Pertimbangan dan Dasar Hukum SKB Pembubaran FPI Dinilai Bermasalah
Rabu, 30 Desember 2020 - 21:33 WIB
JAKARTA - Melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) enam menteri dan pejabat setingkat menteri, pemerintah resmi melarang seluruh aktivitas Front Pembela Islam (FPI) . Penggunaan simbol serta atribut FPI juga tidak diperbolehkan.
Pemerintah berargumen bahwa de jure FPI dianggap telah bubar karena sudah tidak lagi terdaftar di Kemendagri sejak Juni 2019. Selain itu, pemerintah juga menyebutkan FPI telah terlibat dalam berbagai peristiwa, yang di dalamnya diduga terdapat tindak pidana.
Terkait hal ini sejumlahlembaga swadaya masyarakat (LSM) pemerhati demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) menilai ada persoalan dalam SKB tersebut. ”Apakah dasar hukum keputusan tersebut sudah tepat termasuk secara prosedurnya?” demikian bunyi pernyataan pers bersama Elsam, Imparsial, ICJR, dan PIL-Net Indonesia, Rabu (30/12/2020) malam.
(Baca:Selain FPI, Inilah 4 Ormas yang Dibubarkan Pemerintah)
Miftah Fadhli, peneliti Elsam mengapresiasi upaya negara untuk menindak tegas kelompok-kelompok yang cenderung berlaku keras dan dan intoleran di tengah masyarakat. Namun, langkah tersebut harus dilakukan dengan mempertimbangkan jaminan dan perlindungan kebebasan berserikat dan berorganisasi warga negara yang dijamin oleh konstitusi.
”Lebih jauh kebebasan ini juga berfungsi sebagai sarana bagi setiap individu dan kelompok untuk menikmati dan memperjuangkan hak asasinya,” ujar Miftah.
Lagi pula, kata Miftah, sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 82/PUU-XI/2013 dalam pengujian UU No. 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang dijadikan dasar pemerintah, sejatinya tindakan pemerintah melarang aktivitas FPI tidak tepat
Di sana disebutkan bahwa, “...Ormas yang tidak mendaftarkan diri pada instansi pemerintah yang berwenang tidak mendapatkan pelayanan dari pemerintah (negara), tetapi negara tidak dapat menetapkan Ormas tersebut sebagai Ormas terlarang, atau negara juga tidak dapat melarang kegiatan Ormas tersebut sepanjang tidak melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan, ketertiban umum, atau pelanggaran hukum”.
Pemerintah berargumen bahwa de jure FPI dianggap telah bubar karena sudah tidak lagi terdaftar di Kemendagri sejak Juni 2019. Selain itu, pemerintah juga menyebutkan FPI telah terlibat dalam berbagai peristiwa, yang di dalamnya diduga terdapat tindak pidana.
Terkait hal ini sejumlahlembaga swadaya masyarakat (LSM) pemerhati demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) menilai ada persoalan dalam SKB tersebut. ”Apakah dasar hukum keputusan tersebut sudah tepat termasuk secara prosedurnya?” demikian bunyi pernyataan pers bersama Elsam, Imparsial, ICJR, dan PIL-Net Indonesia, Rabu (30/12/2020) malam.
(Baca:Selain FPI, Inilah 4 Ormas yang Dibubarkan Pemerintah)
Miftah Fadhli, peneliti Elsam mengapresiasi upaya negara untuk menindak tegas kelompok-kelompok yang cenderung berlaku keras dan dan intoleran di tengah masyarakat. Namun, langkah tersebut harus dilakukan dengan mempertimbangkan jaminan dan perlindungan kebebasan berserikat dan berorganisasi warga negara yang dijamin oleh konstitusi.
”Lebih jauh kebebasan ini juga berfungsi sebagai sarana bagi setiap individu dan kelompok untuk menikmati dan memperjuangkan hak asasinya,” ujar Miftah.
Lagi pula, kata Miftah, sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 82/PUU-XI/2013 dalam pengujian UU No. 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang dijadikan dasar pemerintah, sejatinya tindakan pemerintah melarang aktivitas FPI tidak tepat
Di sana disebutkan bahwa, “...Ormas yang tidak mendaftarkan diri pada instansi pemerintah yang berwenang tidak mendapatkan pelayanan dari pemerintah (negara), tetapi negara tidak dapat menetapkan Ormas tersebut sebagai Ormas terlarang, atau negara juga tidak dapat melarang kegiatan Ormas tersebut sepanjang tidak melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan, ketertiban umum, atau pelanggaran hukum”.
tulis komentar anda