Prank Dalam Budaya Persaingan Digital
Jum'at, 08 Mei 2020 - 15:58 WIB
Dr. Firman Kurniawan S
Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital
Pendiri LITEROS.org
Etika masyarakat yang terasah, terindikasi oleh keresahan yang terlontar, manakala ada tindakan tak etis, menimpa masyarakat lainnya. Hari-hari ini, kenyataan itu mengemuka. Jagad media sosial ramai oleh makian pedas masyarakat, akibat beberapa transgender jadi korban iseng pembuatan konten Youtube. Pelakunya, sekelompok anak muda dengan eksperimen bernada iseng. Di tengah pandemic Covid-19, mereka bagi-bagi nasi kotak. Tapi isinya sampah dan batu bata. Terlontar alasan mereka, motif iseng yang melewati batas ini, “Biar aja, yang menerima kan sampah masyarakat”. Demikian kurang lebih.
Iseng atau prank, termasuk di jagad media sosial, belum banyak diteliti. Demikian Stephanie Pappas, 2016 dalam April Fools' Day! Why People Love Pranks ? Ia menyebut, humor berbasis lelucon ini bisa kejam atau baik hati, dicintai atau dibenci, tapi tak lain adalah tindakan sekedarnya, yang sifatnya sambil lalu. Sosiolog Harold Garfinkel, di artikel yang sama, menyebut prank sebagai bagian perpeloncoan. Sebuah ritual yang dirancang untuk menempatkan seseorang, yang bakal jadi bagian dari suatu kelompok, termasuk kelompok tentara dalam kamp pelatihan bersama. Di sini pranks terjadi dari atas, kakak angkatan ke adik angkatannya. Demikian juga pada karyawan senior yang menempelkan tanda “peserta baru” di meja karyawan tahap percobaan. Selama tak terlalu berbahaya, prank macam ini berfungsi sebagai tanda penerimaan oleh kelompok.
Lebih lanjut, prank yang kandungannya main-main menurut filsuf Henri Bergson, tak ubahnya perusak kerja otomatis mesin. Di sini dapat dibayangkan, sekelompok manusia yang bekerja rutin tanpa variasi dalam kurun waktu panjang. Mereka menjelma jadi mesin tanpa nyawa, dan bergerak otomatis. Maka untuk mengembalikan pada kemanusiaannya, perilaku otomatis itu harus diganggu. Dan itu dapat ditempuh lewat permainan.
Sedangkan David Verhaagen yang pernyataannya dimuat dalam tulisan Frank Gaskill, 2017, A Psychologist’s Take on Why We Prank, menyebut implikasi prank berupa munculnya sikap sugrophobia. Sebuah sikap yang terindikasi oleh tindakan ekstra hati-hati seseorang. Ini memastikan dirinya bukan korban prank. Studi dalam jurnal Review of General Psychology menemukan, bahwa orang tidak suka ditipu, termasuk dalam konteks prank. Orang-orang yang pernah jadi korban, sering menunjukkan tanda-tanda menyalahkan diri sendiri, seraya berharap mereka memainkan permainan secara berbeda.
Prank yang mengusik banyak pihak kali ini, bukan kejadian yang pertama kali. Beberapa saat sebelumnya, prank bertema, ngerjain pengemudi ojol, juga ramai dan disesalkan banyak kalangan. Ini karena merugikan korbannya secara ekonomi. Hari ini, masyarakat kembali terusik. Keisengan yang dianggap sumber hiburan pelakunya, dan diharapkan menghibur juga konsumennya, justru mengundang kegeraman masyarakat. Ini lantaran mengandung hinaan pada kelompok masyarakat yang tak tergolong arus utama, para transgender.
tulis komentar anda