Pilkada dan Narasi Pembangunan Kota
Senin, 09 November 2020 - 05:30 WIB
Pertama, karena kebutuhan “keringkasan” slogan yang dikomunikasikan pasangan calon kepala daerah tersebut, gagasan pembangunan kota tidak terlalu spesifik muncul. Mungkin karena kehendak untuk merangkul semua elemen sehingga melupakan fakta sosiologis bahwa masyarakat Indonesia sudah sejak lama terbagi dalam kelas-kelas sosial politik yang kemudian berimplikasi kepada tatanan sosial budaya mereka sendiri. Akibatnya, kelas sosial ini merembes dalam dinamika dan pola-pola berpikir, bertindak, dan bahkan ketika mengambil keputusan. Sehingga, upaya meringkas pesan pada slogan menunjukkan ketidakjelasan isu yang dipilih jika dipilah secara spesifik.
Kedua, persepsi dan asumsi tentang kota pada pasangan calon kepala daerah mengalami posisi yang berbeda. Dalam teori sosial, kota adalah buku peradaban kemanusiaan yang di dalamnya bisa ditimba berbagai ilmu pengetahuan untuk membangun keadaban dan peradaban masyarakat.
Sedangkan pada pasangan calon, kota adalah realitas sosial politik yang menggambarkan sebaran calon pemilih sehingga upaya-upaya yang dilakukan tidak akan sepenuh hati. Sebabnya, ragam tindakan yang dilakukan justru hanya merupakan cara untuk memikat calon pemilih, bukan untuk pengembangan dan pemberdayaan masyarakat kota itu sendiri.
Ketiga, banyak pasangan calon memosisikan kota sebagai masalah sehingga semua narasi yang disampaikannya pun lebih bicara menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Misalnya, isu banjir. Para pasangan calon ini kadang lupa bahwa masalah-masalah di kota-kota (seperti banjir) yang kemudian disinggung sebagai isu yang akan diselesaikan itu membutuhkan pendekatan yang memosisikan manusia sebagai subjek utama. Banjir misalnya berkaitan dengan bagaimana manusia yang hidup di suatu kawasan membangun persepsi terhadap lingkungan.
Begitu juga sampah, isu ketimpangan pendidikan, akses kesehatan, yang merupakan menu lezat yang disajikan pasangan calon kepada massa (calon) pemilih.
Keempat, di sisi lain, jika kebetulan salah satu pasangan calon adalah petahana, ada kota yang diguyur berbagai program dari pemerintah—terutama yang sifatnya bantuan sosial. Program-program aksi itu berhimpitan dengan beragam janji yang dikemukakan pasangan calon. Kadang petahana mendapatkan keuntungan elektoral dari aktivitas tersebut. Tetapi, dari perspektif kota, posisi seperti itu justru semakin menegaskan bahwa posisi kota hanya menjadi objek sebab pasangan calon nonpetahana juga akan melakukan hal yang sama meski kuantitasnya jarang yang bisa menyamai calon petahana.
Akibatnya, siapa pun yang terpilih pascaproses pilkada, maka usaha-usaha melakukan monetisasi kekuasaan dilakukan begitu masif. Sebabnya, proses perekrutan massa pemilih dilakukan tidak dilandaskan pada tata nilai dan ide-ide perubahan, namun lebih banyak seperti mengijonkan bantuan yang akan dibayar jika mendapatkan kemenangan.
Tentu tidak ada gading yang tidak retak. Pilkada adalah proses yang belum final dalam menghasilkan pemimpin lokal yang menasional (dan mengglobal). Kendati demikian, kita tidak bisa duduk manis berdiam diri ketika proses yang berlangsung seperti akan terdisrupsi dalam sistem pilkada itu sendiri. Apalagi jika kita tinggal di kota, yang sejatinya membangun visi peradaban kota yang berlandaskan demokratisasi dan kesejahteraan.
Kedua, persepsi dan asumsi tentang kota pada pasangan calon kepala daerah mengalami posisi yang berbeda. Dalam teori sosial, kota adalah buku peradaban kemanusiaan yang di dalamnya bisa ditimba berbagai ilmu pengetahuan untuk membangun keadaban dan peradaban masyarakat.
Sedangkan pada pasangan calon, kota adalah realitas sosial politik yang menggambarkan sebaran calon pemilih sehingga upaya-upaya yang dilakukan tidak akan sepenuh hati. Sebabnya, ragam tindakan yang dilakukan justru hanya merupakan cara untuk memikat calon pemilih, bukan untuk pengembangan dan pemberdayaan masyarakat kota itu sendiri.
Ketiga, banyak pasangan calon memosisikan kota sebagai masalah sehingga semua narasi yang disampaikannya pun lebih bicara menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Misalnya, isu banjir. Para pasangan calon ini kadang lupa bahwa masalah-masalah di kota-kota (seperti banjir) yang kemudian disinggung sebagai isu yang akan diselesaikan itu membutuhkan pendekatan yang memosisikan manusia sebagai subjek utama. Banjir misalnya berkaitan dengan bagaimana manusia yang hidup di suatu kawasan membangun persepsi terhadap lingkungan.
Begitu juga sampah, isu ketimpangan pendidikan, akses kesehatan, yang merupakan menu lezat yang disajikan pasangan calon kepada massa (calon) pemilih.
Keempat, di sisi lain, jika kebetulan salah satu pasangan calon adalah petahana, ada kota yang diguyur berbagai program dari pemerintah—terutama yang sifatnya bantuan sosial. Program-program aksi itu berhimpitan dengan beragam janji yang dikemukakan pasangan calon. Kadang petahana mendapatkan keuntungan elektoral dari aktivitas tersebut. Tetapi, dari perspektif kota, posisi seperti itu justru semakin menegaskan bahwa posisi kota hanya menjadi objek sebab pasangan calon nonpetahana juga akan melakukan hal yang sama meski kuantitasnya jarang yang bisa menyamai calon petahana.
Akibatnya, siapa pun yang terpilih pascaproses pilkada, maka usaha-usaha melakukan monetisasi kekuasaan dilakukan begitu masif. Sebabnya, proses perekrutan massa pemilih dilakukan tidak dilandaskan pada tata nilai dan ide-ide perubahan, namun lebih banyak seperti mengijonkan bantuan yang akan dibayar jika mendapatkan kemenangan.
Tentu tidak ada gading yang tidak retak. Pilkada adalah proses yang belum final dalam menghasilkan pemimpin lokal yang menasional (dan mengglobal). Kendati demikian, kita tidak bisa duduk manis berdiam diri ketika proses yang berlangsung seperti akan terdisrupsi dalam sistem pilkada itu sendiri. Apalagi jika kita tinggal di kota, yang sejatinya membangun visi peradaban kota yang berlandaskan demokratisasi dan kesejahteraan.
(bmm)
tulis komentar anda