Korupsi dan Modifikasi Visual
loading...
A
A
A
JAKARTA - Korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang dibenci banyak orang. Tak mengherankan jika para pelaku kerap mengubah penampilan saat mereka tertangkap penegak hukum.
Para pelaku korupsi saat menjalani proses penyidikan, penahanan, hingga hukuman kerap tampil religius, baik dari cara berpakaian, cara berucap, hingga memegang tasbih atau rosario. Kesan religius ini bisa jadi merupakan bentuk penyesalan atau pertobatan atas kejahatan yang mereka lakukan. Boleh jadi pula tampilan religius ini untuk menghindari kemarahan atau serangan publik. (Baca: Diam-diam Mendoakan Orang Lain, Salah Satu Sebab Terkabulnya Doa)
Perilaku religius ini sering juga berbeda sembilan puluh derajat jika dibandingkan dengan penampilan mereka saat sebelum mereka tertangkap. Perubahan perilaku dan tampilan ini secara kasatmata lebih mudah kita lihat pada pelaku tindak pidana korupsi yang kebetulan berkelamin perempuan. Perempuan yang ditetapkan menjadi tersangka dugaan korupsi kemudian mengenakan jilbab atau kerudung. Padahal, sebelum menjadi tersangka tak pernah demikian. Ada yang berpenampilan terbuka, bahkan memamerkan gaya hidup mewah di media sosial tanpa beban.
Komodifikasi agama dengan penggunaan jilbab oleh perempuan tersangka jelas menjadi perhatian dan pertanyaan banyak kalangan. Apakah sekadar gaya visual atau memang bentuk perwujudan nyata kesalehan?
Terdakwa perkara suap mantan Kepala Subbagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Kejaksaan Agung Jaksa Pinangki Sirna Malasari adalah contoh gres. Pinangki tampil pertama kali mengenakan jilbab di hadapan publik saat akan diperiksa sebagai tersangka oleh penyidik Kejaksaan Agung pada Rabu, 9 September 2020 pagi.
Tampilan Pinangki mengejutkan karena saat pemeriksaan sebelumnya dia tak pernah mengenakan jilbab. Berikutnya Pinangki kemudian memadukan jilbab dengan gamis dan masih bertahan hingga kini, saat menjalani persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. (Baca juga: Ingat! Batas Usia Maksimal Pendaftar PPPK Guru)
Sejak pertama kali mengenakan jilbab hingga menjalani persidangan, Pinangki tak pernah mau mengungkap alasan dan tujuan memakai jilbab, meski sudah dicecar berkali-kali oleh para jurnalis. KORAN SINDO telah menitipkan beberapa pertanyaan untuk Pinangki melalui kuasa/penasihat hukumnya. Hingga Senin (23/11), Pinangki belum mau memberikan tanggapan.
Sebelumnya Jefri Moses Kam, kuasa hukum Pinangki, menyatakan, secara psikologis kliennya telah berangsur membaik hingga pemeriksaan kelima sebagai tersangka di Kejaksaan Agung (Kejagung). Pemeriksaan kelima berlangsung pada Senin (14/9). Jefri mengungkapkan, Pinangki mengenakan jilbab karena Pinangki telah memperbanyak ibadah saat ditahan di Rutan Salemba, Jakarta Pusat, Cabang Kejagung yang berada di Kompleks Kejagung. "Jadi, dia (Pinangki) juga kalau menurut cerita, dia di dalam, di 7A sana (rutan), ya memperbanyak ibadah. Masalah tobat, kita tidak bisa komentari ya," ujar Jefri di di Gedung Bundar Kejagung, Senin (14/11).
Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar Farida Patittingi menilai, hakikatnya pelaku kejahatan dalam bentuk apa pun, termasuk korupsi , tidak mengenal gender. Jelas, selama ini pelaku korupsi terdiri atas pelaku laki-laki maupun perempuan. Jika melihat data pelaku korupsi yang dilansir berbagai pihak, tampak bahwa pelaku korupsi paling banyak sebenarnya berjenis kelamin laki-laki. (Baca juga: Ini Masa Paling Menular dari Virus Corona Covid-19)
Di sisi lain, dalam beberapa tahun terakhir memang jumlah perempuan pelaku korupsi sepertinya cenderung meningkat. "Nah, akhir-akhir ini kan sudah banyak perempuan yang menduduki jabatan atau menempati tempat-tempat yang kemudian memungkinkan untuk melakukan perbuatan korupsi. Ada jabatan politik, jabatan publik, atau jabatan strategis dengan peran-peran strategis. Secara keseluruhan tentu saya prihatin ya ada perempuan melakukan korupsi," katanya saat berbincang dengan KORAN SINDO.
Farida menjelaskan, dalam konteks perempuan sebagai pelaku korupsi tampak jelas juga ada fenomena yang masih terus terjadi, yakni ketika ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi, kemudian perempuan tersebut mengenakan jilbab. Padahal sebelum menjadi tersangka perempuan tersebut tidak memakai jilbab, bahkan ada yang berpenampilan terbuka dan minim.
Fenomena tersebut dapat dilihat oleh masyarakat luas secara kasatmata melalui pemberitaan media massa, terutama televisi. "Ketika dia (perempuan) melakukan itu, tertangkap, dan terbukti, akhirnya dia kemudian beralih pakai jilbab, ramai-ramai menutupi diri. Menurut pandangan saya, kan kelihatan agama kok seperti diperalat. Bisa saja agama diperalat karena dengan memakai jilbab untuk memberikan pesan 'saya bertobat', padahal tidak," keluhnya. (Baca juga: Menkes Ungkap Tingkatan kelas Peserta BPJS Dihapus di 2022)
Sekretaris Majelis Pengurus Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Organisasi Wilayah Sulawesi Selatan ini berpandangan, ada sedikitnya tiga alasan kenapa seorang perempuan yang mengenakan jilbab setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi. Pertama, perempuan tersebut ingin menutupi rasa malu sehingga jilbab dianggap menjadi simbol untuk menyampaikan rasa malu tersebut kepada publik.
Indikator pertama disodorkan Farida karena merujuk pada pandangan psikologi hukum dan sejumlah penelitian atau kajian. Penjelasannya, karakter dasar perempuan sebagai sosok yang paling tinggi rasa malunya dan ketakutannya untuk melakukan sesuatu, termasuk kejahatan, dibandingkan laki-laki.
Kedua, jilbab yang dikenakan menjadi pesan kepada publik bahwa perempuan tersangka korupsi berkeinginan akan berubah dan akan menebus segala kesalahannya. Jika pesan seperti ini sungguh-sungguh berasal dari keinginan yang kuat dan tetap konsisten, maka penggunaan jilbab tidak menjadi fenomena negatif dan tidak menimbulkan kesan agama diperalat.
Ketiga, jilbab yang dipakai perempuan tersangka korupsi sebagai bentuk kamuflase untuk menutupi seluruh dugaan perbuatan korupsi di hadapan publik. "Jadi, untuk melindungi dirinya saja dengan menggunakan atribut-atribut itu, kamuflase saja. Itu bisa saja menjadikan jilbab itu sebagai kamuflase untuk menutupi seluruh tingkah lakunya," ujar Farida. (Baca juga: Mau Beli Vaksin Covid via Online? Begini Caranya...)
Di sisi lain, ada fenomena positif jika melihat hubungan antara perempuan pelaku korupsi dengan jilbab. Contoh tersebut diperoleh dari terpidana mantan anggota DPR Angelina Sondakh alias Angie yang konsisten mengenakan jilbab setelah menjadi terpidana dan menjalani masa pidananya di dalam lembaga pemasyarakatan. Bahkan Angie kemudian menghafal beberapa juz Alquran. "Itu fenomena positifnya, bagus. Kita perlu apresiasi juga. Ketika dia salah, dia sadari, kemudian dia berubah, kan itu yang kita harapkan. Kita harapkan dia bisa jadi contoh yang baik di masyarakat dan tidak mengulangi perbuatannya," ucap Farida.
Ada beberapa upaya konkret pencegahan korupsi yang bisa dilakukan agar perempuan secara umum tidak terjebak dan melakukan korupsi. Pertama, dari perspektif keluarga. Seorang ibu harus menanamkan dan melaksanakan nilai-nilai integritas dari dalam keluarga. Sebagai seorang istri, perempuan jangan menjadi pemicu untuk suami melakukan korupsi apalagi sampai istri ikut menjadi aktor di dalamnya. Kedua, tutur Farida, perempuan yang mendapat amanat berupa jabatan atau peran-peran strategis di mana pun, dan level apa pun, harus berhati-hati ketika melakukan sebuah pekerjaan atau mengambil keputusan, konsisten menerapkan asas kehati-hatian dan melaksanakan manajemen antikorupsi.
Desainer sekaligus Chairman Indonesian Fashion Chamber (IFC) Ali Charisma mengajukan penilaian. Secara umum, jika dilihat para pelaku kriminal memang acap mengubah penampilan di hadapan publik sesaat setelah ditangani penegak hukum. Hal ini, tutur Ali, juga berlaku ketika melihat fenomena sejumlah perempuan yang ditetapkan menjadi tersangka dugaan korupsi, kemudian mengenakan jilbab, padahal sebelumnya tidak pernah. Perubahan penampilan seperti itu sebenarnya sangat manusiawi. (Baca juga: Paus Francis Sebut Muslim Uighur Teraniaya, Ini Respons China)
Di sisi lain, Ali menyayangkan jika perempuan yang ditetapkan tersangka dugaan korupsi kemudian tiba-tiba memakai jilbab, padahal sebelumnya tidak. Menurut dia, pemilihan tampilan seorang perempuan tersangka korupsi seperti itu hanyalah perubahan fashion dan tampilan visual. Dia menduga, penggunaan tersebut sebagai kedok untuk menutupi kesalahan yang pernah dilakukan.
"Nah, mungkin jilbab ini juga salah satu alat untuk menutupi ketidakbaikan mereka supaya tidak diketahui. Jadi, enggak ada hubungannya dengan agama. Mungkin secara visual mereka berjilbab itu kan kedok untuk menutupi perilaku mereka, supaya tidak diketahui orang lain. Untuk jilbab ini kelihatannya kan memang instan, citranya itu supaya kelihatan lebih baik dari sebelumnya," kata Ali kepada KORAN SINDO.
Plt Juru Bicara Bidang Pencegahan KPK Ipi Maryati Kuding menyatakan, pada dasarnya pelaku korupsi tidak mengenal gender. Siapa pun bisa berperilaku korup. Korupsi terjadi bukan disebabkan karena pelakunya adalah laki-laki atau perempuan, tetapi lebih disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan demi kepentingan pribadi atau kelompok. (Lihat videonya: Gunung Slamet Dilanda Badai dan Hujan Es)
Selain itu, korupsi juga dikarenakan penegakan hukum yang lemah, rendahnya pendapatan penyelenggara negara, kebiasaan memberi gratifikasi, budaya permisif dan ketiadaan kontrol sosial, serta tidak diterapkannya nilai-nilai agama/etika di masyarakat. (Sabir Laluhu)
Para pelaku korupsi saat menjalani proses penyidikan, penahanan, hingga hukuman kerap tampil religius, baik dari cara berpakaian, cara berucap, hingga memegang tasbih atau rosario. Kesan religius ini bisa jadi merupakan bentuk penyesalan atau pertobatan atas kejahatan yang mereka lakukan. Boleh jadi pula tampilan religius ini untuk menghindari kemarahan atau serangan publik. (Baca: Diam-diam Mendoakan Orang Lain, Salah Satu Sebab Terkabulnya Doa)
Perilaku religius ini sering juga berbeda sembilan puluh derajat jika dibandingkan dengan penampilan mereka saat sebelum mereka tertangkap. Perubahan perilaku dan tampilan ini secara kasatmata lebih mudah kita lihat pada pelaku tindak pidana korupsi yang kebetulan berkelamin perempuan. Perempuan yang ditetapkan menjadi tersangka dugaan korupsi kemudian mengenakan jilbab atau kerudung. Padahal, sebelum menjadi tersangka tak pernah demikian. Ada yang berpenampilan terbuka, bahkan memamerkan gaya hidup mewah di media sosial tanpa beban.
Komodifikasi agama dengan penggunaan jilbab oleh perempuan tersangka jelas menjadi perhatian dan pertanyaan banyak kalangan. Apakah sekadar gaya visual atau memang bentuk perwujudan nyata kesalehan?
Terdakwa perkara suap mantan Kepala Subbagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Kejaksaan Agung Jaksa Pinangki Sirna Malasari adalah contoh gres. Pinangki tampil pertama kali mengenakan jilbab di hadapan publik saat akan diperiksa sebagai tersangka oleh penyidik Kejaksaan Agung pada Rabu, 9 September 2020 pagi.
Tampilan Pinangki mengejutkan karena saat pemeriksaan sebelumnya dia tak pernah mengenakan jilbab. Berikutnya Pinangki kemudian memadukan jilbab dengan gamis dan masih bertahan hingga kini, saat menjalani persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. (Baca juga: Ingat! Batas Usia Maksimal Pendaftar PPPK Guru)
Sejak pertama kali mengenakan jilbab hingga menjalani persidangan, Pinangki tak pernah mau mengungkap alasan dan tujuan memakai jilbab, meski sudah dicecar berkali-kali oleh para jurnalis. KORAN SINDO telah menitipkan beberapa pertanyaan untuk Pinangki melalui kuasa/penasihat hukumnya. Hingga Senin (23/11), Pinangki belum mau memberikan tanggapan.
Sebelumnya Jefri Moses Kam, kuasa hukum Pinangki, menyatakan, secara psikologis kliennya telah berangsur membaik hingga pemeriksaan kelima sebagai tersangka di Kejaksaan Agung (Kejagung). Pemeriksaan kelima berlangsung pada Senin (14/9). Jefri mengungkapkan, Pinangki mengenakan jilbab karena Pinangki telah memperbanyak ibadah saat ditahan di Rutan Salemba, Jakarta Pusat, Cabang Kejagung yang berada di Kompleks Kejagung. "Jadi, dia (Pinangki) juga kalau menurut cerita, dia di dalam, di 7A sana (rutan), ya memperbanyak ibadah. Masalah tobat, kita tidak bisa komentari ya," ujar Jefri di di Gedung Bundar Kejagung, Senin (14/11).
Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar Farida Patittingi menilai, hakikatnya pelaku kejahatan dalam bentuk apa pun, termasuk korupsi , tidak mengenal gender. Jelas, selama ini pelaku korupsi terdiri atas pelaku laki-laki maupun perempuan. Jika melihat data pelaku korupsi yang dilansir berbagai pihak, tampak bahwa pelaku korupsi paling banyak sebenarnya berjenis kelamin laki-laki. (Baca juga: Ini Masa Paling Menular dari Virus Corona Covid-19)
Di sisi lain, dalam beberapa tahun terakhir memang jumlah perempuan pelaku korupsi sepertinya cenderung meningkat. "Nah, akhir-akhir ini kan sudah banyak perempuan yang menduduki jabatan atau menempati tempat-tempat yang kemudian memungkinkan untuk melakukan perbuatan korupsi. Ada jabatan politik, jabatan publik, atau jabatan strategis dengan peran-peran strategis. Secara keseluruhan tentu saya prihatin ya ada perempuan melakukan korupsi," katanya saat berbincang dengan KORAN SINDO.
Farida menjelaskan, dalam konteks perempuan sebagai pelaku korupsi tampak jelas juga ada fenomena yang masih terus terjadi, yakni ketika ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi, kemudian perempuan tersebut mengenakan jilbab. Padahal sebelum menjadi tersangka perempuan tersebut tidak memakai jilbab, bahkan ada yang berpenampilan terbuka dan minim.
Fenomena tersebut dapat dilihat oleh masyarakat luas secara kasatmata melalui pemberitaan media massa, terutama televisi. "Ketika dia (perempuan) melakukan itu, tertangkap, dan terbukti, akhirnya dia kemudian beralih pakai jilbab, ramai-ramai menutupi diri. Menurut pandangan saya, kan kelihatan agama kok seperti diperalat. Bisa saja agama diperalat karena dengan memakai jilbab untuk memberikan pesan 'saya bertobat', padahal tidak," keluhnya. (Baca juga: Menkes Ungkap Tingkatan kelas Peserta BPJS Dihapus di 2022)
Sekretaris Majelis Pengurus Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Organisasi Wilayah Sulawesi Selatan ini berpandangan, ada sedikitnya tiga alasan kenapa seorang perempuan yang mengenakan jilbab setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi. Pertama, perempuan tersebut ingin menutupi rasa malu sehingga jilbab dianggap menjadi simbol untuk menyampaikan rasa malu tersebut kepada publik.
Indikator pertama disodorkan Farida karena merujuk pada pandangan psikologi hukum dan sejumlah penelitian atau kajian. Penjelasannya, karakter dasar perempuan sebagai sosok yang paling tinggi rasa malunya dan ketakutannya untuk melakukan sesuatu, termasuk kejahatan, dibandingkan laki-laki.
Kedua, jilbab yang dikenakan menjadi pesan kepada publik bahwa perempuan tersangka korupsi berkeinginan akan berubah dan akan menebus segala kesalahannya. Jika pesan seperti ini sungguh-sungguh berasal dari keinginan yang kuat dan tetap konsisten, maka penggunaan jilbab tidak menjadi fenomena negatif dan tidak menimbulkan kesan agama diperalat.
Ketiga, jilbab yang dipakai perempuan tersangka korupsi sebagai bentuk kamuflase untuk menutupi seluruh dugaan perbuatan korupsi di hadapan publik. "Jadi, untuk melindungi dirinya saja dengan menggunakan atribut-atribut itu, kamuflase saja. Itu bisa saja menjadikan jilbab itu sebagai kamuflase untuk menutupi seluruh tingkah lakunya," ujar Farida. (Baca juga: Mau Beli Vaksin Covid via Online? Begini Caranya...)
Di sisi lain, ada fenomena positif jika melihat hubungan antara perempuan pelaku korupsi dengan jilbab. Contoh tersebut diperoleh dari terpidana mantan anggota DPR Angelina Sondakh alias Angie yang konsisten mengenakan jilbab setelah menjadi terpidana dan menjalani masa pidananya di dalam lembaga pemasyarakatan. Bahkan Angie kemudian menghafal beberapa juz Alquran. "Itu fenomena positifnya, bagus. Kita perlu apresiasi juga. Ketika dia salah, dia sadari, kemudian dia berubah, kan itu yang kita harapkan. Kita harapkan dia bisa jadi contoh yang baik di masyarakat dan tidak mengulangi perbuatannya," ucap Farida.
Ada beberapa upaya konkret pencegahan korupsi yang bisa dilakukan agar perempuan secara umum tidak terjebak dan melakukan korupsi. Pertama, dari perspektif keluarga. Seorang ibu harus menanamkan dan melaksanakan nilai-nilai integritas dari dalam keluarga. Sebagai seorang istri, perempuan jangan menjadi pemicu untuk suami melakukan korupsi apalagi sampai istri ikut menjadi aktor di dalamnya. Kedua, tutur Farida, perempuan yang mendapat amanat berupa jabatan atau peran-peran strategis di mana pun, dan level apa pun, harus berhati-hati ketika melakukan sebuah pekerjaan atau mengambil keputusan, konsisten menerapkan asas kehati-hatian dan melaksanakan manajemen antikorupsi.
Desainer sekaligus Chairman Indonesian Fashion Chamber (IFC) Ali Charisma mengajukan penilaian. Secara umum, jika dilihat para pelaku kriminal memang acap mengubah penampilan di hadapan publik sesaat setelah ditangani penegak hukum. Hal ini, tutur Ali, juga berlaku ketika melihat fenomena sejumlah perempuan yang ditetapkan menjadi tersangka dugaan korupsi, kemudian mengenakan jilbab, padahal sebelumnya tidak pernah. Perubahan penampilan seperti itu sebenarnya sangat manusiawi. (Baca juga: Paus Francis Sebut Muslim Uighur Teraniaya, Ini Respons China)
Di sisi lain, Ali menyayangkan jika perempuan yang ditetapkan tersangka dugaan korupsi kemudian tiba-tiba memakai jilbab, padahal sebelumnya tidak. Menurut dia, pemilihan tampilan seorang perempuan tersangka korupsi seperti itu hanyalah perubahan fashion dan tampilan visual. Dia menduga, penggunaan tersebut sebagai kedok untuk menutupi kesalahan yang pernah dilakukan.
"Nah, mungkin jilbab ini juga salah satu alat untuk menutupi ketidakbaikan mereka supaya tidak diketahui. Jadi, enggak ada hubungannya dengan agama. Mungkin secara visual mereka berjilbab itu kan kedok untuk menutupi perilaku mereka, supaya tidak diketahui orang lain. Untuk jilbab ini kelihatannya kan memang instan, citranya itu supaya kelihatan lebih baik dari sebelumnya," kata Ali kepada KORAN SINDO.
Plt Juru Bicara Bidang Pencegahan KPK Ipi Maryati Kuding menyatakan, pada dasarnya pelaku korupsi tidak mengenal gender. Siapa pun bisa berperilaku korup. Korupsi terjadi bukan disebabkan karena pelakunya adalah laki-laki atau perempuan, tetapi lebih disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan demi kepentingan pribadi atau kelompok. (Lihat videonya: Gunung Slamet Dilanda Badai dan Hujan Es)
Selain itu, korupsi juga dikarenakan penegakan hukum yang lemah, rendahnya pendapatan penyelenggara negara, kebiasaan memberi gratifikasi, budaya permisif dan ketiadaan kontrol sosial, serta tidak diterapkannya nilai-nilai agama/etika di masyarakat. (Sabir Laluhu)
(ysw)