Pemerintah Diminta Perbaiki Pola Komunikasi Celometan
Jum'at, 23 Oktober 2020 - 10:23 WIB
JAKARTA - Direktur Eksekutif Indonesia Public Institute (IPI), Karyono Wibowo menilai, komunikasi Pemerintahan Jokowi Jilid II tampak lebih buruk dibanding Jilid I. Buruknya komunikasi pemerintah tidak hanya terjadi dalam penanganan masalah Undang-Undang (UU) Cipta Kerja , tetapi dalam banyak hal pemerintah tampak gagap dan kerap blunder dalam melakukan komunikasi publik .
Menurutnya, salah satu yang mencolok adalah tidak adanya satu pola komunikasi yang lebih terintegrasi. Yang tampak justru komunikasi di antara para pembuat kebijakan terkesan simpang siur dalam menyampaikan informasi di depan publik, sehingga pesan yang disampaikan pemerintah tak jarang menimbulkan kebingungan masyarakat.
"Bahkan menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat. Hal ini menunjukkan tidak ada standar komunikasi yang terintegrasi dan instruksional," ujar Karyono saat dihubungi SINDOnews, Jumat (23/10/2020). ( )
Oleh karena itu, Karyono mengatakan, pemerintah perlu memperbaiki pola komunikasi celometan agar tidak menimbulkan kegaduhan. Menurutnya, celometan merupakan ungkapan dalam bahasa jawa yang memiliki arti berteriak tak beraturan/bersahutan. "Pola komunikasi seperti itu hanya menambah kebisingan di tengah keterbukaan informasi yang ditandai dengan maraknya media sosial," katanya.
Lebih lanjut Karyono mengatakan, pola komunikasi yang tidak terintegrasi pasti membuka celah untuk dijadikan bulan-bulanan netizen. Di sisi lain, lawan politik pemerintah mendapatkan amunisi untuk mengkapitalisasi keblunderan komunikasi untuk mendelegitimasi pemerintahan.
Selain itu, ketidakmampuan dalam membuat propaganda dengan narasi yang tepat dan efektif kerap membuat pemerintah kewalahan dalam menghadapi turbulensi. Menurut dia, hal ini terlihat jelas dari reaksi masyarakat terhadap sikap pemerintah terkait perubahan Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), RUU KUHP, Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (HIP), penanganan pandemi dan penyelamatan ekonomi, serta pengesahan Undang-undang Cipta Kerja. ( )
"Akibat komunikasi yang kurang terintegrasi tak jarang menimbulkan kekisruhan publik yang ujungnya menurunkan kepercayaan publik," ucapnya.
Karyono menganggap, menurunnya kepercayaan publik bukan berarti kebijakan pemerintah semuanya salah. Tapi ada persoalan komunikasi yang tersumbat, sehingga kebijakan pemerintah yang positif tidak tersampaikan dengan baik.
Maka patut diduga, menurunnya tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah sebagaimana hasil survei, salah satunya disebabkan karena buruknya pola komunikasi pemerintah.
Dia menuturkan, hasil survei sebuah koran harian terbaru menunjukkan tingkat kepercayaan dan kepuasan kinerja pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin dalam sejumlah bidang mengalami penurunan cukup drastis selama satu tahun terakhir.
Tingkat kepuasan Kinerja Jokowi-Ma'ruf secara umum hanya 45,2 %. Masyarakat yang tidak puas lebih besar yaitu 52,5%. Dan, jawaban responden ketika ditanya puas atau tidak dengan kinerja pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin dalam satu tahun terakhir ini, hasilnya, responden yang menjawab Sangat puas: 5,5%, Puas: 39,7%, Tidak puas: 46,3%, Sangat tidak puas: 6,2%, Tidak tahu: 2,3%.
"Bila dikelompokkan, berarti ada 52,5% tidak puas dan 45,2% responden yang puas terhadap kinerja Jokowi-Ma'ruf," katanya.
Menurutnya, salah satu yang mencolok adalah tidak adanya satu pola komunikasi yang lebih terintegrasi. Yang tampak justru komunikasi di antara para pembuat kebijakan terkesan simpang siur dalam menyampaikan informasi di depan publik, sehingga pesan yang disampaikan pemerintah tak jarang menimbulkan kebingungan masyarakat.
"Bahkan menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat. Hal ini menunjukkan tidak ada standar komunikasi yang terintegrasi dan instruksional," ujar Karyono saat dihubungi SINDOnews, Jumat (23/10/2020). ( )
Oleh karena itu, Karyono mengatakan, pemerintah perlu memperbaiki pola komunikasi celometan agar tidak menimbulkan kegaduhan. Menurutnya, celometan merupakan ungkapan dalam bahasa jawa yang memiliki arti berteriak tak beraturan/bersahutan. "Pola komunikasi seperti itu hanya menambah kebisingan di tengah keterbukaan informasi yang ditandai dengan maraknya media sosial," katanya.
Lebih lanjut Karyono mengatakan, pola komunikasi yang tidak terintegrasi pasti membuka celah untuk dijadikan bulan-bulanan netizen. Di sisi lain, lawan politik pemerintah mendapatkan amunisi untuk mengkapitalisasi keblunderan komunikasi untuk mendelegitimasi pemerintahan.
Selain itu, ketidakmampuan dalam membuat propaganda dengan narasi yang tepat dan efektif kerap membuat pemerintah kewalahan dalam menghadapi turbulensi. Menurut dia, hal ini terlihat jelas dari reaksi masyarakat terhadap sikap pemerintah terkait perubahan Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), RUU KUHP, Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (HIP), penanganan pandemi dan penyelamatan ekonomi, serta pengesahan Undang-undang Cipta Kerja. ( )
"Akibat komunikasi yang kurang terintegrasi tak jarang menimbulkan kekisruhan publik yang ujungnya menurunkan kepercayaan publik," ucapnya.
Karyono menganggap, menurunnya kepercayaan publik bukan berarti kebijakan pemerintah semuanya salah. Tapi ada persoalan komunikasi yang tersumbat, sehingga kebijakan pemerintah yang positif tidak tersampaikan dengan baik.
Maka patut diduga, menurunnya tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah sebagaimana hasil survei, salah satunya disebabkan karena buruknya pola komunikasi pemerintah.
Dia menuturkan, hasil survei sebuah koran harian terbaru menunjukkan tingkat kepercayaan dan kepuasan kinerja pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin dalam sejumlah bidang mengalami penurunan cukup drastis selama satu tahun terakhir.
Tingkat kepuasan Kinerja Jokowi-Ma'ruf secara umum hanya 45,2 %. Masyarakat yang tidak puas lebih besar yaitu 52,5%. Dan, jawaban responden ketika ditanya puas atau tidak dengan kinerja pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin dalam satu tahun terakhir ini, hasilnya, responden yang menjawab Sangat puas: 5,5%, Puas: 39,7%, Tidak puas: 46,3%, Sangat tidak puas: 6,2%, Tidak tahu: 2,3%.
"Bila dikelompokkan, berarti ada 52,5% tidak puas dan 45,2% responden yang puas terhadap kinerja Jokowi-Ma'ruf," katanya.
(abd)
Lihat Juga :
tulis komentar anda