Gembira dan Waspada dengan Pilkada
Selasa, 08 Desember 2020 - 05:00 WIB
RABU (9/12) besok, jutaan rakyat Indonesia akan memberikan suaranya dalam gelaran pilkada serentak. Waktu hari H tinggal hitungan jam lagi. Itu artinya, coblosan kali ini tinggal dilaksanakan dengan sebaik mungkin saja, tak perlu lagi diributkan dengan narasi ditunda atau tidak plus lewat berbagai dalih seperti bahaya besar pandemi dan sebagainya.
Dengan tahapan yang kian menghadapi purna ini, tentu yang paling penting adalah memastikan bahwa segala persiapan berikut protokol kesehatan Covid-19 bisa benar-benar dijalankan. Di lapangan, bisa jadi skenario yang disiapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak sepenuhnya bisa dijalankan optimal. Apalagi melihat geografi dan demografi yang tidak seragam, potensi timbul masalah itu tak terhindarkan. Namun, semua harus memiliki pemahaman bahwa dengan adanya masalah, justru menjadi sarana penyempurnaan atas sistem yang dibuat. Maka di situasi inilah dibutuhkan solusi cepat dan cerdas, utamanya bagi petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS).
Sekali lagi, faktanya pilkada tak mungkin ditunda. Untuk itu, sudah saatnya semua pihak untuk tidak menciptakan pilkada justru menjadi runyam. Kini waktunya bersama mewujudkan pilkada yang bergembira. Bagi sebagian orang, ini tampak ironi. Mungkin juga rasanya aneh membuat pilkada sebagai ajang suka cita di tengah wabah. Logika atau kekhawatiran itu tak berlebihan. Semua paham bahwa saat ini bangsa Indonesia sedang tidak baik-baik saja.
Namun juga perlu diingat, kungkungan narasi kekhawatiran yang terus-menerus datang juga sangat mampu memicu tekanan pikiran berlebihan. Pada tahap akut, kekhawatiran publik itu juga menyebabkan ketidaksinkronan antara kenyataan dan fantasi. Situasi ini yang dalam pendekatan filsafat dikenal dengan hyper-reality. Jika dibiarkan, stres berlebihan ini rawan memicu beragam penyakit yang bisa jadi membuat penanganan wabah menjadi kian kompleks.
Dengan begitu, menjadikan coblosan kali ini sebagai ajang untuk memupuk imunitas diri adalah sebuah keniscayaan. Dengan bergembira, maka seseorang akan cenderung menggunakan pendekatan rasionalitas ketimbang emosional saat memberikan suaranya. Dengan bergembira pula, maka pemilih sadar bahwa ajang pilkada adalah rutinitas demokrasi yang selayaknya dijalankan sebagainya adanya. Dengan demikian, ketegangan antarpemilih yang berbeda tak perlu lagi menjadi persoalan atau setidaknya bisa direduksi. Muara gembira ini adalah lahirnya kesadaran bersama akan pentingnya menjaga kedamaian serta keadilan.
Pilkada kali ini juga menjadi catatan sejarah bangsa. Dengan diikuti 270 daerah, menjadikan pilkada terbesar serentak yang pernah digelar Indonesia. Jika pilkada serentak dengan jumlah banyak dan dilaksanakan saat wabah tengah ganas-ganasnya bisa dilalui dengan baik, maka hal itu adalah sebuah keistimewaan. Setidaknya menjadi cerminan bahwa bangsa ini adalah bangsa yang kuat sekaligus taat.
Senyampang dengan rasa penuh gembira itu, publik juga diingatkan terus akan kewaspadaan terhadap munculnya virus korona. Tugas ini hakikatnya bukan saja menjadi kewajiban KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) ataupun di level terdasar yakni KPPS. Namun, semua pihak didorong memiliki kesadaran dan memiliki rasa tanggung jawab serupa. Dengan begitu, maka munculnya celah yang berpotensi menjadi pemicu tercederainya pilkada serentak kali ini, seperti bakal menyebarkan virus korona bisa dicegah.
Pilkada di tengah pandemi ini memang menjadi ujian demokrasi kita. Keberlangsungan demokrasi tak lagi semata diukur dengan tertunaikannya hal-hal yang bersifat prosedural. Lebih penting dari itu, pada saat yang sama demokrasi harus mampu menjamin keselamatan jiwa seluruh warga.
Dengan tahapan yang kian menghadapi purna ini, tentu yang paling penting adalah memastikan bahwa segala persiapan berikut protokol kesehatan Covid-19 bisa benar-benar dijalankan. Di lapangan, bisa jadi skenario yang disiapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak sepenuhnya bisa dijalankan optimal. Apalagi melihat geografi dan demografi yang tidak seragam, potensi timbul masalah itu tak terhindarkan. Namun, semua harus memiliki pemahaman bahwa dengan adanya masalah, justru menjadi sarana penyempurnaan atas sistem yang dibuat. Maka di situasi inilah dibutuhkan solusi cepat dan cerdas, utamanya bagi petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS).
Sekali lagi, faktanya pilkada tak mungkin ditunda. Untuk itu, sudah saatnya semua pihak untuk tidak menciptakan pilkada justru menjadi runyam. Kini waktunya bersama mewujudkan pilkada yang bergembira. Bagi sebagian orang, ini tampak ironi. Mungkin juga rasanya aneh membuat pilkada sebagai ajang suka cita di tengah wabah. Logika atau kekhawatiran itu tak berlebihan. Semua paham bahwa saat ini bangsa Indonesia sedang tidak baik-baik saja.
Namun juga perlu diingat, kungkungan narasi kekhawatiran yang terus-menerus datang juga sangat mampu memicu tekanan pikiran berlebihan. Pada tahap akut, kekhawatiran publik itu juga menyebabkan ketidaksinkronan antara kenyataan dan fantasi. Situasi ini yang dalam pendekatan filsafat dikenal dengan hyper-reality. Jika dibiarkan, stres berlebihan ini rawan memicu beragam penyakit yang bisa jadi membuat penanganan wabah menjadi kian kompleks.
Dengan begitu, menjadikan coblosan kali ini sebagai ajang untuk memupuk imunitas diri adalah sebuah keniscayaan. Dengan bergembira, maka seseorang akan cenderung menggunakan pendekatan rasionalitas ketimbang emosional saat memberikan suaranya. Dengan bergembira pula, maka pemilih sadar bahwa ajang pilkada adalah rutinitas demokrasi yang selayaknya dijalankan sebagainya adanya. Dengan demikian, ketegangan antarpemilih yang berbeda tak perlu lagi menjadi persoalan atau setidaknya bisa direduksi. Muara gembira ini adalah lahirnya kesadaran bersama akan pentingnya menjaga kedamaian serta keadilan.
Pilkada kali ini juga menjadi catatan sejarah bangsa. Dengan diikuti 270 daerah, menjadikan pilkada terbesar serentak yang pernah digelar Indonesia. Jika pilkada serentak dengan jumlah banyak dan dilaksanakan saat wabah tengah ganas-ganasnya bisa dilalui dengan baik, maka hal itu adalah sebuah keistimewaan. Setidaknya menjadi cerminan bahwa bangsa ini adalah bangsa yang kuat sekaligus taat.
Senyampang dengan rasa penuh gembira itu, publik juga diingatkan terus akan kewaspadaan terhadap munculnya virus korona. Tugas ini hakikatnya bukan saja menjadi kewajiban KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) ataupun di level terdasar yakni KPPS. Namun, semua pihak didorong memiliki kesadaran dan memiliki rasa tanggung jawab serupa. Dengan begitu, maka munculnya celah yang berpotensi menjadi pemicu tercederainya pilkada serentak kali ini, seperti bakal menyebarkan virus korona bisa dicegah.
Pilkada di tengah pandemi ini memang menjadi ujian demokrasi kita. Keberlangsungan demokrasi tak lagi semata diukur dengan tertunaikannya hal-hal yang bersifat prosedural. Lebih penting dari itu, pada saat yang sama demokrasi harus mampu menjamin keselamatan jiwa seluruh warga.
(bmm)
tulis komentar anda