Pemberhentian Risma sebagai Wali Kota Semestinya melalui Rapat Paripurna DPRD
Jum'at, 25 Desember 2020 - 08:24 WIB
JAKARTA - Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti menilai, pernyataan Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang menyebut Tri Rismaharini dengan sendirinya telah berhenti sejak dilantik sebagai Menteri sosial di dalam Kabinet pemerintahan Jokowi adalah benar adanya. Sekali pun begitu, menurut Ray, pemberhentian itu seharusnya tetap harus melalui mekanisme rapat paripurna DPRD, bukan SK presiden.
Hal ini dikatakan Ray merespon rangkap jabatan Risma sebagai Mensos sekaligus Wali Kota Surabaya. "Jadi tidak ada istilah sudah mendapat izin presiden," katanya kepada SINDOnews, Jumat (25/12/2020).
Ray mengatakan, izin presiden tersebut tidak dengan sendirinya tetap menempatkan Risma sebagai wali kota. Tapi bisa dengan kapasitas lain, seperti sebagai Mensos atau warga biasa. ( )
Menurutnya, hal ini sesuai dengan Undang-Undang No 39/2008 tentang Kementerian Negera, yakni menteri dilarang rangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan (pasal 23 poin a).
Selain itu, kata Ray, hal ini juga diperkuat oleh Pasal 78 ayat (2) poin g UU No 23/2014 yakin "diberi tugas dalam jabatan tertentu oleh Presiden yang dilarang untuk dirangkap oleh ketentuan peraturan perundang-undangan".
Dengan dua ketentuan ini, lanjut Ray, dengan sendirinya Risma sudah tidak memenuhi sarat untuk tetap menjadi kepala daerah. Tinggal proses politik dan administrasinya harus tetap dilakukan. Yakni melalui sidang paripurna di DPRD untuk menetapkan pemberhentian Risma sebagai kepala daerah.
"Tentu, ada peluang hal ini dipersoalkan. Misalnya DPRD tidak mau bersidang untuk menetapkan pemberhentian Ibu Risma. Jika itu yang terjadi, Surabaya dalam status quo. Punya kepala daerah yang sama sekali tidak bisa aktif, tapi juga tak dapat digantikan. Tinggal kita lihat seperti apa sikap DPRD Surabaya," tuturnya. ( )
Bersamaan dengan itu, mantan aktivis 98 asal UIN Jakarta ini mengatakan, bila Risma tetap berkeinginan untuk meresmikan jembatan atau museum atau apapun, ya boleh saja. Tapi tidak lagi dalam kapasitasnya sebagai wali kota. Menurutnya, kader PDI Perjuangan itu dapat mempergunakan kapasitas lain.
"Entah sebagai Mensos, atau warga biasa Surabaya. Kalau sebagai wali kota, jelas hal itu tidak diperkenankan UU. Tapi jika Bu Risma masih tetap mempergunakan kapasitas wali kota, punya potensi melanggar 2 UU," katanya.
Hal ini dikatakan Ray merespon rangkap jabatan Risma sebagai Mensos sekaligus Wali Kota Surabaya. "Jadi tidak ada istilah sudah mendapat izin presiden," katanya kepada SINDOnews, Jumat (25/12/2020).
Ray mengatakan, izin presiden tersebut tidak dengan sendirinya tetap menempatkan Risma sebagai wali kota. Tapi bisa dengan kapasitas lain, seperti sebagai Mensos atau warga biasa. ( )
Menurutnya, hal ini sesuai dengan Undang-Undang No 39/2008 tentang Kementerian Negera, yakni menteri dilarang rangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan (pasal 23 poin a).
Selain itu, kata Ray, hal ini juga diperkuat oleh Pasal 78 ayat (2) poin g UU No 23/2014 yakin "diberi tugas dalam jabatan tertentu oleh Presiden yang dilarang untuk dirangkap oleh ketentuan peraturan perundang-undangan".
Dengan dua ketentuan ini, lanjut Ray, dengan sendirinya Risma sudah tidak memenuhi sarat untuk tetap menjadi kepala daerah. Tinggal proses politik dan administrasinya harus tetap dilakukan. Yakni melalui sidang paripurna di DPRD untuk menetapkan pemberhentian Risma sebagai kepala daerah.
"Tentu, ada peluang hal ini dipersoalkan. Misalnya DPRD tidak mau bersidang untuk menetapkan pemberhentian Ibu Risma. Jika itu yang terjadi, Surabaya dalam status quo. Punya kepala daerah yang sama sekali tidak bisa aktif, tapi juga tak dapat digantikan. Tinggal kita lihat seperti apa sikap DPRD Surabaya," tuturnya. ( )
Bersamaan dengan itu, mantan aktivis 98 asal UIN Jakarta ini mengatakan, bila Risma tetap berkeinginan untuk meresmikan jembatan atau museum atau apapun, ya boleh saja. Tapi tidak lagi dalam kapasitasnya sebagai wali kota. Menurutnya, kader PDI Perjuangan itu dapat mempergunakan kapasitas lain.
"Entah sebagai Mensos, atau warga biasa Surabaya. Kalau sebagai wali kota, jelas hal itu tidak diperkenankan UU. Tapi jika Bu Risma masih tetap mempergunakan kapasitas wali kota, punya potensi melanggar 2 UU," katanya.
(abd)
tulis komentar anda