Diskursus Sebutan Kaum Difabel
Rabu, 04 November 2020 - 05:31 WIB
Fenomena ragam sebutan difabel kalau dilacak ternyata tidak bisa lepas dari ideologi dan paradigma yang melatari penyebutnya. Setidaknya terdapat empat paradigma yang saat ini berkembang, yaitu paradigma model budaya, model medis, model sosial, dan model hak asasi manusia.
Pertama, model budaya. Pendekatan ini berkembang sangat awal, di mana keberadaan difabel selalu dikaitkan keyakinan sebab akibat antara baik dan buruk. Misalnya, di masyarakat Yunani dan Romawi yang diceritakan sangat menuhankan keperkasaan dan kesempurnaan sehingga kelainan atau ketidaksempurnaan harus dihilangkan. Konon, di masa itu, anak-anak bayi yang baru lahir harus diperlihatkan kepada para sesepuh kota atau hakim tua (Gerousia) untuk diuji kesempurnaan fisiknya. Di masa itu pula diceritakan bahwa bayi-bayi yang sakit-sakitan, lemah, dan difabel dibuang dengan cara dihanyutkan di Sungai Tiber. Problem budaya melihat anak difabel saat ini masih terjadi. Tindakan tabu orang tua saat hamil seperti mengadu ayam, menangkap belut, mengadu ular, dan beberapa aktivitas yang lain diyakini sebagian masyarakat sebagai penyebab lahirnya anak-anak difabel.
Kedua, model medis. Pendekatan ini menyatakan bahwa esensi disabilitas adalah penyakit individu (individual pathology), di mana lewat cara ini kemudian bisa dibedakan mana difabel yang dianggap tidak bisa mengoperasikan teknologi baru dan nondifabel yang dianggap bisa mengoperasikan teknologi baru. Lewat pendekatan ini, maka perlu ada pemisahan difabel dan nondifabel untuk justifikasi pemerintah membantu difabel lewat program-program belas kasihan (charity) dan mendorong program-program rehabilitasi difabel agar bisa mandiri, sehat, dan normal secara jasmani dan rohani.
Ketiga, model sosial. Pendekatan ini menyatakan bahwa persoalan disabilitas terletak pada faktor yang lebih luas dan bersifat eksternal. Persoalan difabel tidak terletak pada kekurangan fisik dan atau mental seseorang, melainkan lebih pada faktor lingkungan sosial yang menindas dan meminggirkan keberadaan difabel. Pendekatan sosial mengkritik pendekatan medical model dan model budaya karena telah menjadi penyebab marginalisasi difabel yang secara kultural dan struktural dianggap sebagai orang yang sakit, tidak normal, dan bermasalah karena mengalami kekurangan fisik atau mental (impairment).
Keempat, model hak asasi manusia. Pendekatan ini merupakan pengembangan dari pendekatan sosial model yang menghendaki penghormatan terhadap harkat dan martabat difabel, otonomi individu difabel, penghilangan segala bentuk diskriminasi terhadap difabel, meletakkan difabel sebagai bagian dari keragaman manusia dan kemanusiaan, serta memastikan negara agar bertanggung jawab terhadap penghormatan (to respect), perlindungan (to protect), dan pemenuhan (to fulfill) hak-hak difabel.
Berpijak pada empat paradigma, pendekatan dan ideologi di atas, sebutan-sebutan yang memojokkan difabel merupakan ekspresi dari pendekatan budaya dan medis. Sebutan-sebutan negatif tersebut semestinya dihapuskan karena secara umum telah bertentangan dengan hukum hak asasi manusia yang telah mengatur dengan sedemikian rupa hak-hak difabel, khususnya Undang-Undang No 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on The Rights of Persons With Disabilities. Dalam hal ini, Pemerintah Indonesia sebagai pemangku tanggung jawab (duty holder) semestinya mengambil langkah-langkah agar tidak ada lagi sebutan-sebutan yang menghancurkan harkat dan martabat difabel.
Pesan Agama
Pertanyaan yang tidak kalah penting, sebenarnya bagaimana pandangan agama, utamanya agama Islam terhadap sebutan-sebutan yang negatif kepada difabel? Pertanyaan ini penting dikemukakan mengingat masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam dan dinilai memegang teguh budaya ketimuran.
Dalam agama Islam, stigma dan diskriminasi terhadap difabel merupakan tindakan yang haram atau tidak diperbolehkan secara hukum. Dalam ajaran Islam, kedudukan semua manusia sama, baik itu difabel-nondifabel, kaya-miskin, budak-majikan, laki-laki-perempuan, yang membedakan hanyalah tingkat ketakwaan seseorang (Qs. Al-Hujarot: 13). Takwa sendiri kalau ditelaah banyak berkaitan dengan pesan-pesan agar setiap orang Islam dapat berkembang menjadi pribadi yang berprilaku terpuji, baik hubungannya dengan Allah maupun dengan relasi sosial kemasyarakatan yang sangat luas.
Dalam ajaran Islam juga disebutkan bahwa Allah tidak melihat pada tubuh dan bentuk rupa seseorang, tetapi Allah melihat kepada hati umat mereka. Hal ini memperlihatkan bahwa kemuliaan seseorang di sisi Allah tidaklah diukur karena bentuk fisik dan rupa sebagaimana telah menjadi alat peminggiran kelompok difabel selama ini, tetapi Allah melihat hati dan kebaikan-kebaikan yang muncul akibat hati seseorang yang bersih.
Pertama, model budaya. Pendekatan ini berkembang sangat awal, di mana keberadaan difabel selalu dikaitkan keyakinan sebab akibat antara baik dan buruk. Misalnya, di masyarakat Yunani dan Romawi yang diceritakan sangat menuhankan keperkasaan dan kesempurnaan sehingga kelainan atau ketidaksempurnaan harus dihilangkan. Konon, di masa itu, anak-anak bayi yang baru lahir harus diperlihatkan kepada para sesepuh kota atau hakim tua (Gerousia) untuk diuji kesempurnaan fisiknya. Di masa itu pula diceritakan bahwa bayi-bayi yang sakit-sakitan, lemah, dan difabel dibuang dengan cara dihanyutkan di Sungai Tiber. Problem budaya melihat anak difabel saat ini masih terjadi. Tindakan tabu orang tua saat hamil seperti mengadu ayam, menangkap belut, mengadu ular, dan beberapa aktivitas yang lain diyakini sebagian masyarakat sebagai penyebab lahirnya anak-anak difabel.
Kedua, model medis. Pendekatan ini menyatakan bahwa esensi disabilitas adalah penyakit individu (individual pathology), di mana lewat cara ini kemudian bisa dibedakan mana difabel yang dianggap tidak bisa mengoperasikan teknologi baru dan nondifabel yang dianggap bisa mengoperasikan teknologi baru. Lewat pendekatan ini, maka perlu ada pemisahan difabel dan nondifabel untuk justifikasi pemerintah membantu difabel lewat program-program belas kasihan (charity) dan mendorong program-program rehabilitasi difabel agar bisa mandiri, sehat, dan normal secara jasmani dan rohani.
Ketiga, model sosial. Pendekatan ini menyatakan bahwa persoalan disabilitas terletak pada faktor yang lebih luas dan bersifat eksternal. Persoalan difabel tidak terletak pada kekurangan fisik dan atau mental seseorang, melainkan lebih pada faktor lingkungan sosial yang menindas dan meminggirkan keberadaan difabel. Pendekatan sosial mengkritik pendekatan medical model dan model budaya karena telah menjadi penyebab marginalisasi difabel yang secara kultural dan struktural dianggap sebagai orang yang sakit, tidak normal, dan bermasalah karena mengalami kekurangan fisik atau mental (impairment).
Keempat, model hak asasi manusia. Pendekatan ini merupakan pengembangan dari pendekatan sosial model yang menghendaki penghormatan terhadap harkat dan martabat difabel, otonomi individu difabel, penghilangan segala bentuk diskriminasi terhadap difabel, meletakkan difabel sebagai bagian dari keragaman manusia dan kemanusiaan, serta memastikan negara agar bertanggung jawab terhadap penghormatan (to respect), perlindungan (to protect), dan pemenuhan (to fulfill) hak-hak difabel.
Berpijak pada empat paradigma, pendekatan dan ideologi di atas, sebutan-sebutan yang memojokkan difabel merupakan ekspresi dari pendekatan budaya dan medis. Sebutan-sebutan negatif tersebut semestinya dihapuskan karena secara umum telah bertentangan dengan hukum hak asasi manusia yang telah mengatur dengan sedemikian rupa hak-hak difabel, khususnya Undang-Undang No 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on The Rights of Persons With Disabilities. Dalam hal ini, Pemerintah Indonesia sebagai pemangku tanggung jawab (duty holder) semestinya mengambil langkah-langkah agar tidak ada lagi sebutan-sebutan yang menghancurkan harkat dan martabat difabel.
Pesan Agama
Pertanyaan yang tidak kalah penting, sebenarnya bagaimana pandangan agama, utamanya agama Islam terhadap sebutan-sebutan yang negatif kepada difabel? Pertanyaan ini penting dikemukakan mengingat masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam dan dinilai memegang teguh budaya ketimuran.
Dalam agama Islam, stigma dan diskriminasi terhadap difabel merupakan tindakan yang haram atau tidak diperbolehkan secara hukum. Dalam ajaran Islam, kedudukan semua manusia sama, baik itu difabel-nondifabel, kaya-miskin, budak-majikan, laki-laki-perempuan, yang membedakan hanyalah tingkat ketakwaan seseorang (Qs. Al-Hujarot: 13). Takwa sendiri kalau ditelaah banyak berkaitan dengan pesan-pesan agar setiap orang Islam dapat berkembang menjadi pribadi yang berprilaku terpuji, baik hubungannya dengan Allah maupun dengan relasi sosial kemasyarakatan yang sangat luas.
Dalam ajaran Islam juga disebutkan bahwa Allah tidak melihat pada tubuh dan bentuk rupa seseorang, tetapi Allah melihat kepada hati umat mereka. Hal ini memperlihatkan bahwa kemuliaan seseorang di sisi Allah tidaklah diukur karena bentuk fisik dan rupa sebagaimana telah menjadi alat peminggiran kelompok difabel selama ini, tetapi Allah melihat hati dan kebaikan-kebaikan yang muncul akibat hati seseorang yang bersih.
Lihat Juga :
tulis komentar anda