Korupsi dan Modifikasi Visual
Rabu, 25 November 2020 - 07:17 WIB
Di sisi lain, dalam beberapa tahun terakhir memang jumlah perempuan pelaku korupsi sepertinya cenderung meningkat. "Nah, akhir-akhir ini kan sudah banyak perempuan yang menduduki jabatan atau menempati tempat-tempat yang kemudian memungkinkan untuk melakukan perbuatan korupsi. Ada jabatan politik, jabatan publik, atau jabatan strategis dengan peran-peran strategis. Secara keseluruhan tentu saya prihatin ya ada perempuan melakukan korupsi," katanya saat berbincang dengan KORAN SINDO.
Farida menjelaskan, dalam konteks perempuan sebagai pelaku korupsi tampak jelas juga ada fenomena yang masih terus terjadi, yakni ketika ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi, kemudian perempuan tersebut mengenakan jilbab. Padahal sebelum menjadi tersangka perempuan tersebut tidak memakai jilbab, bahkan ada yang berpenampilan terbuka dan minim.
Fenomena tersebut dapat dilihat oleh masyarakat luas secara kasatmata melalui pemberitaan media massa, terutama televisi. "Ketika dia (perempuan) melakukan itu, tertangkap, dan terbukti, akhirnya dia kemudian beralih pakai jilbab, ramai-ramai menutupi diri. Menurut pandangan saya, kan kelihatan agama kok seperti diperalat. Bisa saja agama diperalat karena dengan memakai jilbab untuk memberikan pesan 'saya bertobat', padahal tidak," keluhnya. (Baca juga: Menkes Ungkap Tingkatan kelas Peserta BPJS Dihapus di 2022)
Sekretaris Majelis Pengurus Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Organisasi Wilayah Sulawesi Selatan ini berpandangan, ada sedikitnya tiga alasan kenapa seorang perempuan yang mengenakan jilbab setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi. Pertama, perempuan tersebut ingin menutupi rasa malu sehingga jilbab dianggap menjadi simbol untuk menyampaikan rasa malu tersebut kepada publik.
Indikator pertama disodorkan Farida karena merujuk pada pandangan psikologi hukum dan sejumlah penelitian atau kajian. Penjelasannya, karakter dasar perempuan sebagai sosok yang paling tinggi rasa malunya dan ketakutannya untuk melakukan sesuatu, termasuk kejahatan, dibandingkan laki-laki.
Kedua, jilbab yang dikenakan menjadi pesan kepada publik bahwa perempuan tersangka korupsi berkeinginan akan berubah dan akan menebus segala kesalahannya. Jika pesan seperti ini sungguh-sungguh berasal dari keinginan yang kuat dan tetap konsisten, maka penggunaan jilbab tidak menjadi fenomena negatif dan tidak menimbulkan kesan agama diperalat.
Ketiga, jilbab yang dipakai perempuan tersangka korupsi sebagai bentuk kamuflase untuk menutupi seluruh dugaan perbuatan korupsi di hadapan publik. "Jadi, untuk melindungi dirinya saja dengan menggunakan atribut-atribut itu, kamuflase saja. Itu bisa saja menjadikan jilbab itu sebagai kamuflase untuk menutupi seluruh tingkah lakunya," ujar Farida. (Baca juga: Mau Beli Vaksin Covid via Online? Begini Caranya...)
Di sisi lain, ada fenomena positif jika melihat hubungan antara perempuan pelaku korupsi dengan jilbab. Contoh tersebut diperoleh dari terpidana mantan anggota DPR Angelina Sondakh alias Angie yang konsisten mengenakan jilbab setelah menjadi terpidana dan menjalani masa pidananya di dalam lembaga pemasyarakatan. Bahkan Angie kemudian menghafal beberapa juz Alquran. "Itu fenomena positifnya, bagus. Kita perlu apresiasi juga. Ketika dia salah, dia sadari, kemudian dia berubah, kan itu yang kita harapkan. Kita harapkan dia bisa jadi contoh yang baik di masyarakat dan tidak mengulangi perbuatannya," ucap Farida.
Ada beberapa upaya konkret pencegahan korupsi yang bisa dilakukan agar perempuan secara umum tidak terjebak dan melakukan korupsi. Pertama, dari perspektif keluarga. Seorang ibu harus menanamkan dan melaksanakan nilai-nilai integritas dari dalam keluarga. Sebagai seorang istri, perempuan jangan menjadi pemicu untuk suami melakukan korupsi apalagi sampai istri ikut menjadi aktor di dalamnya. Kedua, tutur Farida, perempuan yang mendapat amanat berupa jabatan atau peran-peran strategis di mana pun, dan level apa pun, harus berhati-hati ketika melakukan sebuah pekerjaan atau mengambil keputusan, konsisten menerapkan asas kehati-hatian dan melaksanakan manajemen antikorupsi.
Desainer sekaligus Chairman Indonesian Fashion Chamber (IFC) Ali Charisma mengajukan penilaian. Secara umum, jika dilihat para pelaku kriminal memang acap mengubah penampilan di hadapan publik sesaat setelah ditangani penegak hukum. Hal ini, tutur Ali, juga berlaku ketika melihat fenomena sejumlah perempuan yang ditetapkan menjadi tersangka dugaan korupsi, kemudian mengenakan jilbab, padahal sebelumnya tidak pernah. Perubahan penampilan seperti itu sebenarnya sangat manusiawi. (Baca juga: Paus Francis Sebut Muslim Uighur Teraniaya, Ini Respons China)
Farida menjelaskan, dalam konteks perempuan sebagai pelaku korupsi tampak jelas juga ada fenomena yang masih terus terjadi, yakni ketika ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi, kemudian perempuan tersebut mengenakan jilbab. Padahal sebelum menjadi tersangka perempuan tersebut tidak memakai jilbab, bahkan ada yang berpenampilan terbuka dan minim.
Fenomena tersebut dapat dilihat oleh masyarakat luas secara kasatmata melalui pemberitaan media massa, terutama televisi. "Ketika dia (perempuan) melakukan itu, tertangkap, dan terbukti, akhirnya dia kemudian beralih pakai jilbab, ramai-ramai menutupi diri. Menurut pandangan saya, kan kelihatan agama kok seperti diperalat. Bisa saja agama diperalat karena dengan memakai jilbab untuk memberikan pesan 'saya bertobat', padahal tidak," keluhnya. (Baca juga: Menkes Ungkap Tingkatan kelas Peserta BPJS Dihapus di 2022)
Sekretaris Majelis Pengurus Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Organisasi Wilayah Sulawesi Selatan ini berpandangan, ada sedikitnya tiga alasan kenapa seorang perempuan yang mengenakan jilbab setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi. Pertama, perempuan tersebut ingin menutupi rasa malu sehingga jilbab dianggap menjadi simbol untuk menyampaikan rasa malu tersebut kepada publik.
Indikator pertama disodorkan Farida karena merujuk pada pandangan psikologi hukum dan sejumlah penelitian atau kajian. Penjelasannya, karakter dasar perempuan sebagai sosok yang paling tinggi rasa malunya dan ketakutannya untuk melakukan sesuatu, termasuk kejahatan, dibandingkan laki-laki.
Kedua, jilbab yang dikenakan menjadi pesan kepada publik bahwa perempuan tersangka korupsi berkeinginan akan berubah dan akan menebus segala kesalahannya. Jika pesan seperti ini sungguh-sungguh berasal dari keinginan yang kuat dan tetap konsisten, maka penggunaan jilbab tidak menjadi fenomena negatif dan tidak menimbulkan kesan agama diperalat.
Ketiga, jilbab yang dipakai perempuan tersangka korupsi sebagai bentuk kamuflase untuk menutupi seluruh dugaan perbuatan korupsi di hadapan publik. "Jadi, untuk melindungi dirinya saja dengan menggunakan atribut-atribut itu, kamuflase saja. Itu bisa saja menjadikan jilbab itu sebagai kamuflase untuk menutupi seluruh tingkah lakunya," ujar Farida. (Baca juga: Mau Beli Vaksin Covid via Online? Begini Caranya...)
Di sisi lain, ada fenomena positif jika melihat hubungan antara perempuan pelaku korupsi dengan jilbab. Contoh tersebut diperoleh dari terpidana mantan anggota DPR Angelina Sondakh alias Angie yang konsisten mengenakan jilbab setelah menjadi terpidana dan menjalani masa pidananya di dalam lembaga pemasyarakatan. Bahkan Angie kemudian menghafal beberapa juz Alquran. "Itu fenomena positifnya, bagus. Kita perlu apresiasi juga. Ketika dia salah, dia sadari, kemudian dia berubah, kan itu yang kita harapkan. Kita harapkan dia bisa jadi contoh yang baik di masyarakat dan tidak mengulangi perbuatannya," ucap Farida.
Ada beberapa upaya konkret pencegahan korupsi yang bisa dilakukan agar perempuan secara umum tidak terjebak dan melakukan korupsi. Pertama, dari perspektif keluarga. Seorang ibu harus menanamkan dan melaksanakan nilai-nilai integritas dari dalam keluarga. Sebagai seorang istri, perempuan jangan menjadi pemicu untuk suami melakukan korupsi apalagi sampai istri ikut menjadi aktor di dalamnya. Kedua, tutur Farida, perempuan yang mendapat amanat berupa jabatan atau peran-peran strategis di mana pun, dan level apa pun, harus berhati-hati ketika melakukan sebuah pekerjaan atau mengambil keputusan, konsisten menerapkan asas kehati-hatian dan melaksanakan manajemen antikorupsi.
Desainer sekaligus Chairman Indonesian Fashion Chamber (IFC) Ali Charisma mengajukan penilaian. Secara umum, jika dilihat para pelaku kriminal memang acap mengubah penampilan di hadapan publik sesaat setelah ditangani penegak hukum. Hal ini, tutur Ali, juga berlaku ketika melihat fenomena sejumlah perempuan yang ditetapkan menjadi tersangka dugaan korupsi, kemudian mengenakan jilbab, padahal sebelumnya tidak pernah. Perubahan penampilan seperti itu sebenarnya sangat manusiawi. (Baca juga: Paus Francis Sebut Muslim Uighur Teraniaya, Ini Respons China)
tulis komentar anda