Mereformasi Parpol, Memperbaiki Kinerja Parlemen

Jum'at, 20 November 2020 - 05:12 WIB
Sikap berbeda pendapat dengan kebijakan nasional partai akan berakibat pada pemanggilan anggota Dewan oleh fraksinya, bahkan bisa berakhir dengan pemecatan. Menurut Nurliah Nurdin (2012), kelemahan dari sistem ini adalah kurangnya akses rakyat sebagai pemegang kedaulatan untuk memengaruhi proses perumusan kebijakan di parlemen yang pada akhirnya banyak menimbulkan gejolak ketika kebijakan tersebut dilaksanakan.

Di Amerika, anggota kongres dan senat diberi otonomi yang besar oleh partai sehingga memiliki kebebasan dan kemerdekaan untuk membuat kebijakan yang sesuai dengan aspirasi konstituennya. Anggota parlemen tidak terlalu terikat dan bahkan bisa mengabaikan kebijakan partai jika hal tersebut dianggap bertentangan dengan tuntutan dan kepentingan masyarakat luas. Selain itu mereka juga tidak harus selalu mendukung apa saja yang menjadi kebijakan presiden sekalipun ia berasal dari partai yang sama.

Ketika Presiden George W Bush mengusulkan kebijakan Social Security misalnya, usulan ini ditolak oleh Kongres dan tidak dibahas lagi. Sebagian dari anggota House yang menolak justru berasal dari partai yang sama dengan Bush. Demikian halnya pada masa kepemimpinan Presiden Barack Obama. Meskipun ia berasal dari Partai Demokrat dan mayoritas Kongres adalah Demokrat, 43 anggota House dari Partai Demokrat ikut menolak proposal Health Care Reform yang diusung oleh Presiden. Salah satu alasan dari penolakan tersebut karena kebijakan yang diusulkan Presiden ditentang oleh konstituennya.

Oleh karena itu sudah selayaknya di Indonesia, otonomi anggota dan fraksi dalam membuat keputusan di parlemen berdasarkan kehendak konstituen juga harus diberikan sebagai syarat agar DPR lebih responsif terhadap tuntutan dan aspirasi masyarakat dan tidak hanya selalu mengekor dengan apa yang menjadi keputusan partai, apalagi kemudian hanya menjadi stempel kebijakan pemerintah (presiden). Ketika DPR tidak independen dan sepenuhnya dikontrol parpol, yang diperjuangkan bukan lagi kepentingan masyarakat luas, tetapi hanya kepentingan kelompoknya semata.

Jalan Keluar

Tanpa adanya independensi dan otonomi, sampai kapan pun DPR tidak mungkin diharapkan akan mampu memperjuangkan aspirasi rakyat karena ia berada dalam kendali ketua umum partainya. Padahal dalam negara demokrasi, DPR adalah lembaga vital dalam mengawal tegaknya demokrasi yang salah satu fungsinya adalah melakukan pengawasan terhadap eksekutif. Dengan kondisi seperti saat ini, mustahil anggota DPR akan bersikap kritis dan menjadi pengontrol kekuasaan eksekutif ketika setiap sikap kritis dapat dibungkam dengan ancaman recall oleh partainya.

Dengan posisi DPR yang tersubordinasi kekuasaan partai, presiden tidak perlu mengendalikan parlemen untuk mendukung kebijakannya, tetapi cukup melobi ketua umum parpol yang jumlahnya hanya segentir orang. Kondisi ini harus segera diakhiri, sebab DPR adalah lembaga publik yang tidak boleh kalah dengan kekuasaan parpol yang notabene adalah organisasi privat.

Salah satu cara yang bisa ditawarkan untuk keluar dari kemelut ini adalah dengan merevisi aturan tentang pergantian antarwaktu (recall) bagi anggota DPR. Selain karena alasan meninggal dunia dan mengundurkan diri, pemecatan terhadap anggota DPR harus karena pelanggaran hukum yang dibuktikan dengan putusan pengadilan. Parpol jangan lagi diberi ruang dan kebebasan untuk sewaktu-waktu mengganti anggota yang sedang menjabat sebagai anggota DPR dengan alasan yang bersangkutan telah dipecat sebagai anggota parpol dengan alasan yang sangat subjektif seperti karena anggota tersebut dinilai tidak sejalan atau berseberangan dengan kebijakan parpol.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
(bmm)
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More