Guru, Kodrat Anak, dan Merdeka Belajar

Rabu, 25 November 2020 - 05:10 WIB
Anak yang lahir sudah memiliki talenta, hanya tinggal menemukan dan mengasahnya. Tidak mudah, memang, tetapi ini harus. Kondisi pemaksaan ini menimbulkan tekanan pada diri siswa. Ia tidak merdeka dalam belajar.

Tidak hanya guru yang harus mengenal talenta siswa. Orang tua menjadi guru pertama yang mengenal jati diri sang anak. Mengutip kisah Thomas Alfa Edison (sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id, 12/4/2007) yang hanya betah sekolah formal selama tiga bulan. Sang ibu menyadari talenta Tommy (panggilan Thomas) di bidang sains. Ia memberi ruang kepada sang anak untuk melakukan beragam percobaan. Tommy merdeka dalam belajar. Ia bebas bereksperimen berdasarkan sumber-sumber buku yang dibacanya. Ibunya mendukung dengan mendirikan laboratorium sederhana di rumah hingga akhirnya Tommy lahir menjadi ilmuwan besar—penemu lampu pijar.

Dari kisah Tommy ada beberapa hal yang menjadi perhatian untuk mewujudkan merdeka belajar. Pertama, membangun kesadaran akan adanya kodrat anak. Baik guru maupun orang tua harus menyadari bahwa setiap anak unik. Mereka berkembang sesuai dengan tahapannya masing-masing. Namun, sebagai sebuah sistem, pendidikan tetap dibutuhkan untuk menetapkan standar minimal yang harus dicapai. Generasi muda masa kini identik dengan pencarian, pembuktian, dan rasa ingin tahu yang besar. Mereka tidak bisa selalu didikte. Bimbingan, mungkin itu kata yang paling tepat dalam proses pedagogi untuk menumbuhkembangkan potensi diri.

Kedua, merdeka belajar dapat diwujudkan dengan adanya lingkungan yang mendukung. Lingkungan dimaksud bukan hanya sarana yang tersedia di sekolah, tetapi iklim pendidikan yang bersifat open minded juga dibutuhkan. Iklim yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk berinovasi. Iklim seperti itu bisa ditumbuhkan manakala guru memiliki kesadaran. Guru tetaplah seorang mentor, tetapi dalam beberapa hal ia bisa menjadi teman diskusi. Guru memiliki otoritas di dalam kelas, tetapi juga mestinya mampu menjadi sosok yang peduli dan mengenali dengan baik jiwa anak-anak didiknya.

Kembali ke cerita film 3 Idiots. Raju sebenarnya anak yang pandai, tetapi hidup dalam ketakutan. Ketakutannya muncul dari keluarga. Ia menjadi tulang punggung keluarganya yang hidup dalam kemiskinan. Ditambah lagi, di kampus, ia harus bersaing mengejar nilai. Sistem pendidikan yang baik seharusnya mengutamakan proses, nilai adalah muaranya. Ketakutan itu menjadikan ia sebagai mahasiswa penghafal tanpa memahami kebermanfaatan ilmu yang dipelajari.

Jika ini terjadi pada sekolah, yang dihasilkan bukanlah siswa, melainkan mesin. Kehadiran Ranco membuat rasa percaya diri Raju bertumbuh. Sejatinya, Ranco tidak hanya menjadi teman, melainkan guru. Farhan pun dikuatkan agar berani mengungkapkan obsesinya menjadi fotografer kepada sang ayah. Di akhir cerita, mereka berhasil memerdekakan diri meraih cita-cita.

Di sekolah, guru tidak hanya menyebar pengetahuan, tetapi membangun kepribadian. Keberanian menjadi penting bagi siswa dalam mengembangkan potensi dirinya. Di pundak guru sejatinya terpikul “beban” yang tak akan pernah habis. Pendidikan selalu ada dalam membangun peradaban. Mari bersama memikul “beban” ini agar anak dapat tumbuh sesuai kodratnya dan merdeka dalam pembelajaran. Selamat Hari Guru!
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
(bmm)
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More