedua belah pihak (pemerintah dan pihak yang dilakukan pembubaran) harus didengar keterangannya secara berimbang (audi et alteram partem), serta putusannya dapat diuji pada tingkat pengadilan yang lebih tinggi.
(Baca:Dibubarkan Pemerintah, FPI Jatim Tunggu Sikap Pusat)
Hal ini sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 6-13-20/PUU-VIII/2010 yang mengatakan, “… mutlak adanya due process of law yaitu penegakan hukum dalam suatu sistem peradilan. Apabila ada suatu perbuatan dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum maka prosesnya harus melalui putusan pengadilan ….”.
”Oleh karenanya, meski prosedur pelarangan atau pembubaran suatu Ormas melalui proses pengadilan tidak lagi diatur dalam UU No. 16/2017 (Pengesahan Perppu No. 2/2017 tentang Perubahan UU No. 17/2013 tentang Ormas), untuk tetap memastikan bekerjanya prinsip dan sistem negara hukum, sudah semestinya pelarangan kegiatan FPI juga dilakukan melalui mekanisme pengadilan,” tutur Miftah.
Pemerintah berargumen bahwa de jure FPI dianggap telah bubar karena sudah tidak lagi terdaftar di Kemendagri sejak Juni 2019. Selain itu, pemerintah juga menyebutkan FPI telah terlibat dalam berbagai peristiwa, yang di dalamnya diduga terdapat tindak pidana.
Terkait hal ini sejumlahlembaga swadaya masyarakat (LSM) pemerhati demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) menilai ada persoalan dalam SKB tersebut. ”Apakah dasar hukum keputusan tersebut sudah tepat termasuk secara prosedurnya?” demikian bunyi pernyataan pers bersama Elsam, Imparsial, ICJR, dan PIL-Net Indonesia, Rabu (30/12/2020) malam.
(Baca:Selain FPI, Inilah 4 Ormas yang Dibubarkan Pemerintah)
Miftah Fadhli, peneliti Elsam mengapresiasi upaya negara untuk menindak tegas kelompok-kelompok yang cenderung berlaku keras dan dan intoleran di tengah masyarakat. Namun, langkah tersebut harus dilakukan dengan mempertimbangkan jaminan dan perlindungan kebebasan berserikat dan berorganisasi warga negara yang dijamin oleh konstitusi.
”Lebih jauh kebebasan ini juga berfungsi sebagai sarana bagi setiap individu dan kelompok untuk menikmati dan memperjuangkan hak asasinya,” ujar Miftah.
Lagi pula, kata Miftah, sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 82/PUU-XI/2013 dalam pengujian UU No. 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang dijadikan dasar pemerintah, sejatinya tindakan pemerintah melarang aktivitas FPI tidak tepat
Di sana disebutkan bahwa, “...Ormas yang tidak mendaftarkan diri pada instansi pemerintah yang berwenang tidak mendapatkan pelayanan dari pemerintah (negara), tetapi negara tidak dapat menetapkan Ormas tersebut sebagai Ormas terlarang, atau negara juga tidak dapat melarang kegiatan Ormas tersebut sepanjang tidak melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan, ketertiban umum, atau pelanggaran hukum”.
(Baca:Tokoh Muhammadiyah: Jangan Hanya Tegas dan Keras terhadap FPI)
Pertimbangan itu kemudian diperkuat lagi dalam Putusan MK No. 3/PUU-XII/2014, yang menyatakan “.... Ormas yang tidak terdaftar atau tidak mendaftarkan diri tidak pula dilarang dalam Undang-Undang a quo sehingga Ormas yang demikian tetap memiliki hak hidup sepanjang kegiatan-kegiatannya tidak mengganggu keamanan dan ketertiban umum, melanggar hak kebebasan orang lain, …”.
”Ini artinya pendaftaran ormas harus dipandang bersifat sukarela dan tanpa paksaan, sehingga ketiadaan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) sebagai dokumen registrasi tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk melakukan pelarangan kegiatan ormas,” ujar Miftah.
Miftah melanjutkan, tindakan pembubaran terhadap suatu organisasi, sebagai bentuk pembatasan terhadap kebebasan berserikat, harus sepenuhnya mengacu pada prinsip-prinsip due process of law. Kuncinya adalah pengadilan. Pengadilan harus digelar secara terbuka dan akuntabel, kedua belah pihak (pemerintah dan pihak yang dilakukan pembubaran) harus didengar keterangannya secara berimbang (audi et alteram partem), serta putusannya dapat diuji pada tingkat pengadilan yang lebih tinggi.
(Baca:Dibubarkan Pemerintah, FPI Jatim Tunggu Sikap Pusat)
Hal ini sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 6-13-20/PUU-VIII/2010 yang mengatakan, “… mutlak adanya due process of law yaitu penegakan hukum dalam suatu sistem peradilan. Apabila ada suatu perbuatan dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum maka prosesnya harus melalui putusan pengadilan ….”.
”Oleh karenanya, meski prosedur pelarangan atau pembubaran suatu Ormas melalui proses pengadilan tidak lagi diatur dalam UU No. 16/2017 (Pengesahan Perppu No. 2/2017 tentang Perubahan UU No. 17/2013 tentang Ormas), untuk tetap memastikan bekerjanya prinsip dan sistem negara hukum, sudah semestinya pelarangan kegiatan FPI juga dilakukan melalui mekanisme pengadilan,” tutur Miftah.
(muh)