Fadli Zon Minta Maaf Tak Bisa Cegah Pengesahan UU Cipta Kerja
Rabu, 07 Oktober 2020 - 18:29 WIB
"Tapi yang disasar omnibus law kok isu ketenagakerjaan? Bagaimana ceritanya? Jadi, antara diagnosa dengan resepnya sejak awal sudah tak nyambung," tutur Fadli.
Fadli bisa memahami kenapa saat ini masyarakat banyak yang gelisah dan marah terhadap omnibus law. Karena mereka melihat kepentingan dan suara mereka sama sekali kurang diperhatikan. Kaum buruh, yang saat ini berada dalam posisi sulit akibat Covid-19, posisinya jadi kian terpojok.
Dalam catatan Fadli, ada beberapa isu yang mengusik rasa keadilan buruh. Misalnya, skema pesangon kepada pekerja yang di-PHK diubah dari sebelumnya 32 bulan upah, kini menjadi 25 bulan upah.
Kemudian, penghapusan UMK (upah minimum kabupaten) menjadi UMP (upah minimum provinsi). Padahal, menurut data lapangan, besaran UMP ini pada umumnya adalah di bawah UMK. Alih-alih meningkatkan kesejahteraan buruh, omnibus law ini belum apa-apa sudah akan menurunkan kesejahteraan mereka.
Selain itu, kata Fadli, hak-hak pekerja yang sebelumnya dijamin, seperti hak istirahat panjang, uang penghargaan masa kerja, serta kesempatan untuk bekerja selama lima hari dalam seminggu, kini tak ada lagi.
"Sehingga, secara umum, omnibus law ini memang tak memberi rasa keadilan, bukan hanya buat buruh, tapi juga buat masyarakat secara umum," tuturnya.
Di sisi lain, Fadli menilai omnibus law ini bisa menjadi preseden buruk bagi demokrasi. Ada beberapa alasannya. Pertama, omnibus law telah membuat parlemen kurang berdaya.
"Bayangkan, undang-undang ini mengubah 1.203 pasal dari 79 undang-undang yang berbeda-beda. Bagaimana parlemen bisa melakukan kajian dan sinkronisasi pasal sekolosal itu dalam tempo singkat? Sangat sulit," tandasnya.
Alhasil, kata dia,parlemen menyesuaikan diri dengan keinginan pemerintah. Mungkin dalam beberapa isu parlemen bisa memasukkan sejumlah kepentingan masyarakat. Tapi kepentingan pemerintah jauh lebih dominan. Ini tentunya bukan praktik demokrasi yang kita kehendaki.
Kedua, kata dia, omnibus law telah mengabaikan partisipasi masyarakat. Membahas seluruh materi yang telah disebutkan tadi dalam tempo yang singkat mustahil dilakukan, apalagi di tengah berbagai keterbatasan dan pembatasan semasa pandemi ini. Sehingga, pembahasan omnibus law ini kurang memperhatikan suara dan partisipasi masyarakat.
Fadli bisa memahami kenapa saat ini masyarakat banyak yang gelisah dan marah terhadap omnibus law. Karena mereka melihat kepentingan dan suara mereka sama sekali kurang diperhatikan. Kaum buruh, yang saat ini berada dalam posisi sulit akibat Covid-19, posisinya jadi kian terpojok.
Dalam catatan Fadli, ada beberapa isu yang mengusik rasa keadilan buruh. Misalnya, skema pesangon kepada pekerja yang di-PHK diubah dari sebelumnya 32 bulan upah, kini menjadi 25 bulan upah.
Kemudian, penghapusan UMK (upah minimum kabupaten) menjadi UMP (upah minimum provinsi). Padahal, menurut data lapangan, besaran UMP ini pada umumnya adalah di bawah UMK. Alih-alih meningkatkan kesejahteraan buruh, omnibus law ini belum apa-apa sudah akan menurunkan kesejahteraan mereka.
Selain itu, kata Fadli, hak-hak pekerja yang sebelumnya dijamin, seperti hak istirahat panjang, uang penghargaan masa kerja, serta kesempatan untuk bekerja selama lima hari dalam seminggu, kini tak ada lagi.
"Sehingga, secara umum, omnibus law ini memang tak memberi rasa keadilan, bukan hanya buat buruh, tapi juga buat masyarakat secara umum," tuturnya.
Di sisi lain, Fadli menilai omnibus law ini bisa menjadi preseden buruk bagi demokrasi. Ada beberapa alasannya. Pertama, omnibus law telah membuat parlemen kurang berdaya.
"Bayangkan, undang-undang ini mengubah 1.203 pasal dari 79 undang-undang yang berbeda-beda. Bagaimana parlemen bisa melakukan kajian dan sinkronisasi pasal sekolosal itu dalam tempo singkat? Sangat sulit," tandasnya.
Alhasil, kata dia,parlemen menyesuaikan diri dengan keinginan pemerintah. Mungkin dalam beberapa isu parlemen bisa memasukkan sejumlah kepentingan masyarakat. Tapi kepentingan pemerintah jauh lebih dominan. Ini tentunya bukan praktik demokrasi yang kita kehendaki.
Kedua, kata dia, omnibus law telah mengabaikan partisipasi masyarakat. Membahas seluruh materi yang telah disebutkan tadi dalam tempo yang singkat mustahil dilakukan, apalagi di tengah berbagai keterbatasan dan pembatasan semasa pandemi ini. Sehingga, pembahasan omnibus law ini kurang memperhatikan suara dan partisipasi masyarakat.
tulis komentar anda