Prank Dalam Budaya Persaingan Digital
Jum'at, 08 Mei 2020 - 15:58 WIB
Dari waktu ke waktu, dosis konten prank terus meningkat. Ibarat imunitas, rasa terhibur orang jadi kebal. Untuk menembusnya, dituntut hal baru. Apa yang menarik di masa lalu, hari ini sudah bukan hiburan lagi. Terlebih ketika produksi dan distribusi informasi melalui media digital demikian intensifnya. Sesuatu yang baru hari ini, jadi usang esok hari. Diperlukan kreativitas terus-menerus menciptakan kebaruan.
Sayangnya untuk membangun kreativitas tidak semua orang paham batas etika. Etika adalah pedoman baik dan buruk perilaku yang sifatnya universal. Di manapun tempatnya di dunia, merugikan orang lain secara moral maupun material, itu tidak etis. Kapan pun waktunya, membuat orang terhina bukanlah tindakan etis. Dilema-dilema etika inilah yang sering ditabrak, lantaran inginkan konten dengan daya tarik baru. Nampak, apapun dilakukan demi konten.
Dalam dunia hiburan, termasuk yang bermedium Youtube juga berlaku hukum supply dan demand. Supply kadar iseng yang naik, didorong oleh demand iseng berkadar tinggi. Terjadi hubungan siklikal di antara keduanya. Relevan dengan siklus ini, budayawan Sujiwotedjo, lewat unggahan intagramnya menulis, “Bukan Youtuber prank itu, tapi masyarakatlah yang harus dilaporkan ke polisi. Ya, kita semua, masyarakat yang suka nonton prank dan yang tak suka nonton prank tapi tak bisa mendidik anak2nya agar muntah kalau lihat prank. Tanpa kita semua, tak mungkin lahir Youtuber-2 prank”. Prank tak etis tak bakal ada, jika masyarakatnya tak meminta hal yang tak etis. Ini dapat dinyatakan dengan cara lain, konten adalah cermin dari masyarakatnya. Benarkah ?
Anggapan final, konten jadi cermin masyarakatnya tak selamanya benar. Ini terutama jika melihat proses persaingan merebut perhatian di jagad digital. Terjadi proses persaingan yang sengit. Konten yang menarik peroleh sambutan, dan yang buruk tak ada tanggapan. Tanggapan terindikasi dari like, retweet, regram, ramainya trafic hingga tercapainya trending topic. Ini semua ukuran kuantitatif. Sayangnya, dalam proses persaingan itu terjadi trial end error. Kreator melempar dulu konten ke konsumen, dan menanti reaksi. Terjadi negosiasi virtual, termasuk pada konten yang kandungannya tak etis. Dalam prosesnya, tak berarti hanya yang baik saja yang bakal diterima. Konten yang buruk pun, sering lolos seolah jadi selera masyarakat. Ada masalah terkait pemahaman etika. Tak semuanya paham, menghina transgender berarti menghina kemanusiaan. Sehingga produksi prank tak etis itu sempat lolos.
Bukti bahwa itu bukan selera masyarakat, prank tak etis itu tak bertahan lama. Terhenti oleh kemarahan masyarakat. Untuk konten lain yang bertebaran, memang tak terelakkan banyak dipengaruhi aspek kuantitatif. Ini bermuara pada perolehan iklan, yang artinya uang. Masyarakat yang baru asyik dengan persiangan konten, seakan meletakkan etika sebatas dimensi keuntungan ekonomi. Akan makin runyam, jika terus jadi satu-satunya pertimbangan.
Sayangnya untuk membangun kreativitas tidak semua orang paham batas etika. Etika adalah pedoman baik dan buruk perilaku yang sifatnya universal. Di manapun tempatnya di dunia, merugikan orang lain secara moral maupun material, itu tidak etis. Kapan pun waktunya, membuat orang terhina bukanlah tindakan etis. Dilema-dilema etika inilah yang sering ditabrak, lantaran inginkan konten dengan daya tarik baru. Nampak, apapun dilakukan demi konten.
Dalam dunia hiburan, termasuk yang bermedium Youtube juga berlaku hukum supply dan demand. Supply kadar iseng yang naik, didorong oleh demand iseng berkadar tinggi. Terjadi hubungan siklikal di antara keduanya. Relevan dengan siklus ini, budayawan Sujiwotedjo, lewat unggahan intagramnya menulis, “Bukan Youtuber prank itu, tapi masyarakatlah yang harus dilaporkan ke polisi. Ya, kita semua, masyarakat yang suka nonton prank dan yang tak suka nonton prank tapi tak bisa mendidik anak2nya agar muntah kalau lihat prank. Tanpa kita semua, tak mungkin lahir Youtuber-2 prank”. Prank tak etis tak bakal ada, jika masyarakatnya tak meminta hal yang tak etis. Ini dapat dinyatakan dengan cara lain, konten adalah cermin dari masyarakatnya. Benarkah ?
Anggapan final, konten jadi cermin masyarakatnya tak selamanya benar. Ini terutama jika melihat proses persaingan merebut perhatian di jagad digital. Terjadi proses persaingan yang sengit. Konten yang menarik peroleh sambutan, dan yang buruk tak ada tanggapan. Tanggapan terindikasi dari like, retweet, regram, ramainya trafic hingga tercapainya trending topic. Ini semua ukuran kuantitatif. Sayangnya, dalam proses persaingan itu terjadi trial end error. Kreator melempar dulu konten ke konsumen, dan menanti reaksi. Terjadi negosiasi virtual, termasuk pada konten yang kandungannya tak etis. Dalam prosesnya, tak berarti hanya yang baik saja yang bakal diterima. Konten yang buruk pun, sering lolos seolah jadi selera masyarakat. Ada masalah terkait pemahaman etika. Tak semuanya paham, menghina transgender berarti menghina kemanusiaan. Sehingga produksi prank tak etis itu sempat lolos.
Bukti bahwa itu bukan selera masyarakat, prank tak etis itu tak bertahan lama. Terhenti oleh kemarahan masyarakat. Untuk konten lain yang bertebaran, memang tak terelakkan banyak dipengaruhi aspek kuantitatif. Ini bermuara pada perolehan iklan, yang artinya uang. Masyarakat yang baru asyik dengan persiangan konten, seakan meletakkan etika sebatas dimensi keuntungan ekonomi. Akan makin runyam, jika terus jadi satu-satunya pertimbangan.
(rza)
Lihat Juga :
tulis komentar anda