Peta Dagang AS-RI setelah Biden Terpilih
Rabu, 11 November 2020 - 05:30 WIB
SETELAH melalui pertarungan yang sangat ketat, akhirnya Joe Biden keluar sebagai pemenang dalam Pemilihan Presiden Amerika Serikat (AS). Kemenangan Joe Biden dari Partai Demokrat memunculkan sejumlah analisis soal akan mengarah ke mana kebijakan luar negeri AS, terutama terkait dengan bidang ekonomi. Sebuah pertanyaan penting, apakah kebijakan wakil presiden di era pemerintahan Presiden Barack Obama itu bakal berdampak positif terhadap perekonomian Indonesia? Kalangan analis seperti satu kata bahwa tergusurnya Donald Trump bakal memberi harapan meredanya perang dagang AS-China. Sebagai konsekuensinya, pemilik pabrik-pabrik di China terutama dari AS yang semula sudah bersiap relokasi ke berbagai negara tak terkecuali ke Indonesia bakal mengurungkan rencananya.
Sebenarnya langkah kebijakan ekonomi Joe Biden setelah menang pemilihan presiden (pilpres) sudah bisa diraba dengan menyimpulkan apa yang diungkapkannya selama masa kampanye. Pertama, perjanjian perdagangan cenderung pada perjanjian kerja sama regional. Artinya Biden bakal membatasi kerja sama perdagangan yang bersifat bilateral. Kedua, perang dagang antara AS dan China diprediksi tetap berlanjut. Tinggal menunggu apakah tensi perang semakin meningkat atau sebaliknya. Ketiga, Buy American Plan adalah sebuah program guna menaikkan standar local content yang saat ini sekitar 51% untuk produk made in America.
Program Buy American Plan dari Biden selalu dilontarkan dalam setiap kampanye pilpres. Program tersebut mencakup pengadaan infrastruktur dengan menggunakan produk AS yang diproduksi di dalam negeri. Pemerintah juga menganggarkan USD400 miliar untuk membeli barang-barang yang diproduksi AS dan menyiapkan dana pengembangan teknologi sebesar USD300 miliar. Keempat, mengenai energi bersih dijalankan dengan mengedepankan energi yang ramah lingkungan. Dengan program energi bersih, AS bakal bergabung kembali ke dalam Paris Agreement. Kelima, pajak perusahaan akan ditingkatkan dari 21% menjadi 28%. Sebaliknya perusahaan yang ada di luar AS mendapat penurunan minimum pajak. Dari lima program tersebut sudah bisa diprediksi bagaimana dampak kebijakan Biden terhadap dunia internasional.
Meski telah berganti pucuk pimpinan di negara adidaya ekonomi itu, pihak Indonesia tidak perlu terlalu mengkhawatirkan bagaimana hubungan ekonomi (dagang) ke depan. Pasalnya Pemerintah Indonesia telah mengantongi perpanjangan fasilitas bea masuk terhadap produk impor (generalized system of preferences/GSP) dari Pemerintah AS. Perlu dicatat, Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia yang diberi fasilitas penunjang volume perdagangan antarkedua negara. Ke depan pasca-perpanjangan GSP, pihak Indonesia berencana menaikkan status perdagangan dengan AS menjadi limited trade deal (LTD) guna mendongkrak nilai perdagangan hingga mencapai USD60 miliar pada 2024.
Namun ada pertanyaan menggelitik bagaimana nasib kesepakatan GSP setelah Joe Biden menggantikan Donald Trump sebagai presiden AS? Tak perlu dikhawatirkan karena GSP sudah diteken. Hanya saja, sebagaimana diungkapkan ekonom Universitas Indonesia (UI), Fithra Faisal Hastiadi, pemerintah harus bersiap memulai kembali pembahasan kerja sama dengan Pemerintah AS di bawah kepemimpinan Biden dari awal. Jadi jauh dari kemungkinan fasilitas GSP dibatalkan. Persoalannya, bagaimana pihak Indonesia memaksimalkan fasilitas dagang itu, yakni memanfaatkan sebaik-baiknya guna mendongkrak kinerja ekspor.
Perpanjangan fasilitas GSP melalui United States Trade Representative (USTR) selain menunjukkan komitmen AS menjadikan Indonesia sebagai mitra dagang strategis di Asia Pasifik, juga sebagai langkah AS untuk meredam dominasi China di tingkat regional. Karena itu Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menekankan perluasan pangsa pasar untuk produk yang mendapatkan fasilitas GSP. Adapun produk ekspor yang mendapat fasilitas GSP mencapai USD2,6 miliar pada 2019 atau naik sebesar 18,2% bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Penggunaan fasilitas GSP diperkirakan menghemat bea masuk produk Indonesia ke AS sebesar USD 92 juta dan tercatat menyumbang 13,1% dari total ekspor Indonesia ke Negeri Paman Sam sebesar USD20,1 miliar atau negara pengguna fasilitas GSP terbesar setelah Thailand.
Dengan diperpanjangnya fasilitas GSP, artinya kini bola di tangan Indonesia. Persoalannya, bagaimana memaksimalkan penggunaan fasilitas dagang tersebut. Berbagai peluang dagang terbuka lebar. Setidaknya Indonesia berpotensi meningkatkan pangsa pasar bagi produk-produk sejenis yang selama ini diisi Thailand. Jadi tidak perlu khawatir pergantian kepemimpinan di AS bakal mengubah pola hubungan dagang Indonesia-AS. Tanpa pergantian presiden AS, peta perekonomian global telah bergeser sehingga harus diantisipasi sedini mungkin sebagai dampak dari pandemi korona (Covid-19). (*)
Sebenarnya langkah kebijakan ekonomi Joe Biden setelah menang pemilihan presiden (pilpres) sudah bisa diraba dengan menyimpulkan apa yang diungkapkannya selama masa kampanye. Pertama, perjanjian perdagangan cenderung pada perjanjian kerja sama regional. Artinya Biden bakal membatasi kerja sama perdagangan yang bersifat bilateral. Kedua, perang dagang antara AS dan China diprediksi tetap berlanjut. Tinggal menunggu apakah tensi perang semakin meningkat atau sebaliknya. Ketiga, Buy American Plan adalah sebuah program guna menaikkan standar local content yang saat ini sekitar 51% untuk produk made in America.
Program Buy American Plan dari Biden selalu dilontarkan dalam setiap kampanye pilpres. Program tersebut mencakup pengadaan infrastruktur dengan menggunakan produk AS yang diproduksi di dalam negeri. Pemerintah juga menganggarkan USD400 miliar untuk membeli barang-barang yang diproduksi AS dan menyiapkan dana pengembangan teknologi sebesar USD300 miliar. Keempat, mengenai energi bersih dijalankan dengan mengedepankan energi yang ramah lingkungan. Dengan program energi bersih, AS bakal bergabung kembali ke dalam Paris Agreement. Kelima, pajak perusahaan akan ditingkatkan dari 21% menjadi 28%. Sebaliknya perusahaan yang ada di luar AS mendapat penurunan minimum pajak. Dari lima program tersebut sudah bisa diprediksi bagaimana dampak kebijakan Biden terhadap dunia internasional.
Meski telah berganti pucuk pimpinan di negara adidaya ekonomi itu, pihak Indonesia tidak perlu terlalu mengkhawatirkan bagaimana hubungan ekonomi (dagang) ke depan. Pasalnya Pemerintah Indonesia telah mengantongi perpanjangan fasilitas bea masuk terhadap produk impor (generalized system of preferences/GSP) dari Pemerintah AS. Perlu dicatat, Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia yang diberi fasilitas penunjang volume perdagangan antarkedua negara. Ke depan pasca-perpanjangan GSP, pihak Indonesia berencana menaikkan status perdagangan dengan AS menjadi limited trade deal (LTD) guna mendongkrak nilai perdagangan hingga mencapai USD60 miliar pada 2024.
Namun ada pertanyaan menggelitik bagaimana nasib kesepakatan GSP setelah Joe Biden menggantikan Donald Trump sebagai presiden AS? Tak perlu dikhawatirkan karena GSP sudah diteken. Hanya saja, sebagaimana diungkapkan ekonom Universitas Indonesia (UI), Fithra Faisal Hastiadi, pemerintah harus bersiap memulai kembali pembahasan kerja sama dengan Pemerintah AS di bawah kepemimpinan Biden dari awal. Jadi jauh dari kemungkinan fasilitas GSP dibatalkan. Persoalannya, bagaimana pihak Indonesia memaksimalkan fasilitas dagang itu, yakni memanfaatkan sebaik-baiknya guna mendongkrak kinerja ekspor.
Perpanjangan fasilitas GSP melalui United States Trade Representative (USTR) selain menunjukkan komitmen AS menjadikan Indonesia sebagai mitra dagang strategis di Asia Pasifik, juga sebagai langkah AS untuk meredam dominasi China di tingkat regional. Karena itu Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menekankan perluasan pangsa pasar untuk produk yang mendapatkan fasilitas GSP. Adapun produk ekspor yang mendapat fasilitas GSP mencapai USD2,6 miliar pada 2019 atau naik sebesar 18,2% bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Penggunaan fasilitas GSP diperkirakan menghemat bea masuk produk Indonesia ke AS sebesar USD 92 juta dan tercatat menyumbang 13,1% dari total ekspor Indonesia ke Negeri Paman Sam sebesar USD20,1 miliar atau negara pengguna fasilitas GSP terbesar setelah Thailand.
Dengan diperpanjangnya fasilitas GSP, artinya kini bola di tangan Indonesia. Persoalannya, bagaimana memaksimalkan penggunaan fasilitas dagang tersebut. Berbagai peluang dagang terbuka lebar. Setidaknya Indonesia berpotensi meningkatkan pangsa pasar bagi produk-produk sejenis yang selama ini diisi Thailand. Jadi tidak perlu khawatir pergantian kepemimpinan di AS bakal mengubah pola hubungan dagang Indonesia-AS. Tanpa pergantian presiden AS, peta perekonomian global telah bergeser sehingga harus diantisipasi sedini mungkin sebagai dampak dari pandemi korona (Covid-19). (*)
(bmm)
tulis komentar anda