Potret Keandalan Internet Saat Wabah Corona

Sabtu, 09 Mei 2020 - 14:22 WIB
Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi. Foto/KORAN SINDO
Tulus Abadi

Ketua Pengurus Harian YLKI

SEMENJAK pandemi virus Corona atau Covid-19 merebak di Indonesia, istilah Workfrom Home (WfH) atau bekerja di rumah dan Learn from Home (LfH) atau belajar dari rumah, amatlah populer. Kedua terminologi tersebut seolah menjadi mantra sakti untuk memerangi pandemi Covid-19 tersebut. Gegara pandemi virus Corona itulah, kini masyarakat Indonesia sudah 1,5 bulan disandera untuk beraktivitas di rumah saja. Bahkan jika mengacu pada pelaksanaan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) di DKI Jakarta, dan di kota-kota lainnya, WfH dan LfH diperpanjang hingga 22 Mei. Alamaak, sebulan lagi. Pantas jika sudah mulai muncul fenomena cabin faver, alias penyakit bosan di rumah.

Pada konteks pelayanan publik dan infrastruktur, pelaksanaan WfH dan LfH menimbulkan komplikasi permasalahan. Misalnya, naiknya pemakaian energi listrik, walau klaim General Manager PT PLN Disjaya, kenaikan itu tidak signifikan, hanya 3-5 persen saja. Tetapi realitas di lapangan, banyak konsumen menjerit karena tagihan listriknya melambung hingga 20 persen, bahkan lebih. Berikutnya yang amat terasa adalah pemakaian internet. Sebab pelaksanaan WfH dan LfH tak akan terwujud jika tanpa akses internet. Pengeluaran masyarakat untuk konsumsi data internet melonjak tinggi, dari biasanya. Sebagai contoh, pemakaian internet masyarakat di Jawa Timur, menurut data dari operator seluler ternama, pemakaian internet naik hingga 13 persen. Sedangkan secara nasional, menurut PT Telkom pemakaian internet di siang hari mengalami kenaikan sebesar 14,3 persen dan kenaikan di malam hari mencapai 12,6 persen.



Operator telekomunikasi (telko) sekelas PT Telkom pun harus jungkir balik, bekerja siang malam, untuk meng-upgrade infrastrukturnya guna menyokong WfH dan LfH. Padahal sejatinya fenomena WfH dan LfH adalah ceruk bisnis yang menggiurkan bagi industri telko. Jika industri lain semaput gegara wabah Corona, maka sebaliknya industri telko tersenyum lebar, ibaratnya “sengsara membawa nikmat”. Sebagai contoh, selama WfH dan LfH, PT Telkom dengan produk Indihome-nya mengalami lonjakan permintaan konten yang sangat signifikan, yaitu: konten pendidikan naik 60,20% (semula 90 Terra), konten komunikasi naik 35,5% (semula 15 penta), games naik 28,51% (8 penta), perdagangan daring naik 18,01% (semula 1.000 terra), dan video naik 4.22% (semula 104 penta). Nah, ini dia yang melompat setinggi langit yaitu penggunaan aplikasi Zoom, melonjak hingga 3.800 persen, yang semula hanya satu giga saja. Pantas saja melonjak, karena nyaris semua meeting online menggunakan aplikasi Zoom. Padahal aplikasi ini diragukan keamanannya (ada dugaan peretasan data pribadi). Naiknya pemakaian internet sudah pasti berkelindan dengan naiknya pendapatan (revenue) perusahaan telko tersebut.

Namun, ini yang agak ironis,tingginya lonjakan permintaan konten selama WfH dan LfH, berbuntut panjang dengan melonjaknya persentase komplain konsumen terhadap pelayanan internet juga. Sebagai contoh, komplain konsumen ke PT Telkom, via akses call center 147 naik 51 persen, dan melalui sosial media naik 35 persen. Umumnya komplain itu seputar lambatnya akses internet, internet yang terputus/tidak terkoneksi, atau persoalan teknis lainnya, misalnya psB Indihome belum terpasang. Jika merujuk pada profil kebutuhan pengguna internet, tingginya komplain adalah sesuatu yang normal dan rasional. Alasannya, pelaksanaa WfH dan LfH membutuhkan pelayanan internet yang andal. Jika kualitas internet terganggu, misalnya terjadi diskoneksi, menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan WfH dan LfH.

Namun di sisi lain, lonjakan permintaan internet yang tiba-tiba, serentak, dan dominan, justru berpotensi menurunkan keandalan infrastruktur internet (bandwigth) itu sendiri, apapun operatornya. Seorang konsumen menyampaikan pengaduan ke YLKI bahwa kecepatan internetnya sempat sangat down dan hanya tinggal 1,7 Mbps saja. Fenomena semacam ini terjadi, sebab pelayanan jaringan internet di Indonesia tidak didesain untuk melayani perubahan perilaku penggunaan internet yang serentak dan tiba-tiba. Bahkan mungkin pelayanan internet di negara negara maju sekalipun. Sebagaimana pelayanan rumah sakit sekalipun, juga tidak didesain untuk kondisi pandemi, apalagi pandemi global. Gegara wabah virus Corona, yang datang tiba-tiba bak tsunami, memaksa semua orang untuk tetap tinggal di rumah, mau tidak mau harus menggunakan internet untuk aktivitas WfH dan LfH. Fenomena tersebut pasti akan memengaruhi kapasitas dan keandalan bandwigth internet dan troughput yang dihasilkan. Analoginya adalah ruas jalan tol, sepanjang dan seluas apapun jalan tolnya, jika tiba tiba digerojoki arus deras kendaraan bermotor (seperti saat puncak arus mudik Lebaran), pasti trafiknya akan lumpuh total (gridlock). Sekuat dan sekeras apapun traffict management yang dilakukan, tak akan mampu memaksimalkan fungsi jalan tol.

Kedua, ini hal yang hebat dan patut diapresiasi, kendati terjadi lonjakan pemakaian internet, faktanya di lapangan tidak terjadi kecelakaan fatal di jaringan internet, misalnya BTS terbakar/meledak, atau bahkan putusnya kabel laut, sehingga mengakibatkan pelayanan internet padam total. Hal ini tak lepas keandalan infrastruktur dari kerja keras managemen PT Telkom, yang menguasai 86,4 persen market share untuk jaringan internet berbasis kabel (serat optik). Sisanya terserak dalam beberapa operator, seperti : First Media, My Republik, MNC dan Biznet.

Namun, dalam kondisi seperti ini fungsi divisi customer Services perusahaan telekomunikasi bukan hanya bekerja ekstra keras untuk mengatasi keluhan konsumen saja; tetapi harus lebih kreatif dan cerdas untuk menciptakan suasana consumer friendly. Mereka harus mampu mencerdaskan konsumennya, sehingga mengerti aspek Product Knowledge dan bussiness Process di sektor telekomunikasi. Dalam situasi dan kondisi wabah seperti sekarang ini, secara psikologis bisa dimengerti jika konsumen lebih emosional dan super bawel. Mengingat, selain adanya ketakutan (stres) terhadap virus Corona itu sendiri, juga adanya tekanan ekonomi. Jadi petugas customer Service harus mampu ngewongke, memanusiawikan, konsumennya. Oleh karena itu, upaya pemberian diskon (tarif promo) internet oleh operator telko kepada konsumen, seperti yang dilakukan oleh PT Telkom pada konsumennya, patut diapresiasi.
Halaman :
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More