Sumpah Pemuda, Maulid Nabi, dan Macron

Sabtu, 31 Oktober 2020 - 09:21 WIB
loading...
Sumpah Pemuda, Maulid Nabi, dan Macron
Joni Hermana. Foto/its.co.id
A A A
JONI HERMANA
Guru Besar ITS


Peringatan Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2020 ini agak berbeda dengan tanggal yang sama tahun sebelumnya. Karena harinya hampir bersamaan dengan hari lahirnya Rasulullah, Nabi Muhammad SAW tanggal 12 Rabi’ul Awal/29 Oktober. Lalu apa hubungannya dengan Emmanuel Macron ?

Ada, setidaknya pada saat yang bersamaan juga, nama Presiden Prancis ini sedang ramai dibicarakan atas sikapnya yang bersumpah bahwa Prancis tidak akan menyerah soal gambar karikatur Nabi yang dipajang demi untuk sebuah dalih bahwa itu merupakan kebebasan berpendapat.

Sampai di sini, Macron sudah seharusnya paham bahwa sebagai seorang pemimpin sebuah negara besar, adalah sangat tidak bijak menjustifikasi sikapnya terhadap nabi penganut agama lain, tanpa dia memahami bagaimana umat muslim sendiri menyikapi nabinya. Sikapnya yang bertolak belakang dengan keyakinan yang dianut pemeluk agama lain adalah sebuah tindakan 'lompat pagar' yang bukan lagi termasuk kategori kebebasan berpendapat, tetapi sudah merupakan tindakan penghinaan atau pelecehan atas penganut agama lain.

( ).

Sebagai Presiden, tentunya ia sadar bahwa sikapnya itu akan memancing dampak yang mendunia dan respons negatif oleh mereka yang merasa keyakinannya dilecehkan. Beberapa negara Islam terang-terangan menyatakan boikot terhadap produk-produk buatan Prancis. Bisa dibayangkan kalau ini terus membesar, berapa kerugian finansial dan ekonomi yang akan dialami negara ini. Apalagi di musim pandemi COVID19 yang sangat memukul pertumbuhan sektor ekonomi negara mana pun. Mana tahan...

Macron , dan banyak lagi orang luar, gagal paham mengapa 'hanya selembar kertas bergambar nabi' bisa menimbulkan reaksi dan masalah besar seperti ini. Monsieur Presiden lupa bahwa itu adalah bagian dari konsekuensi sebuah sumpah. Sama dengan ketika dia bersumpah untuk tidak mundur dari soal gambar karikatur. Artinya dia sudah siap dengan segala konsekuensi dari sumpah yang diucapkan.

Apalagi umat Islam yang dari awal menjalani agamanya telah bersumpah kepada Allah SWT bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Nabi Muhammad SAW adalah utusan-Nya.

( ).

Untuk memudahkan kita memahami konsekuensi sebuah sumpah, bayangkan para pemuda kita dahulu saat mereka bersumpah di tahun 1928, bahwa kita satu negara, satu bangsa dan dan satu bahasa, yaitu Indonesia. Maknanya adalah bahwa kita bersumpah kepada Indonesia untuk mempertahankan dan membela sekuat tenaga terhadap semua upaya apa pun yang mengganggu atau akan mengubahnya. Kalau kita diam saja dan tidak peduli terhadap adanya gangguan terhadap Indonesia, terus buat apa kita bersumpah?

Apalagi kalau bersumpahnya itu kepada Tuhan Yang Menciptakan kita semua....

Konsekuensi dari sumpah itulah yang diajarkan oleh Rasulullah, Muhammad SAW kepada umatnya. Konsekuensi yang menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, mana yang haram dan mana yang halal, dsb. Sebab, hanya Beliaulah yang ditakdirkan untuk langsung berkomunikasi dengan Allah SWT sebagai utusan-Nya.

Beliaulah juga yang mengajarkan untuk bersikap santun dan baik pada siapa pun. Bahkan kepada mereka yang berulang kali menyakiti dan menghinanya. Beliau tidak pernah marah apalagi sampai membalas dendam. Sebab yang dihina adalah pribadinya semata. Beliau dengan sabar, bahkan tetap melayani seorang Yahudi tunanetra yang tak henti menghinanya, membiarkan orang-orang yang membencinya melempar kotoran kepada dirinya. Beliau tetap tenang dan tidak pernah membalas dendam.

Namun, apabila yang dihina dan dilecehkan agama, bahkan Tuhannya, maka Beliau akan marah. Dan tidak segan untuk melawannya tanpa rasa takut. Mengapa? Sebab inilah yang disebut dengan kemarahan 'spiritual', bukan kemarahan emosional.Kemarahan yang dasarnya adalah untuk menunjukkan bukti dari sumpah yang kita pernah diucapkan kepada-Nya. Dan itu harus ditunjukkan dengan sikap keberpihakan. Sikap keberpihakan itu bisa berupa perbuatan, ucapan atau hanya disimpan dalam hati.

Artinya, keberpihakan inilah yang akan menunjukkan integritas diri kita di hadapan-Nya, sejauh mana kita taat dan patuh terhadap apa yang ditunjukkan-Nya. Kapan kita harus bersikap baik dan santun, serta kapan pula kita harus bersikap keras dan tegas. Semua semata untuk kita sendiri, bukan untuk Allah. Hakikatnya ini dilakukan karena kita semua ingin mendapat rahmat dan rido-Nya sebagai umat yang selamat, saat kembali ke hadirat-Nya kelak.

Kembali ke laptop, jadi Monsieur Macron , cobalah pikirkan kembali sikapmu yang arogan itu. Sebab, hanya Allah lah yang berhak sombong, jangan coba untuk menyaingi-Nya, sebab semua akan sia-sia belaka. Dan Nabi Muhammad SAW jauh lebih mulia di hadapan Allah SWT daripada anda. Allahumma shalli ‘ala sayyidinaa muhammadin wa ‘ala aali sayyidinaa muhammadin kama shallayta ‘ala sayyidinaa ibrahiim wa ‘ala aali sayyidinaa ibrahiim wa baarik ‘ala sayyidinaa muhammadin wa ‘ala aali sayyidinaa muhammadin kamaa baarakta ‘ala sayyidanaa ibrahiima wa ‘ala aali sayyidinaa ibrahiima fil ’aalamiina innaka hamiidum majiidun.
(zik)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2103 seconds (0.1#10.140)