Belum Terlambat untuk Perppu
Selasa, 06 Oktober 2020 - 06:04 WIB
KEKHAWATIRAN pilkada akan menimbulkan kluster penularan Covid-19 terus mengiringi pelaksanaan tahapan yang sudah memasuki masa kampanye. Kendati pemerintah menjamin pilkada bisa aman dari Covid-19 dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat, namun sebagian masyarakat tetap saja sangsi. Apalagi, penambahan kasus positif tetap tinggi dan belum ada tanda-tanda pandemi di Tanah Air akan melandai.
Belum lagi ada fakta terbaru di mana ada empat calon dan bakal calon kepala daerah yang meninggal dunia karena tertular Covid-19. Kabar ini disampaikan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Evi Novida Ginting Manik di Jakarta, kemarin. Calon kontestan pilkada yang meninggal yakni Muharram yang maju di Pilkada Berau, Adi Darma yang maju di Pilkada Kota Bontang, Ibnu Soleh yang maju di pilkada Bangka Tengah, dan Muh’din Mabud yang maju di pilkada Halmahera Timur.
Berbeda dengan KPU, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyebut, ada enam kandidat kepala daerah yang meninggal dunia karena terpapar Covid-19. Enam orang itu terdiri dari satu bakal calon, empat pejawat kepala daerah, dan satu calon kepala daerah.
Kejadian meninggalnya keempat calon dan bakal calon kepala daerah ini terjadi hanya dalam kurun waktu sebulan. Kasus ini paling tidak memberi isyarat bahwa Covid-19 masih terus menular dan menjadi ancaman nyata bagi masyarakat, termasuk yang berkontestasi di pilkada.
Namun, seperti yang sudah diketahui bahwa pemerintah tetap pada pendirian melanjutkan pilkada, meski sebelumnya mendapat penolakan yang keras, termasuk dari dua ormas terbesar yakni Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
Namun, jika pemerintah punya pandangan berbeda sehingga bersikukuh melanjutkan pilkada dengan berbagai argumentasi yang mendasarinya, seyogianya ada tindakan yang lebih serius untuk mencegah apa yang ditakutkan masyarakat, yakni ledakan kasus Covid-19. Minimal, aturan protokol kesehatan dipertegas lagi. Namun, sejauh ini ketegasan itu belum tampak. Memang ada perubahan terhadap Peraturan KPU (PKPU), namun itu sangat tidak cukup. Seharusnya, yang diterbitkan pemerintah adalah peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Mengapa harus perppu? Karena melalui perppu tersebut sejumlah aturan protokol kesehatan bisa dimasukkan. Misalnya, kandidat sama sekali dilarang menggelar rapat umum dan mengalihkan kegiatannya ke kampanye virtual. Di PKPU, rapat umum memang sangat dibatasi, yakni pesertanya maksimal 50 orang yang hadir di lokasi kegiatan. Namun, siapa bisa menjamin tidak ada kerumunan lain yang terjadi di sekitar lokasi rapat umum?
Di perppu bisa pula diatur soal sanksi tegas bagi pasangan calon yang melanggar ketentuan protokol kesehatan, termasuk aturan diskualifikasi. Selain itu, perppu bisa mengatur soal rekayasa kedatangan pemilih di tempat pemunguatn suara (TPS). Jam memilih bisa dibuat lebih panjang, tidak hanya sampai pukul 12.00, namun hingga pukul 15.00. Tujuannya agar pemilih tidak perlu bersamaan datang ke TPS yang berpotensi menimbulkan kerumunan. Perppu bisa juga mengatur soal keterlibatan TNI dan Polri di sekitar TPS dalam rangka menertibkan calon pemilih agar tidak berkerumun.
Urgensi perppu lainnya adalah mencegah PKPU baru yang diterbitkan digugat ke Mahkamah Agung (MA), terutama terkait larangan pengumpulan massa. Potensi PKPU digugat ke MA terbuka karena Undang-undang Nomor 6 Tahun 2020 yang merupakan dasar pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 pada 9 Desember mengizinkan kerumunan massa saat kampanye.
Pilkada masih tersisa dua bulan. Belum terlambat bagi Presiden Joko Widodo untuk mengambil tindakan menyelamatkan rakyat dari potensi penularan Covid-19. Perppu pun sebenarnya bukan jaminan masyarakat akan benar-benar terlindungi dari paparan virus, namun minimal terlihat upaya serius pemerintah dalam menyelamatkan nyawa masyarakat dengan membuat aturan tegas.
Belum lagi ada fakta terbaru di mana ada empat calon dan bakal calon kepala daerah yang meninggal dunia karena tertular Covid-19. Kabar ini disampaikan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Evi Novida Ginting Manik di Jakarta, kemarin. Calon kontestan pilkada yang meninggal yakni Muharram yang maju di Pilkada Berau, Adi Darma yang maju di Pilkada Kota Bontang, Ibnu Soleh yang maju di pilkada Bangka Tengah, dan Muh’din Mabud yang maju di pilkada Halmahera Timur.
Berbeda dengan KPU, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyebut, ada enam kandidat kepala daerah yang meninggal dunia karena terpapar Covid-19. Enam orang itu terdiri dari satu bakal calon, empat pejawat kepala daerah, dan satu calon kepala daerah.
Kejadian meninggalnya keempat calon dan bakal calon kepala daerah ini terjadi hanya dalam kurun waktu sebulan. Kasus ini paling tidak memberi isyarat bahwa Covid-19 masih terus menular dan menjadi ancaman nyata bagi masyarakat, termasuk yang berkontestasi di pilkada.
Namun, seperti yang sudah diketahui bahwa pemerintah tetap pada pendirian melanjutkan pilkada, meski sebelumnya mendapat penolakan yang keras, termasuk dari dua ormas terbesar yakni Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
Namun, jika pemerintah punya pandangan berbeda sehingga bersikukuh melanjutkan pilkada dengan berbagai argumentasi yang mendasarinya, seyogianya ada tindakan yang lebih serius untuk mencegah apa yang ditakutkan masyarakat, yakni ledakan kasus Covid-19. Minimal, aturan protokol kesehatan dipertegas lagi. Namun, sejauh ini ketegasan itu belum tampak. Memang ada perubahan terhadap Peraturan KPU (PKPU), namun itu sangat tidak cukup. Seharusnya, yang diterbitkan pemerintah adalah peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Mengapa harus perppu? Karena melalui perppu tersebut sejumlah aturan protokol kesehatan bisa dimasukkan. Misalnya, kandidat sama sekali dilarang menggelar rapat umum dan mengalihkan kegiatannya ke kampanye virtual. Di PKPU, rapat umum memang sangat dibatasi, yakni pesertanya maksimal 50 orang yang hadir di lokasi kegiatan. Namun, siapa bisa menjamin tidak ada kerumunan lain yang terjadi di sekitar lokasi rapat umum?
Di perppu bisa pula diatur soal sanksi tegas bagi pasangan calon yang melanggar ketentuan protokol kesehatan, termasuk aturan diskualifikasi. Selain itu, perppu bisa mengatur soal rekayasa kedatangan pemilih di tempat pemunguatn suara (TPS). Jam memilih bisa dibuat lebih panjang, tidak hanya sampai pukul 12.00, namun hingga pukul 15.00. Tujuannya agar pemilih tidak perlu bersamaan datang ke TPS yang berpotensi menimbulkan kerumunan. Perppu bisa juga mengatur soal keterlibatan TNI dan Polri di sekitar TPS dalam rangka menertibkan calon pemilih agar tidak berkerumun.
Urgensi perppu lainnya adalah mencegah PKPU baru yang diterbitkan digugat ke Mahkamah Agung (MA), terutama terkait larangan pengumpulan massa. Potensi PKPU digugat ke MA terbuka karena Undang-undang Nomor 6 Tahun 2020 yang merupakan dasar pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 pada 9 Desember mengizinkan kerumunan massa saat kampanye.
Pilkada masih tersisa dua bulan. Belum terlambat bagi Presiden Joko Widodo untuk mengambil tindakan menyelamatkan rakyat dari potensi penularan Covid-19. Perppu pun sebenarnya bukan jaminan masyarakat akan benar-benar terlindungi dari paparan virus, namun minimal terlihat upaya serius pemerintah dalam menyelamatkan nyawa masyarakat dengan membuat aturan tegas.
(bmm)
tulis komentar anda