Jimly Asshiddiqie: Demokrasi Global Mundur, Indonesia Mengikuti
Minggu, 25 Oktober 2020 - 17:37 WIB
JAKARTA - Guru Besar Hukum Tata Negara yang juga anggota DPD RI, Jimly Asshiddiqie menilai ada kemunduran dalam pelaksanaan dan kualiatas demokrasi pada tataran global, termasuk Indonesia. “Ada empat gejala kemunduran demokrasi,” katanya dalam Webinar Evaluasi Bidang Hukum dan Demokrasi yang digelar LP3ES, Minggu (25/10/2020).
Pertama, kemundurannya terjadi karena munculnya kekuatan China. Jimly mengatakan bahwa China merupakan contoh negara yang secara ekonomi tumbuh pesat tanpa menjalankan demokrasi. Menurutnya teori ini sebenarnya sejak dulu sudah ada dan dibenarkan dengan kondisi China saat ini.
“Teori-teori yang berusaha untuk melihat perspektif ekonomi dalam demokrasi. Itu sudah sering. Kita ini kalau mau demokrasi ada syaratnya. Syaratnya itu income per kapita itu sekian dolar dulu. Itu kan cara berpikir regresi, menyebabkan mundurnya demokrasi. Lalu diberi pembenaran oleh China. Ga perlu demokrasi yang penting ekonomi berkembang,” ungkapnya.
(Baca: Generasi Milenial Merasa Indonesia Kurang Demokratis)
Kedua, dia melihat adanya Islamophobia hingga white supremacy menunjukan gejala mundurnya demokrasi di tingkatan global. Dia menyebut juga partai-partai anti-migran, ultranasionalis dan populis saat ini berkembang di Eropa dan Amerika Serikat. Hal ini juga menyebabkan kemunduran demokrasi. “Nah sekarang respons terhadap itu muncul rasial diskriminasi seperti white supremacy,” katanya.
Ketiga, gelombang konflik kepentingan politik dan ekonomi. Dia mengatakan bahwa konflik ini merajalela di berbagai belahan dunia. “Apalagi di Indonesia. Di Indonesia lebih parah lagi konflik kepentingan bisnis dan politik. Jadi misalnya di atas 50% anggota DPR dan DPRD seluruh Indonesia bahkan para pejabat eksekutif yang jadi gubernur, walikota, para menteri itu di atas 50% pengusaha semua. Dan tidak perlu ada pemisahan antara unsur pribadi dengan unsur dengan dinasnya,” ujarnya.
Selain itu Jimly juga melihat maraknya media sosial membuat terjadinya deinstitusionalisasi politik besar-besaran. Di mana semua pihak menjadi wartawan untuk dirinya masing-masing. “Semua pejabat punya twitter sendiri. Nah kapan ngomong sebagai pejabat, kapan ngomong di twitter sebagai pribadi, tidak jelas. Ini menyebabkan kan gelombang deinstitusionalisasi politik demokrasi. Nah ini juga regress,” tuturnya.
(Baca: Masyarakat Semakin Takut Menyatakan Pendapat dan Berunjuk Rasa)
Keempat, gejala yang terlihat adalah adanya kecenderungan kekuasaan demokrasi tanpa adanya pergiliran kekuasaan. Hal ini terlihat di beberapa negara seperti Kamboja, Rusia, Cina hingga Turki. Dia menyebut bahwa pemilu yang digelar semua bersifat formalitas dengan kepemimpinan yang sama.
Pertama, kemundurannya terjadi karena munculnya kekuatan China. Jimly mengatakan bahwa China merupakan contoh negara yang secara ekonomi tumbuh pesat tanpa menjalankan demokrasi. Menurutnya teori ini sebenarnya sejak dulu sudah ada dan dibenarkan dengan kondisi China saat ini.
“Teori-teori yang berusaha untuk melihat perspektif ekonomi dalam demokrasi. Itu sudah sering. Kita ini kalau mau demokrasi ada syaratnya. Syaratnya itu income per kapita itu sekian dolar dulu. Itu kan cara berpikir regresi, menyebabkan mundurnya demokrasi. Lalu diberi pembenaran oleh China. Ga perlu demokrasi yang penting ekonomi berkembang,” ungkapnya.
(Baca: Generasi Milenial Merasa Indonesia Kurang Demokratis)
Kedua, dia melihat adanya Islamophobia hingga white supremacy menunjukan gejala mundurnya demokrasi di tingkatan global. Dia menyebut juga partai-partai anti-migran, ultranasionalis dan populis saat ini berkembang di Eropa dan Amerika Serikat. Hal ini juga menyebabkan kemunduran demokrasi. “Nah sekarang respons terhadap itu muncul rasial diskriminasi seperti white supremacy,” katanya.
Ketiga, gelombang konflik kepentingan politik dan ekonomi. Dia mengatakan bahwa konflik ini merajalela di berbagai belahan dunia. “Apalagi di Indonesia. Di Indonesia lebih parah lagi konflik kepentingan bisnis dan politik. Jadi misalnya di atas 50% anggota DPR dan DPRD seluruh Indonesia bahkan para pejabat eksekutif yang jadi gubernur, walikota, para menteri itu di atas 50% pengusaha semua. Dan tidak perlu ada pemisahan antara unsur pribadi dengan unsur dengan dinasnya,” ujarnya.
Selain itu Jimly juga melihat maraknya media sosial membuat terjadinya deinstitusionalisasi politik besar-besaran. Di mana semua pihak menjadi wartawan untuk dirinya masing-masing. “Semua pejabat punya twitter sendiri. Nah kapan ngomong sebagai pejabat, kapan ngomong di twitter sebagai pribadi, tidak jelas. Ini menyebabkan kan gelombang deinstitusionalisasi politik demokrasi. Nah ini juga regress,” tuturnya.
(Baca: Masyarakat Semakin Takut Menyatakan Pendapat dan Berunjuk Rasa)
Keempat, gejala yang terlihat adalah adanya kecenderungan kekuasaan demokrasi tanpa adanya pergiliran kekuasaan. Hal ini terlihat di beberapa negara seperti Kamboja, Rusia, Cina hingga Turki. Dia menyebut bahwa pemilu yang digelar semua bersifat formalitas dengan kepemimpinan yang sama.
tulis komentar anda