Perkuat Sikap Toleransi lewat Pendekatan Sosial Budaya
Jum'at, 20 November 2020 - 10:20 WIB
Menurut dia, jika metode yang digunakan seperti Penataran P-4 menurutnya tidak akan signifikan. Apalagi dia menyampaikan bahwa Rohis (Rohani Islam) di sekolah itu sudah menjadi kekuatan tersendiri.
Padahal pembinaan pendidikan agama Islam itu lebih baik di lakukan oleh guru agama, bukan malah dilakukan oleh seniornya atau mahasiswa yang pernah mengenyam pendidikan di sekolah tersebut..
”Kalau misalkan untuk mengurangi kebosanan karena pelajaran agama juga ketemu guru agama maka bisa mendatangkan ustaz-ustaz yang paham kebangsaannya yang tinggi. Jangan diserahkan kepada mahasiswa atau seniornnya,” tuturnya.
Dia mengakui tidak mudah untuk mengikis "virus" intoleransi yang ada di lingkungan sekolah saat ini karena penyebarannya sudah sistematis. Hal ini dikarenakan guru-gurunya rata-rata juga sudah terkontaminasi. Yang mana hal ini tentunya sangat berbeda dengan di jaman sebekum tahun 90-an yang mana guru-guru itu relatif belum terkontaminasi oleh berbagai aliran.
“Karena waktu kuliah saat itu juga mereka mungkin tidak terlalu aktif di organisasi, jadi relatif mereka nggak terkontaminasi. Sehingga ketika mengajar pun mereka tidak mengajarkan ideologi. Tetapi pasca reformasi, organisasi-organisasi seperti HTI itu sangat marak di kampus-kampus. Nah lalu di tingkat SMA juga organisasi seperti Rohis itu sangat berkembang sejak awal tahun 90-an lah. Jadi seperti ada pembiaran,” ujarnya
Akibatnya menurutnya seperti terjadi 'pembiaran' itulah maka pengkaderisasiannya bigitu capat dan seperti sudah beranak pinak yang berakibat intoleransi itu muncul di lingkungan sekolah. “Kalau sudah beranak pinak seperti itu tentunya cukup susah. Jadi guru-gurunya sudah terkontaminasi, murid-muridnya yang mengikuti Rohis juga sudah beranak-pinak, sehingga setelah kuantitatif itu jumlahnya menjadi besar. Jadi perlu penekatan lain seperti pendidikan sosoal, seni dan budaya itu untuk memutus intoleransi tersebut,” ujanrya.
Anggota Dewan Penasihat Center for The betterment of Education (CBE) ini juga berpesan agar jangan sampai penanaman ideologi menjadi doktriner. Karena kalau metode doktriner, itu pastinya jelas menimbulkan resistensi.
Menurut dia, metodenya yang harus diubah, seperti seni dan budaya itu pesan-pesan ideologinya akan bisa disampaikan, tanpa tarasa doktriner.
”Pemerintah harus punya sikap tegas terhadap pendidik atau kepala sekolah atau pejabat publik yang bersikap intoleran. Itu harus dicegah, apalagi guru, Kepala Sekolah yang seharusnya mengajarkan toleransi kepada muridnya. Kok malah dia menanamkan benih-benih intoleran, harus dicopot itu,” ujarnya.
Padahal pembinaan pendidikan agama Islam itu lebih baik di lakukan oleh guru agama, bukan malah dilakukan oleh seniornya atau mahasiswa yang pernah mengenyam pendidikan di sekolah tersebut..
”Kalau misalkan untuk mengurangi kebosanan karena pelajaran agama juga ketemu guru agama maka bisa mendatangkan ustaz-ustaz yang paham kebangsaannya yang tinggi. Jangan diserahkan kepada mahasiswa atau seniornnya,” tuturnya.
Dia mengakui tidak mudah untuk mengikis "virus" intoleransi yang ada di lingkungan sekolah saat ini karena penyebarannya sudah sistematis. Hal ini dikarenakan guru-gurunya rata-rata juga sudah terkontaminasi. Yang mana hal ini tentunya sangat berbeda dengan di jaman sebekum tahun 90-an yang mana guru-guru itu relatif belum terkontaminasi oleh berbagai aliran.
“Karena waktu kuliah saat itu juga mereka mungkin tidak terlalu aktif di organisasi, jadi relatif mereka nggak terkontaminasi. Sehingga ketika mengajar pun mereka tidak mengajarkan ideologi. Tetapi pasca reformasi, organisasi-organisasi seperti HTI itu sangat marak di kampus-kampus. Nah lalu di tingkat SMA juga organisasi seperti Rohis itu sangat berkembang sejak awal tahun 90-an lah. Jadi seperti ada pembiaran,” ujarnya
Akibatnya menurutnya seperti terjadi 'pembiaran' itulah maka pengkaderisasiannya bigitu capat dan seperti sudah beranak pinak yang berakibat intoleransi itu muncul di lingkungan sekolah. “Kalau sudah beranak pinak seperti itu tentunya cukup susah. Jadi guru-gurunya sudah terkontaminasi, murid-muridnya yang mengikuti Rohis juga sudah beranak-pinak, sehingga setelah kuantitatif itu jumlahnya menjadi besar. Jadi perlu penekatan lain seperti pendidikan sosoal, seni dan budaya itu untuk memutus intoleransi tersebut,” ujanrya.
Anggota Dewan Penasihat Center for The betterment of Education (CBE) ini juga berpesan agar jangan sampai penanaman ideologi menjadi doktriner. Karena kalau metode doktriner, itu pastinya jelas menimbulkan resistensi.
Menurut dia, metodenya yang harus diubah, seperti seni dan budaya itu pesan-pesan ideologinya akan bisa disampaikan, tanpa tarasa doktriner.
”Pemerintah harus punya sikap tegas terhadap pendidik atau kepala sekolah atau pejabat publik yang bersikap intoleran. Itu harus dicegah, apalagi guru, Kepala Sekolah yang seharusnya mengajarkan toleransi kepada muridnya. Kok malah dia menanamkan benih-benih intoleran, harus dicopot itu,” ujarnya.
(dam)
tulis komentar anda