Menelisik Masa Depan Industri dan Cukai Hasil Tembakau
Senin, 21 Desember 2020 - 06:05 WIB
Hal tersebut menunjukkan bahwa Indonesia memiliki beberapa pilihan BKC lainnya yang berpotensi untuk dapat meningkatkan penerimaan cukai negara. Seperti di Belanda dan Prancis, pendapatan cukai terbesar dari kedua negara tersebut berasal dari produk energi. Sedangkan untuk Finlandia, penerimaan cukai terbesar negara tersebut berasal dari bahan bakar cair. Begitu juga di Thailand, penerimaan cukai terbesar negara tersebut berasal dari minyak.
Pemerintah telah mengkaji sejumlah produk baru yang akan dikenakan cukai oleh menambah pemasukan negara. Selama ini ketentuan cukai hanya dikenal masyarakat awam dilaporkan untuk produk rokok dan minuman mengandung alkohol. Salah satu altrnatif barang kena cukai yang sudah disepakati untuk dikenai cukai adalah plastik. Keputusan itu dibuat mengingat tingginya konsumsi plastik yang bisa memicu masalah sampah. Cukai yang akan dikenakan untuk plastik adalah Rp30.000 per kilogram atau Rp200 per lembar. Tarif yang diajukan ini diharapkan bisa menekan konsumsi plastik hingga 50% dan potensi penerimaan cukai bisa mencapai Rp1,6 triliun.
Selain plastik, Menteri Keuangan juga berencana mengenakan cukai kepada minuman berpemanis. Diperkirakan cukai minuman berpemanis akan menyumbang Rp6,25 triliun per tahun kepada penerimaan negara. Tarifnya pun bervariasi dan bergantung kepada tiap produk sesuai dengan tingkat kandungan pemanis.
Menimbang Beban IHT
Perlu diakui bahwa kini beban IHT sangat besar. Selain kenaikan tarif cukai yang dalam dua tahun terakhir terus mengalami kenaikan, munculnya pandemi Covid 19 juga turut menambah deretan beban yang harus dihadapi IHT. Hasil riset Forum for Socio-Economic Studies (FOSES) menunjukkan bahwa kenaikan cukai rokok setiap tahun ternyata selalu memberikan pengaruh negatif terhadap jumlah tenaga kerja serapan di sektor IHT. Data FOSES juga menunjukkan terjadinya penurunan jumlah tenaga kerja selama 2016 hingga 2018 akibat kenaikan cukai rokok sebesar 4,88% hingga 7,7%. Pasalnya, jumlah serapan tenaga kerja pada IHT adalah yang terbesar kelima di Tanah Air. Setidaknya sektor IHT dari hulu ke hilir terdapat 7 juta manusia yangmasih menggantungkan nasib di sektor pertembakauan.
Serangkaian kebijakan yang bersifat mengendalikan serta dampak pandemi Covid-19, akan berpengaruh terhadap produksi IHT yang berujung pada terganggunya penerimaan negara. Selain baban tenaga kerja, beban pajak, beban kesejahteraan pertanian, dan perdagangan IHT juga turut terdampak. Kebijakan kenaikan tarif cukai setiap tahun relatif tinggi dibanding angka inflasi maupun pertumbuhan ekonomi. Bahkan, kenaikan HJE meningkat dua kali lipat dibanding persentase kenaikan tarif pada sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM) pada 2020.
Saat ini, penyusunan peta jalan (roadmap) IHT yang komprehensif dengan mempertimbangkan aspek kesehatan, ekonomi, pendapatan negara, tenaga kerja, dan pertanian mendesak untuk segera dilakukan oleh pemerintah. Kepastian tarif dan kebijakan CHT sangat diperlukan mengingat rantai produksi-distribusi usaha yang melibatkan banyak pihak dari petani, pabrik, buruh, distribusi, logistik, hingga pengecer warung. Oleh sebab itu, para stakeholders di sektor IHT perlu duduk bersama untuk menyelaraskan pemikiran dengan mengutamakan prinsip partisipatif, terbuka, dan holistik agar terciptanya kebijakan cukai hasil tembakau (CHT) yang lebih deliberatif, inklusif, dan mengedepankan persaingan usaha yang sehat. Semoga.
Pemerintah telah mengkaji sejumlah produk baru yang akan dikenakan cukai oleh menambah pemasukan negara. Selama ini ketentuan cukai hanya dikenal masyarakat awam dilaporkan untuk produk rokok dan minuman mengandung alkohol. Salah satu altrnatif barang kena cukai yang sudah disepakati untuk dikenai cukai adalah plastik. Keputusan itu dibuat mengingat tingginya konsumsi plastik yang bisa memicu masalah sampah. Cukai yang akan dikenakan untuk plastik adalah Rp30.000 per kilogram atau Rp200 per lembar. Tarif yang diajukan ini diharapkan bisa menekan konsumsi plastik hingga 50% dan potensi penerimaan cukai bisa mencapai Rp1,6 triliun.
Selain plastik, Menteri Keuangan juga berencana mengenakan cukai kepada minuman berpemanis. Diperkirakan cukai minuman berpemanis akan menyumbang Rp6,25 triliun per tahun kepada penerimaan negara. Tarifnya pun bervariasi dan bergantung kepada tiap produk sesuai dengan tingkat kandungan pemanis.
Menimbang Beban IHT
Perlu diakui bahwa kini beban IHT sangat besar. Selain kenaikan tarif cukai yang dalam dua tahun terakhir terus mengalami kenaikan, munculnya pandemi Covid 19 juga turut menambah deretan beban yang harus dihadapi IHT. Hasil riset Forum for Socio-Economic Studies (FOSES) menunjukkan bahwa kenaikan cukai rokok setiap tahun ternyata selalu memberikan pengaruh negatif terhadap jumlah tenaga kerja serapan di sektor IHT. Data FOSES juga menunjukkan terjadinya penurunan jumlah tenaga kerja selama 2016 hingga 2018 akibat kenaikan cukai rokok sebesar 4,88% hingga 7,7%. Pasalnya, jumlah serapan tenaga kerja pada IHT adalah yang terbesar kelima di Tanah Air. Setidaknya sektor IHT dari hulu ke hilir terdapat 7 juta manusia yangmasih menggantungkan nasib di sektor pertembakauan.
Serangkaian kebijakan yang bersifat mengendalikan serta dampak pandemi Covid-19, akan berpengaruh terhadap produksi IHT yang berujung pada terganggunya penerimaan negara. Selain baban tenaga kerja, beban pajak, beban kesejahteraan pertanian, dan perdagangan IHT juga turut terdampak. Kebijakan kenaikan tarif cukai setiap tahun relatif tinggi dibanding angka inflasi maupun pertumbuhan ekonomi. Bahkan, kenaikan HJE meningkat dua kali lipat dibanding persentase kenaikan tarif pada sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM) pada 2020.
Saat ini, penyusunan peta jalan (roadmap) IHT yang komprehensif dengan mempertimbangkan aspek kesehatan, ekonomi, pendapatan negara, tenaga kerja, dan pertanian mendesak untuk segera dilakukan oleh pemerintah. Kepastian tarif dan kebijakan CHT sangat diperlukan mengingat rantai produksi-distribusi usaha yang melibatkan banyak pihak dari petani, pabrik, buruh, distribusi, logistik, hingga pengecer warung. Oleh sebab itu, para stakeholders di sektor IHT perlu duduk bersama untuk menyelaraskan pemikiran dengan mengutamakan prinsip partisipatif, terbuka, dan holistik agar terciptanya kebijakan cukai hasil tembakau (CHT) yang lebih deliberatif, inklusif, dan mengedepankan persaingan usaha yang sehat. Semoga.
(abd)
tulis komentar anda