Setahun Periode Ke-2 Jokowi

Selasa, 20 Oktober 2020 - 10:48 WIB
Periode pertama dan kedua Jokowi terlihat lebih menitikberatkan pada ekonomi. Pembangunan atau infrastruktur yang masif jelas akan menjadi legacy luar biasa Jokowi. Ilustrasi/SINDOnews
Agus Surono

Peneliti Centre for Strategic and Indonesia Public Policy (CSIPP)

"LIMA tahun ke depan, mohon maaf,saya sudah enggak ada beban. Saya sudah enggak bisa nyalon lagi. Jadi apapun yang terbaik untuk negara akan saya lakukan," Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Pembukaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) Kamis (9/5/2019).

Pernyataan Jokowi di atas kiranya relevan untuk memotret perjalanan setahun periode kedua sebagai Presiden Indonesia. Setidaknya pernyataan tersebut melahirkan dua tafsir atau makna yang berbeda.

Tafsir pertama, Jokowi akan benar-benar mengartikulasikan kebijakan-kebijakannya ‘hanya” untuk kepentingan dan berpijak pada rakyat, bukan untuk yang lain. Artinya Jokowi sudah “los dol” tidak lagi berorientasi pada elektoral Pemilu karena batasan periode jabatan presiden.



Keputusan atau kebijakan politik tidak lagi sekadar untuk membangun dan menjaga citra personal karena berharap dipilih lagi. Tetapi setiap kebijakan yang diambil merupakan bagian upaya dari pelunasan janji politiknya, saat bersamaan juga menunjukkan pada upaya pembangunan politik jangka jangka panjang.

Tafsir kedua adalah kebalikan dari makna pertama, yakni, ketiadaan beban yang dimaksud oleh Jokowi justru abai pada pemihakan rakyat. Artinya, karena sudah tidak bisa lagi dicalonkan sebagai presiden, maka Jokowi tidak lagingrekenatau tidak peduli pada suara-suara kritis yang bisa jadi pada periode pertama pemerintahannya sangat ia dipudulikan.

Kebijakan dan pilihan programnya sangat mungkin memperlihatkan sisi-sisi yang ambigu. Tidak jelas gradasi pemihakannya. Tidak lagi peduli terhadap kritik dan cenderung tidak mau mendengar.

Lalu, bagaimana dengan faktanya? Merujuk pada dua isu besar dan stratgeis, yakni UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan UU Omnibus Law , dua tafsir di atas menemukan justifikasi masing-masing. Bahwa tafsir pertama banyak didukung oleh sebagian besar pendukung loyal dan koalisi parlemen. Sementara tafsir kedua banyak dilakukan kelompok-kelompok kritis, seperti LSM dan akademisi.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More