Sumpah Pemuda, Maulid Nabi, dan Macron
Sabtu, 31 Oktober 2020 - 09:21 WIB
(
).
Untuk memudahkan kita memahami konsekuensi sebuah sumpah, bayangkan para pemuda kita dahulu saat mereka bersumpah di tahun 1928, bahwa kita satu negara, satu bangsa dan dan satu bahasa, yaitu Indonesia. Maknanya adalah bahwa kita bersumpah kepada Indonesia untuk mempertahankan dan membela sekuat tenaga terhadap semua upaya apa pun yang mengganggu atau akan mengubahnya. Kalau kita diam saja dan tidak peduli terhadap adanya gangguan terhadap Indonesia, terus buat apa kita bersumpah?
Apalagi kalau bersumpahnya itu kepada Tuhan Yang Menciptakan kita semua....
Konsekuensi dari sumpah itulah yang diajarkan oleh Rasulullah, Muhammad SAW kepada umatnya. Konsekuensi yang menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, mana yang haram dan mana yang halal, dsb. Sebab, hanya Beliaulah yang ditakdirkan untuk langsung berkomunikasi dengan Allah SWT sebagai utusan-Nya.
Beliaulah juga yang mengajarkan untuk bersikap santun dan baik pada siapa pun. Bahkan kepada mereka yang berulang kali menyakiti dan menghinanya. Beliau tidak pernah marah apalagi sampai membalas dendam. Sebab yang dihina adalah pribadinya semata. Beliau dengan sabar, bahkan tetap melayani seorang Yahudi tunanetra yang tak henti menghinanya, membiarkan orang-orang yang membencinya melempar kotoran kepada dirinya. Beliau tetap tenang dan tidak pernah membalas dendam.
Namun, apabila yang dihina dan dilecehkan agama, bahkan Tuhannya, maka Beliau akan marah. Dan tidak segan untuk melawannya tanpa rasa takut. Mengapa? Sebab inilah yang disebut dengan kemarahan 'spiritual', bukan kemarahan emosional.Kemarahan yang dasarnya adalah untuk menunjukkan bukti dari sumpah yang kita pernah diucapkan kepada-Nya. Dan itu harus ditunjukkan dengan sikap keberpihakan. Sikap keberpihakan itu bisa berupa perbuatan, ucapan atau hanya disimpan dalam hati.
Artinya, keberpihakan inilah yang akan menunjukkan integritas diri kita di hadapan-Nya, sejauh mana kita taat dan patuh terhadap apa yang ditunjukkan-Nya. Kapan kita harus bersikap baik dan santun, serta kapan pula kita harus bersikap keras dan tegas. Semua semata untuk kita sendiri, bukan untuk Allah. Hakikatnya ini dilakukan karena kita semua ingin mendapat rahmat dan rido-Nya sebagai umat yang selamat, saat kembali ke hadirat-Nya kelak.
Kembali ke laptop, jadi Monsieur Macron , cobalah pikirkan kembali sikapmu yang arogan itu. Sebab, hanya Allah lah yang berhak sombong, jangan coba untuk menyaingi-Nya, sebab semua akan sia-sia belaka. Dan Nabi Muhammad SAW jauh lebih mulia di hadapan Allah SWT daripada anda. Allahumma shalli ‘ala sayyidinaa muhammadin wa ‘ala aali sayyidinaa muhammadin kama shallayta ‘ala sayyidinaa ibrahiim wa ‘ala aali sayyidinaa ibrahiim wa baarik ‘ala sayyidinaa muhammadin wa ‘ala aali sayyidinaa muhammadin kamaa baarakta ‘ala sayyidanaa ibrahiima wa ‘ala aali sayyidinaa ibrahiima fil ’aalamiina innaka hamiidum majiidun.
Untuk memudahkan kita memahami konsekuensi sebuah sumpah, bayangkan para pemuda kita dahulu saat mereka bersumpah di tahun 1928, bahwa kita satu negara, satu bangsa dan dan satu bahasa, yaitu Indonesia. Maknanya adalah bahwa kita bersumpah kepada Indonesia untuk mempertahankan dan membela sekuat tenaga terhadap semua upaya apa pun yang mengganggu atau akan mengubahnya. Kalau kita diam saja dan tidak peduli terhadap adanya gangguan terhadap Indonesia, terus buat apa kita bersumpah?
Apalagi kalau bersumpahnya itu kepada Tuhan Yang Menciptakan kita semua....
Konsekuensi dari sumpah itulah yang diajarkan oleh Rasulullah, Muhammad SAW kepada umatnya. Konsekuensi yang menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, mana yang haram dan mana yang halal, dsb. Sebab, hanya Beliaulah yang ditakdirkan untuk langsung berkomunikasi dengan Allah SWT sebagai utusan-Nya.
Beliaulah juga yang mengajarkan untuk bersikap santun dan baik pada siapa pun. Bahkan kepada mereka yang berulang kali menyakiti dan menghinanya. Beliau tidak pernah marah apalagi sampai membalas dendam. Sebab yang dihina adalah pribadinya semata. Beliau dengan sabar, bahkan tetap melayani seorang Yahudi tunanetra yang tak henti menghinanya, membiarkan orang-orang yang membencinya melempar kotoran kepada dirinya. Beliau tetap tenang dan tidak pernah membalas dendam.
Namun, apabila yang dihina dan dilecehkan agama, bahkan Tuhannya, maka Beliau akan marah. Dan tidak segan untuk melawannya tanpa rasa takut. Mengapa? Sebab inilah yang disebut dengan kemarahan 'spiritual', bukan kemarahan emosional.Kemarahan yang dasarnya adalah untuk menunjukkan bukti dari sumpah yang kita pernah diucapkan kepada-Nya. Dan itu harus ditunjukkan dengan sikap keberpihakan. Sikap keberpihakan itu bisa berupa perbuatan, ucapan atau hanya disimpan dalam hati.
Artinya, keberpihakan inilah yang akan menunjukkan integritas diri kita di hadapan-Nya, sejauh mana kita taat dan patuh terhadap apa yang ditunjukkan-Nya. Kapan kita harus bersikap baik dan santun, serta kapan pula kita harus bersikap keras dan tegas. Semua semata untuk kita sendiri, bukan untuk Allah. Hakikatnya ini dilakukan karena kita semua ingin mendapat rahmat dan rido-Nya sebagai umat yang selamat, saat kembali ke hadirat-Nya kelak.
Kembali ke laptop, jadi Monsieur Macron , cobalah pikirkan kembali sikapmu yang arogan itu. Sebab, hanya Allah lah yang berhak sombong, jangan coba untuk menyaingi-Nya, sebab semua akan sia-sia belaka. Dan Nabi Muhammad SAW jauh lebih mulia di hadapan Allah SWT daripada anda. Allahumma shalli ‘ala sayyidinaa muhammadin wa ‘ala aali sayyidinaa muhammadin kama shallayta ‘ala sayyidinaa ibrahiim wa ‘ala aali sayyidinaa ibrahiim wa baarik ‘ala sayyidinaa muhammadin wa ‘ala aali sayyidinaa muhammadin kamaa baarakta ‘ala sayyidanaa ibrahiima wa ‘ala aali sayyidinaa ibrahiima fil ’aalamiina innaka hamiidum majiidun.
(zik)
tulis komentar anda