Menunggu Hajatan Paman Sam
Kamis, 22 Oktober 2020 - 06:14 WIB
FOKUS dunia sedang mengarah ke satu hajatan penting, yakni pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) yang akan digelar pada 3 November mendatang. Peta suara calon presiden dari Partai Republik Donald Trump dan kandidat dari Partai Demokrat Joe Biden masih belum bisa diperkirakan.
Keduanya kuat di basis masing-masing. Joe Biden masih menggenggam suara negara bagian yang memiliki suara elektoral terbesar yakni California dengan 55 suara elektoral, juga New York 29 suara. Sedangkan Trump masih berjaya di Texas dengan 36 suara elektoral dan Florida yang memiliki 29 suara elektoral.
Dalam sistem pemilu negeri Paman Sam itu, presiden AS tidak dipilih secara langung oleh masyarakat atau one man one vote seperti di Indonesia, melainkan oleh lembaga yang dikenal dengan istilah electoral college atau lembaga pemilih. Merujuk sistem yang berlaku, kandidat yang mendapatkan suara terbanyak belum tentu memenangI pertarungan. Hal itu terjadi pada 2016 silam, meskipun Trump mengantongi suara lebih sedikit dibandingkan Hillary Clinton, kandidat Partai Demokrat, namun Trump berhasil melenGgang ke Gedung Putih karena menang di suara elektoral.
Berdasarkan jajak pendapat lembaga survei nasional AS, kedua kandidat bersaing ketat. Namun, polling media-media AS mengunggulkan Biden dengan 51% dibandingkan Trump yang hanya 42%. Kubu Republik menilai, media-media AS menjadikan Partai Demokrat sebagai media darling sejak era presiden Barack Obama.
Namun demikian, menurut para analis, kandidat yang disukai pasar alias market darling adalah Trump. Hal ini terlihat pada bergairahnya pasar keuangan di AS sejak Trump mengumumkan beragam kebijakan yang memanjakan para pelaku pasar keuangan, industri, usaha kecil dan sektor ritel. Stimulus seperti pengurangan pajak pribadi, usaha kecil hingga korporasi, pengenaan bea impor yang tinggi agar produksi dilakukan di AS berhasil memikat para warga di swing state seperti Iowa, Michigan, Minnesota, dan Nevada dimana ada beberapa kawasan industri besar seperti kawasan pabrik mobil Detroit, di negara bagian Michigan.
Para analis pasar keuangan global menilai, investor tetap mengantisipasi dampak pilpres AS. Meskipun dalam dua pekan menjelang pilpres, pasar AS memberikan respons positif terhadap kebijakan yan dikeluarkan oleh pemerintahan Trump. Dengan latar belakang seorang pengusaha sukses, Trump dinilai mumpuni memperbaiki perekonomian AS yang terkoyak akibat pandemi Covid-19.
Seperti halnya pilpres-pilpres sebelumnya, mata dunia akan terarah ke AS pada 3 November mendatang. Sebagai salah satu negara terkuat di dunia, tentu saja banyak yang menunggu siapa sosok pemenang pilpres. Penguasa terpilih tentu akan memiliki kebijakan-kebijakan baru. Trump tetap mengusung jargon Make America Great Again yang mengedepankan semangat nasionalisme, berdiri di kaki sendiri dengan mengurangi ketergantungan impor dari negara lain. Trump juga berkomitmen untuk menarik pasukan perangnya kembali ke AS. Sedangkan Biden berulang kali menekankan pentingnya peningkatan pajak untuk menggerakkan ekonomi domestik. Biden juga menilai penting menjalin hubungan dagang dengan negara lain terutama China, negara yang oleh Trump dinilai sebagai biang melemahnya ekonomi AS.
Kebijakan-kebijakan politik, keamanan termasuk ekonomi dari pemerintahan AS yang baru pada bulan depan tentunya akan memberikan pengaruh terhadap dunia. Sebagai negara adidaya, AS punya pengaruh besar terhadap negara-negara di dunia. Hal ini juga berlaku dalam hal ekonomi.
Setiap kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah AS, pengaruhnya tak hanya dirasakan orang masyarakat negeri Paman Sam saja, tetapi juga si seluruh dunia. Bahkan, negara-negara berkembang yang ekonominya baik-baik saja bisa ikut kena getahnya. Salah satu contohnya, perang dagang antara AS dengan China yang tak kunjung usai membuat ekonomi dunia limbung, selain akibat dari pandemi Covid-19.
Keduanya kuat di basis masing-masing. Joe Biden masih menggenggam suara negara bagian yang memiliki suara elektoral terbesar yakni California dengan 55 suara elektoral, juga New York 29 suara. Sedangkan Trump masih berjaya di Texas dengan 36 suara elektoral dan Florida yang memiliki 29 suara elektoral.
Dalam sistem pemilu negeri Paman Sam itu, presiden AS tidak dipilih secara langung oleh masyarakat atau one man one vote seperti di Indonesia, melainkan oleh lembaga yang dikenal dengan istilah electoral college atau lembaga pemilih. Merujuk sistem yang berlaku, kandidat yang mendapatkan suara terbanyak belum tentu memenangI pertarungan. Hal itu terjadi pada 2016 silam, meskipun Trump mengantongi suara lebih sedikit dibandingkan Hillary Clinton, kandidat Partai Demokrat, namun Trump berhasil melenGgang ke Gedung Putih karena menang di suara elektoral.
Berdasarkan jajak pendapat lembaga survei nasional AS, kedua kandidat bersaing ketat. Namun, polling media-media AS mengunggulkan Biden dengan 51% dibandingkan Trump yang hanya 42%. Kubu Republik menilai, media-media AS menjadikan Partai Demokrat sebagai media darling sejak era presiden Barack Obama.
Namun demikian, menurut para analis, kandidat yang disukai pasar alias market darling adalah Trump. Hal ini terlihat pada bergairahnya pasar keuangan di AS sejak Trump mengumumkan beragam kebijakan yang memanjakan para pelaku pasar keuangan, industri, usaha kecil dan sektor ritel. Stimulus seperti pengurangan pajak pribadi, usaha kecil hingga korporasi, pengenaan bea impor yang tinggi agar produksi dilakukan di AS berhasil memikat para warga di swing state seperti Iowa, Michigan, Minnesota, dan Nevada dimana ada beberapa kawasan industri besar seperti kawasan pabrik mobil Detroit, di negara bagian Michigan.
Para analis pasar keuangan global menilai, investor tetap mengantisipasi dampak pilpres AS. Meskipun dalam dua pekan menjelang pilpres, pasar AS memberikan respons positif terhadap kebijakan yan dikeluarkan oleh pemerintahan Trump. Dengan latar belakang seorang pengusaha sukses, Trump dinilai mumpuni memperbaiki perekonomian AS yang terkoyak akibat pandemi Covid-19.
Seperti halnya pilpres-pilpres sebelumnya, mata dunia akan terarah ke AS pada 3 November mendatang. Sebagai salah satu negara terkuat di dunia, tentu saja banyak yang menunggu siapa sosok pemenang pilpres. Penguasa terpilih tentu akan memiliki kebijakan-kebijakan baru. Trump tetap mengusung jargon Make America Great Again yang mengedepankan semangat nasionalisme, berdiri di kaki sendiri dengan mengurangi ketergantungan impor dari negara lain. Trump juga berkomitmen untuk menarik pasukan perangnya kembali ke AS. Sedangkan Biden berulang kali menekankan pentingnya peningkatan pajak untuk menggerakkan ekonomi domestik. Biden juga menilai penting menjalin hubungan dagang dengan negara lain terutama China, negara yang oleh Trump dinilai sebagai biang melemahnya ekonomi AS.
Kebijakan-kebijakan politik, keamanan termasuk ekonomi dari pemerintahan AS yang baru pada bulan depan tentunya akan memberikan pengaruh terhadap dunia. Sebagai negara adidaya, AS punya pengaruh besar terhadap negara-negara di dunia. Hal ini juga berlaku dalam hal ekonomi.
Setiap kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah AS, pengaruhnya tak hanya dirasakan orang masyarakat negeri Paman Sam saja, tetapi juga si seluruh dunia. Bahkan, negara-negara berkembang yang ekonominya baik-baik saja bisa ikut kena getahnya. Salah satu contohnya, perang dagang antara AS dengan China yang tak kunjung usai membuat ekonomi dunia limbung, selain akibat dari pandemi Covid-19.
Lihat Juga :
tulis komentar anda