Pilkada Serentak 2020, Covid-19 dan Politik Uang Bisa Pengaruhi Partisipasi Pemilih
Rabu, 09 Desember 2020 - 11:16 WIB
JAKARTA - Pilkada Serentak 2020 digelar hari ini, Rabu 9 Desember 2020. Direktur Eksekutif Sudut Demokrasi Research and Analysis (Sudra) Fadhli Harahab melihat, pilkada kali ini memang berbeda dari pilkada-pilkada sebelumnya karena dilaksanakan di tengah ancaman virus Covid-19.
"Pelaksanaan pungut-hitung juga pasti berbeda. Kita lihat semuanya apakah TPS-TPS itu nerapin protokol kesehatan , karena syarat wajib yang disepakati, mengharuskan itu," kata Fadhli kepada SINDOnews, Rabu (9/12/2020).
Menurut Fadhli, jauh dari tahapan yang semestinya terjadi dalam pilkada, pelaksanaan pilkada di tengah pandemi juga menjadi batu ujian terhadap partisipasi pemilih. Ia mengaku pesimistis bahwa partisipasi pemilih tetap terjaga dengan baik.
Analis Sosial Politik asal UIN Jakarta ini menilai, jika partisipasi pemilih sempat ditargetkan oleh penyelenggara pemilu di angka 75-80 persen, ia melihat sebaliknya, angka partisipasi ini berpotensi menurun. Ia pun menyampaikan berbagai indikatornya, seperti ancaman pandemi Covid-19 sampai faktor cuaca hujan yang bisa memengaruhi hal tersebut.
(
).
"Saat ini kita tahu bersama beberapa daerah sudah masuk musim penghujan dengan intensitas yang cukup lama, ini bisa bikin pemilih jadi 'mager' ke bilik suara. Apalagi takut corona," ujar dia.
Di samping itu, ada faktor lain yang juga cukup memengaruhi partisipasi pemilih yakni potensi politik uang yang masih menjadi pekerjaan rumah kita bersama. Menurutnya, bagi sebagian masyarakat melihat politik uang sebagai sesuatu yang 'jamak' terjadi, tapi bagi sebagaian yang lain, dugaan politik uang ikut menyeret kepercayaan publik.
( ).
"Dampaknya, warga merasa suaranya tak lagi dihargai karena potensi-potensi itu. Aku pikir 'siraman' politik uang membuat warga males datang ke TPS-TPS. Jadi aku ingatkan, jangan sekali-kali beli kucing dalam karung. Sebab kalo kucingnya keluar, kamu bisa digigit," pungkasnya.
"Pelaksanaan pungut-hitung juga pasti berbeda. Kita lihat semuanya apakah TPS-TPS itu nerapin protokol kesehatan , karena syarat wajib yang disepakati, mengharuskan itu," kata Fadhli kepada SINDOnews, Rabu (9/12/2020).
Menurut Fadhli, jauh dari tahapan yang semestinya terjadi dalam pilkada, pelaksanaan pilkada di tengah pandemi juga menjadi batu ujian terhadap partisipasi pemilih. Ia mengaku pesimistis bahwa partisipasi pemilih tetap terjaga dengan baik.
Analis Sosial Politik asal UIN Jakarta ini menilai, jika partisipasi pemilih sempat ditargetkan oleh penyelenggara pemilu di angka 75-80 persen, ia melihat sebaliknya, angka partisipasi ini berpotensi menurun. Ia pun menyampaikan berbagai indikatornya, seperti ancaman pandemi Covid-19 sampai faktor cuaca hujan yang bisa memengaruhi hal tersebut.
(
Baca Juga
"Saat ini kita tahu bersama beberapa daerah sudah masuk musim penghujan dengan intensitas yang cukup lama, ini bisa bikin pemilih jadi 'mager' ke bilik suara. Apalagi takut corona," ujar dia.
Di samping itu, ada faktor lain yang juga cukup memengaruhi partisipasi pemilih yakni potensi politik uang yang masih menjadi pekerjaan rumah kita bersama. Menurutnya, bagi sebagian masyarakat melihat politik uang sebagai sesuatu yang 'jamak' terjadi, tapi bagi sebagaian yang lain, dugaan politik uang ikut menyeret kepercayaan publik.
( ).
"Dampaknya, warga merasa suaranya tak lagi dihargai karena potensi-potensi itu. Aku pikir 'siraman' politik uang membuat warga males datang ke TPS-TPS. Jadi aku ingatkan, jangan sekali-kali beli kucing dalam karung. Sebab kalo kucingnya keluar, kamu bisa digigit," pungkasnya.
(zik)
Lihat Juga :
tulis komentar anda