Melihat Lebih Dalam Modus Berbeda Pemanfaatan Media Sosial

Sabtu, 17 Oktober 2020 - 14:48 WIB
Saat hari kampanye tiba, secara serentak fans KPop itu membatalkan pembelian, juga kehadirannya di arena kampanye. Yang terpublikasi kemudian, kampanye Donald Trump hanya menghadapi bangku-bangku kosong. Arena kampanye terisi hanya 20% kapasitasnya. Rencana yang telah disusun matang berakhir dengan pembatalan. Tentu pembatalan lebih baik, dibanding jika Sang Prediden harus kehilangan muka lebih lanjut.

Fenomena serupa yang terjadi di Amerika, namun jadi pengalaman baru dalam sejarah unjuk rasa dan warga jagad digital di Indonesia, terwujud seiring unjuk rasa, menolak pengesahan Undang Undang Cipta Kerja, awal Oktober 2020. Selain unjuk rasa yang sifatnya konvensional dan masih berlangsung saat tulisan ini disusun, muncul modus-modus berbeda unjuk rasa maupun penolakan dengan memanfaatkan platform media sosial.

Muncul postingan bernada ancaman dari perempuan-perempuan yang menyebut diri sebagai simpanan anggota dewan. Ancamannya, batalkan undang-undang atau jika tidak kelakuan tak patut anggota dewan bakal disebarluaskan “perempuan-perempuan simpanan” ini.

Demikian pula, muncul tekanan bernada sama: batalkan pemberlakuan undang-undang, dari fans KPop Indonesia. Sebuah gerakan yang kemudian peroleh sambutan luas fans yang sama di seluruh dunia. Gelombang solidaritas ini tak menutup fans-fans kelompok lain, melakukan hal yang sama.

Mengacu pada jatuhnya pemerintahan di puluhan negara Arab, pada Arab Spring 2010, kekuatan masyarakat jejaring yang terakumulasi lewat media sosial, tentu tak bisa disepelekan. Adanya sentimen emosional yang menjalar di ruang virtual, namun nyata mampu timbulkan akibat di ruang aktual.

Demikian halnya dengan fenomena "pengancaman" dan "gerakan massal" fans kelompok entertainer ini. Walaupun bukan pertama kalinya terjadi, mengingat akibatnya yang nyata, perlu ditelaah lebih dalam.

Cara-cara lama membangun dukungan lewat produksi dan distribusi informasi yang memanfaatkan bot, menyewa buzerr secara massif, dan memobilisasi dukungan lewat paksaan kepatuhan, sudah dipahami sebagai upaya tak alamiah. Modus-modus tak organik itu, terendus sebagai realitas palsu. Karenanya, kekuatannya hari ini pudar.

Media sosial, mengacu pada definisi Lon Safko, 2012, sebagai wadah relasi antar manusia dalam bingkai sosial, untuk mencapai tujuan tertentu menemukan momentum manfaatnya saat digunakan untuk satu tujuan bersama. Terlepas dari kelompok yang melakukan gerakan sosial ~kelompok perempuan simpanan mungkin bukan kelompok yang diharapkan membela ketaksepakatan di Indonesia, lantaran masyarakatnya sangat menonjolkan moralitas~ namun ketika Gerakan dilakukan serentak, nyata punya kekuatan.

Upaya lama komunikasi politik maupun komunikasi bisnis yang semata mengandalkan bilangan jumlah, harus dikoreksi. Modus berbeda memanfaatkan kekuatan masyarakat jejaring organik, nyata menimbulkan akibat. Tak heran, sebentar lagi fans aneka kelompok musik, sepak bola, pesepeda, Ibu-Ibu olah raga, kelompok pengajian dll, bisa unjuk kekuatan dengan caranya yang inovatif nir-kekerasan. Mereka melawan hal yang tak disukainya. Dan ketika itu makin jadi modus, akan muncul pola baru penggalangan kekuatan. Terlebih jika yang diperjuangkan menyangkut kepentingan langsung masyarakat luas.
(dam)
Halaman :
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More