Patuhi Tarif Tes Usap!
Senin, 05 Oktober 2020 - 06:01 WIB
Plt Dirjen Pelayanan Kesehatan Masyarakat Kemenkes Abdul Kadir mengatakan harga baru maksimal Rp900.000 sudah mempertimbangkan segala kebutuhan, dari dokter, petugas, alat pelindung diri, viral transport medium (VTM), serta pemeliharaan dan penyusutan alat. Kemenkes pun sudah memasukkan keuntungan sekitar 15% dari Rp900.000 tersebut.
Menurutnya, ada beberapa faktor yang menyebabkan tes PCR mahal. Pertama, pelaku usaha melihat tes PCR ini sebagai peluang bisnis. Kedua, hukum ekonomi berlaku. Laboratorium saat ini sedikit, tetapi permintaan untuk tes Covid-19 cukup banyak. “Pada saat demand tinggi dan suplai kurang, harga pun tinggi. Demikian juga harga reagent di tahap awal itu mahal juga, tak terkendali,” tutur Abdul Kadir.
Surat Edaran Menteri Kesehatan untuk pengaturan biaya tes usap akan keluar hari ini. Namun, surat ini sepertinya tidak akan mencantum sanksi bagi laboratorium dan rumah sakit yang melanggar kebijakan baru itu. Sanksi bagi pelanggar akan diserahkan kepada dinas kesehatan di masing-masing daerah. “Itu dinas kesehatan yang bisa melakukan, tergantung bagaimana (nanti) melakukan pembinaan,” terangnya. (Baca juga: Waspadalah, PHK Massal Imbas Kenaikan Harga Pokok)
PCR Lebih Utama Ketimbang Rapid
PCR memang menjadi rujukan utama untuk mendeteksi seseorang terpapar virus corona atau tidak. Di Singapura, pemerintah tidak lagi menggunakan rapid test dengan menggunakan antigen. Hal itu karena tes tersebut tidak sensitif dalam mendeteksi infeksi virus corona.
“Tes rapid antigen kerap memberikan hasil palsu sehingga mengabaikan kasus sebenarnya,” kata Raymond Lin, direktur Laboratorium Kesehatan Publik Nasional di Pusat Nasional Penyakit Infeksi Singapura, dilansir The Straits Times.
Dia mengatakan, tes rapid antigen bisa mengabaikan satu dari enam kasus atau lebih. “Jika mengabaikan kasus ini, kita akan memiliki wabah yang terus menerus,” katanya.
Tes PCR dinilai lebih mampu mendeteksi material genetik virus pada sampel pasien dan menjadi tes yang standar untuk mengetahui Covid-19. Kelemahannya, proses tes PCR memerlukan waktu pengiriman ke laboratorium dan memakan waktu selama satu hari. Selain itu, biaya tes PCR juga lebih mahal dan membutuhkan personel terlatih.
Ini berbeda dengan tes rapid dengan antigen yang hanya menguji protein virus di permukaan dan hasilnya bisa terlihat dalam hitungan menit. Tes serologi akan mampu mendeteksi kehadiran antibodi yang digunakan guna mengetahui apakah orang tersebut pernah terinfeksi di masa lalu. (Baca juga: 10 Pertempuran Udara Paling Sengit Dalam Sejarah)
Badan Kesehatan Dunia (WHO) hanya merekomendasikan penggunaan tes rapid dalam kondisi tertentu, misalnya lokasi terpencil dan pelaksanaan tes PCR tidak tersedia. Tes rapid hanya dijadikan sebagai upaya memonitor kondisi kesehatan semata.
Menurutnya, ada beberapa faktor yang menyebabkan tes PCR mahal. Pertama, pelaku usaha melihat tes PCR ini sebagai peluang bisnis. Kedua, hukum ekonomi berlaku. Laboratorium saat ini sedikit, tetapi permintaan untuk tes Covid-19 cukup banyak. “Pada saat demand tinggi dan suplai kurang, harga pun tinggi. Demikian juga harga reagent di tahap awal itu mahal juga, tak terkendali,” tutur Abdul Kadir.
Surat Edaran Menteri Kesehatan untuk pengaturan biaya tes usap akan keluar hari ini. Namun, surat ini sepertinya tidak akan mencantum sanksi bagi laboratorium dan rumah sakit yang melanggar kebijakan baru itu. Sanksi bagi pelanggar akan diserahkan kepada dinas kesehatan di masing-masing daerah. “Itu dinas kesehatan yang bisa melakukan, tergantung bagaimana (nanti) melakukan pembinaan,” terangnya. (Baca juga: Waspadalah, PHK Massal Imbas Kenaikan Harga Pokok)
PCR Lebih Utama Ketimbang Rapid
PCR memang menjadi rujukan utama untuk mendeteksi seseorang terpapar virus corona atau tidak. Di Singapura, pemerintah tidak lagi menggunakan rapid test dengan menggunakan antigen. Hal itu karena tes tersebut tidak sensitif dalam mendeteksi infeksi virus corona.
“Tes rapid antigen kerap memberikan hasil palsu sehingga mengabaikan kasus sebenarnya,” kata Raymond Lin, direktur Laboratorium Kesehatan Publik Nasional di Pusat Nasional Penyakit Infeksi Singapura, dilansir The Straits Times.
Dia mengatakan, tes rapid antigen bisa mengabaikan satu dari enam kasus atau lebih. “Jika mengabaikan kasus ini, kita akan memiliki wabah yang terus menerus,” katanya.
Tes PCR dinilai lebih mampu mendeteksi material genetik virus pada sampel pasien dan menjadi tes yang standar untuk mengetahui Covid-19. Kelemahannya, proses tes PCR memerlukan waktu pengiriman ke laboratorium dan memakan waktu selama satu hari. Selain itu, biaya tes PCR juga lebih mahal dan membutuhkan personel terlatih.
Ini berbeda dengan tes rapid dengan antigen yang hanya menguji protein virus di permukaan dan hasilnya bisa terlihat dalam hitungan menit. Tes serologi akan mampu mendeteksi kehadiran antibodi yang digunakan guna mengetahui apakah orang tersebut pernah terinfeksi di masa lalu. (Baca juga: 10 Pertempuran Udara Paling Sengit Dalam Sejarah)
Badan Kesehatan Dunia (WHO) hanya merekomendasikan penggunaan tes rapid dalam kondisi tertentu, misalnya lokasi terpencil dan pelaksanaan tes PCR tidak tersedia. Tes rapid hanya dijadikan sebagai upaya memonitor kondisi kesehatan semata.
tulis komentar anda