PPP Pastikan Minol untuk Ritual Budaya dan Keagamaan Dikecualikan
Rabu, 18 November 2020 - 14:51 WIB
JAKARTA - Usulan Rancangan Undang-Undang tentang Larangan Minuman Beralkohol ( RUU Minol ) mendapatkan penolakan dari sejumlah fraksi dan publik dengan alasan untuk sejumlah ritual kebudayaan dan keagamaan memerlukan minol. Namun, Fraksi PPP memastikan bahwa ketentuan untuk ritual budaya dan agama akan dikecualikan.
“Kami sampaikan memang memahami bahwa keragaman budaya, keragaman masyarakat di Indonesia ada. Termasuk nilai-nilai adiluhung yang ada sejak turun temurun itu ada kita harus akui itu. Maka kemudian ketika terdapat sebuah pengaturan yang bersinggungan dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat maka kita menyesuaikan tentu dengan batasan tertentu,” ujar Sekretaris Fraksi PPP DPR Achmad Baidowi webinar yang bertajuk “Urgensi Lahirnya RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol” di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (18/11/2020). (Baca juga: Suara Minor Fraksi PDIP dan Golkar terhadap RUU Minol)
Awiek mencontohkan, di daerah Indonesia Timur ada anggota asal sana yang menyampaikan bahwa minum itu bagian dari adat istiadat tapi hari ini adat istiadat itu berkurang dan lebih banyak menjadi kebutuhan konsumitf dan gaya. Sementara dulu, orang minum itu bagian dari adat dan sekadarnya saja, tidak sampai mabuk. Tapi saat ini banyak yang meminum minol hingga mabuk dan mengganggu ketertiban umum.
“Apakah atas nama adat yang begitu ditoleransi kan tidak. Tentu yang dimaksud kategori ada, ritual, keagamaan pengecualian itu tentu ada ukurannya. Sampai sejauh mana dia menggunakan adat itu ditoleransi. Jangan sampai dia bermabuk2an atas nama adat ditoleransi, kan tidak juga,” terangnya.
Karena itu, Awiek menyimpulkan bahwa peminum alkohol itu bukan sekadar ritual adat saja tapi sudah sampai memabukkan dan mengganggu. Maka, pengecualian itu untuk ritual keagamaan, adat, farmasi, wisata, termasuk juga ekspor, tetap ada batasan yang diatur sesuai dengan sejumlah ketentuan yang berlaku.
Hanya saja, sambung Wakil Ketua Baleg DPR ini, saat disebut judulnya larangan banyak yang terjebak pada judul. Ada yang menganggap bahwa larangan itu tidak lazim menjadi sebuah judul, lazimnya pasal atau ayat. Tetapi, ada juga undang-undang yang memakai kata larangan yakni, UU Larangan Praktik Monopoli.
“Tapi it's okay lay nanti kita bisa berdiskusi lebih lanjut. Yang ingin kita katakan bahwa, dengan pengaturan ini kita ingin lindungi generasi muda. Sudah banyak data-data yang menunjukkan bahwa ada korelasi pengaruh minuman beralkohol dengan tingkat kejahatan, sangat banyak. Di kepolisian banyak datanya tadi Bu Fahira dari Gerakan Nasional Anti Miras, itu kan fakta di lapangan yang engak bisa kita pungkiri,” beber Awiek. (Baca juga: PPP Siap Hilangkan ”Larangan” dalam Judul RUU Minol)
“Kalau kemudian ini kan nanti membatasi produksi, yang menghalangi itu siapa, toh masih ada pengecualian-pengecualian yang diperbolehkan. Tetapi kita minta ada pengaturan setingkat undang-undang karena saat ini aturan-aturan yang berserak-serak tak efektif. Daya itunya tidak berlaku secara nasional dan tidak kuat. Bahkan di Papua ada perda yang melarang tentang miras,” sambungnya.
“Kami sampaikan memang memahami bahwa keragaman budaya, keragaman masyarakat di Indonesia ada. Termasuk nilai-nilai adiluhung yang ada sejak turun temurun itu ada kita harus akui itu. Maka kemudian ketika terdapat sebuah pengaturan yang bersinggungan dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat maka kita menyesuaikan tentu dengan batasan tertentu,” ujar Sekretaris Fraksi PPP DPR Achmad Baidowi webinar yang bertajuk “Urgensi Lahirnya RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol” di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (18/11/2020). (Baca juga: Suara Minor Fraksi PDIP dan Golkar terhadap RUU Minol)
Awiek mencontohkan, di daerah Indonesia Timur ada anggota asal sana yang menyampaikan bahwa minum itu bagian dari adat istiadat tapi hari ini adat istiadat itu berkurang dan lebih banyak menjadi kebutuhan konsumitf dan gaya. Sementara dulu, orang minum itu bagian dari adat dan sekadarnya saja, tidak sampai mabuk. Tapi saat ini banyak yang meminum minol hingga mabuk dan mengganggu ketertiban umum.
“Apakah atas nama adat yang begitu ditoleransi kan tidak. Tentu yang dimaksud kategori ada, ritual, keagamaan pengecualian itu tentu ada ukurannya. Sampai sejauh mana dia menggunakan adat itu ditoleransi. Jangan sampai dia bermabuk2an atas nama adat ditoleransi, kan tidak juga,” terangnya.
Karena itu, Awiek menyimpulkan bahwa peminum alkohol itu bukan sekadar ritual adat saja tapi sudah sampai memabukkan dan mengganggu. Maka, pengecualian itu untuk ritual keagamaan, adat, farmasi, wisata, termasuk juga ekspor, tetap ada batasan yang diatur sesuai dengan sejumlah ketentuan yang berlaku.
Hanya saja, sambung Wakil Ketua Baleg DPR ini, saat disebut judulnya larangan banyak yang terjebak pada judul. Ada yang menganggap bahwa larangan itu tidak lazim menjadi sebuah judul, lazimnya pasal atau ayat. Tetapi, ada juga undang-undang yang memakai kata larangan yakni, UU Larangan Praktik Monopoli.
“Tapi it's okay lay nanti kita bisa berdiskusi lebih lanjut. Yang ingin kita katakan bahwa, dengan pengaturan ini kita ingin lindungi generasi muda. Sudah banyak data-data yang menunjukkan bahwa ada korelasi pengaruh minuman beralkohol dengan tingkat kejahatan, sangat banyak. Di kepolisian banyak datanya tadi Bu Fahira dari Gerakan Nasional Anti Miras, itu kan fakta di lapangan yang engak bisa kita pungkiri,” beber Awiek. (Baca juga: PPP Siap Hilangkan ”Larangan” dalam Judul RUU Minol)
“Kalau kemudian ini kan nanti membatasi produksi, yang menghalangi itu siapa, toh masih ada pengecualian-pengecualian yang diperbolehkan. Tetapi kita minta ada pengaturan setingkat undang-undang karena saat ini aturan-aturan yang berserak-serak tak efektif. Daya itunya tidak berlaku secara nasional dan tidak kuat. Bahkan di Papua ada perda yang melarang tentang miras,” sambungnya.
(kri)
tulis komentar anda